KEMATIAN SEBUAH PERJALANAN SUCI
Jangan Bersedih Hadapi Kematian, Ngaben tak Perlu Besar
(Laporan hasil diskusi di Griya Agung Bang Buruan Manuaba)
Oleh I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Di pagi hari yang cerah, Minggu 26 Januaru 2020, di sebuah rumah di sebelah barat Gedong Ida Bang Buruan Manuaba, Gianyar. Beberapa Ida Sulinggih, Ida Bhawati, Jro Mangku, Dane Pinandita dan krama adat dengan pakaian adat tampak lalu lalang. Jumlah Ida Sulinggih tak lebih dari 15 orang. Makin bertambah waktu, makin banyak yang datang. Sampai pukul 12.10 akhirnya terkumpul sekitar 70 orang. Jika saja mereka yang berkumpul itu tidak memakai pakaian adat Bali, maka orang-orang yang melihatnya mungkin akan mengira sedang ada arisan. Padahal yang terjadi tuan rumah adalah upacara Atiwa-tiwa, mekingsan.
Ya hari itu, layon Ayah Anda Ida Bang Buruan, 70 tahun, dititip di pretiwi di setra (kuburan) yang tidak jauh dari griya. Jika merujuk pada kebiasaan masyarakat Hindu di Bali,
Dalam percakapan dengan beberapa Jro Mangku dengan berbagai komentar diantaranya : "dewasa ini kita harus mampu berprilaku atau merubah pola pikir terhadap kematian tersebut, guna menyelesaikan ritual ngaben dengan sederhana". Gayung bersambut, konsep.suka-duka, lara pati sebenarnya menuntun kita untuk mau dan menyanggupi membantu umat. Karena tujuan dan komitmen paiketan itu memang untuk meringankan beban umat Hindu, khususnya dalam hal urusan kematian/pengabenan. Sesaji yang dibuat amat sedikit dan tidak ribet. Bantennya itu tak sampai memenuhi satu meja belajar seukuran standar di sekolah-sekolah.
Pukul 12.30 persiapan untuk membawa mayat ke setra dikerjakan tuan rumah dan dibantu anggota paiketan pinandita. Sebelum dilakukan ritual memandikan mayat (nyiramang), yang dipimpin oleh Ida Pandita Mpu Bang Buruan Manuaba, terlebih dahulu diselipkan pencerahan (dharmawacana).
Di tempat yang berbeda titiang bersama beberapa jro mangku dalam kesempatan itu titiang tegaskan bahwa KEMATIAN ITU ADALAH PERJALANAN SUCI, perjalanan sang roh setelah meninggal sepenuhnya ditentukan oleh karma almarhum saat masih hidup. Bukan oleh besar kecilnya upacara (banten). Kita harus mampu mempercepat pengembaian unsur panca mahabhutanya. Itu adalah dasar keyakinan agama Hindu sebagaimana disabdakan dalam beberapa kitab suci.
Mengenai banten yang sederhana, didasarkan atas kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya, dan Lontar Yama Purwana Tatwa. Ketiga rujukan itu hanya mempersyaratkan upacara yang amat sederhana.
Kalau sorga dan neraka ditentukan oleh besar-kecilnya banten, tentu hanya orang-orang kaya saja yang punya kaplingan di sorga. Sedangkan bagi kita yang miskin hanya akan kebagian nerakanya saja, tegas titiang.
Urusan kematian bagi umat Hindu di Bali, sering menimbulkan masalah ikutan yang terkadang lebih besar, seperti layaknya penyakit komplikasi. Menurut pengamatan titiang, ada banyak keluarga Hindu di Bali yang memunculkan konflik baru setelah melaksanakan ritual. Ada yang tak akur, bahkan ada yang membagi sanggah (pemujaan keluarga) setelahnya. Sehingga ritual yang dilaksanakan bukannya membawa santhi atau kedamaian, tetapi perpecahan dan perseteruan keluarga.
