Kesederhanaan Ki Dalang Tangsub Pada Jamannya
(Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba/Tubaba)
Penyederhanaan upacara sering kita diwacanakan oleh para sulinggih-sulinggih dan tokoh-tokoh masyarakat di Bali. Namun tat kala tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat tersebut menyelenggarakan upacara, cendrung menonjolkan kemewahan dan kemegahan pada upacaranya tersebut.
Umat Hindu di Bali pantas bercermin pada sosok Ki Dalang Tangsub mengenai kesederhanaan dalam menggelar upacara yadnya (Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Aswameda Yadnya dan Siwa Yadnya). Dalam hal ini khusus membicarakan upacara pitrayadnya. Konon tatkala jasad Sang Wiku Rakawi (Ki Dalang Tangsub, dalam lontar lawar capung), upacaranya jauh dari kesan mewah ataupun megah. Tak ada lembu bertanduk emas, tiada usungan bade menjulang tinggi, tanpa hingar-bingar pula, toh yang terasa seperti kesunyian, keheningan.
Konon memang upacara pelebon sederhana itu merupakan wasiat Ki Dalang Tangsub sebelum lebar (meninggal). Ki Dalang Tangsub berpesan agar jazadnya cukup di bakar sederhana. Bahkan, Ki Dalang Tangsub sepertinya sudah tau kapan akan dijemput kematian. Lantaran sebagian perlengkapan upacara pelebon-nya disiapkan sendiri. Keropak penutup jenazahnya misalnya, sepenuhnya merupakan karya Ki Dalang Tangsub sediri.
Kesederhanaan memang menjadi jalan hidup Ki Dalang Tangsub. Dalam karya-karyanya, menyebutkan diri tidak berpunya (mayasa lacur), seperti kutipan pupuh beliau sebagai berikut:
Ada kidung anyar teka
Mijil saking Bang di langit
Kawi muda kapupungan
Sira layua mintar kidung
Iseng-iseng matembang
Anggen sarwi
Ati ibuk ban lacuran.
Kendati begitu Ki Dalang Tangsub senantiasa berharap bisa bermanfaat bagi masyarakat (guna loka). Ki Dalang Tangsub juga memilih