Seharusnya kita mampu hadir untuk meringankan umat sekaligus membuat bangga menjadi umat Hindu. Kehadiran paiketan pinandita bukan terbatas untuk warga kita saja, tapi untuk seluruh umat Hindu di Bali dan Nusantara.
Jro Mangku Bali Stor menguraikan tentang lapisan-lapisan tubuh manusia. Badan manusia terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama disusun oleh lima elemen dasar dunia material yakni Panca Mahabutha, lapisan kedua meliputi pikiran, emosi, dan nafsu. Lapisan terakhir adalah roh (atman). Jika seseorang meninggal, maka sang roh melompat meninggalkan badan kasarnya. Ajaran Hindu menjelaskan, sang roh akan menuju tempat yang sesuai dengan karmawasana-nya.
Bagi keluarga yang ditinggalkannya, sesuai etika Hindu, hendaknya mayatnya diurus agar mampu mempercepat proses atman kembali kepangkuan Tuhan, entah nanti dapat sorga atau neraka, hukum karma yang berlaku.
Kembali titiang pertegas, konsep roh itu dipahami dengan jelas, maka janganlah larut dalam kesedihan dan merasa terbebani bila menghadapi kematian. Sebab Bhagawadgita menyatakan, setiap yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian. Maka dari itu, terimalah kematian itu sewajarnya. Memang sulit untuk mempraktekkannya, tapi itulah penegasan kitab suci kita.
Elingan, mengurus badan kasar yang ditinggalkan roh itulah yang disebut sebagai ngaben. Sudah tentu, katanya, tugas utama untuk melaksanakan ngaben adalah anak-anak atau keluarga dekatnya. Namun jika keluarga tak mampu, maka umat Hindu yang lain wajib membantunya. Sebab kita pada dasarnya adalah bersaudara dan sederajat. Kita adalah satu keluarga besar. Masyarakat, khususnya umat Hindu, semestinya tak ada yang mempersoalkan penguburan atau pengabenan anggota keluarganya. Sebab ayah-ibu kita yang utama adalah Hyang Widhi. Jadi semua umat Hindu hendaknya merasa sebagai satu saudara. Apakah saudara-saudara yang hadir di sini sanggup melaksanakan prinsip persamaan dan persaudaraan itu?
Apakah saudara-saudara juga sanggup menolong umat Hindu yang menghadapi masalah dan kesusahan?
Demikian titiang bertanya kepada para para jro mangku yang hadir siang itu.
Jro Mangku Bali Stor menambahkan, dalam Hindu diajarkan Trikaya Parisuda yang meliputi pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik. Namun dalam pelaksanaannya Trikaya Parisuda itu sering melenceng. Misalnya ucapan seseorang sering tidak selaras dengan pikiran dan tindakannya. Ada orang berpidato bagus, menganjurkan untuk saling menyayang dan mengasihi satu sama lain, namun giliran ada keluarga yang hendak mengubur mayat, dihadang di tengah jalan. Atau bilamana ada umat yang tidak sanggup membayar iuran adat, mereka dilarang sembahyang di pura.
Sebuah kejujuran telah diungkap oleh Jro Mangku Bali Stor secara telanjang. Mudah-mudahan umat Hindu sedikit demi sedikit menyadari kelemahannya selama ini.
Wacana ini jangan ditanggapi secara emosional.
Ya, kita harus mampu memberi contoh nyata. Kalau kita mau berjuang bersama mari kita melakukan pengabenan nis prateka nir prabawa untuk menyikapi perkembangan zaman dan apa yang mesti diperbuat demi kelangsungan dan kejayaan Hindu.
Ritual atiwa-tiwa adalah bagian dari pitra yadnya yang dikomando oleh Ida Bang Buruan pun hanya memakan waktu separuh hari, seluruh rangkaian upacara dapat diselesaikan dengan sentosa. Ya, semoga kesederhanaan ritual menjadi pilihan sadar bagi sekalian umat Hindu. Sehingga tak ada kesan menjadi Hindu itu sulit dan penuh beban.
#tubaba@griya agung bangkasa// kematian adalah sebuah perjalanan suci yang tidak akan kembali lagi#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar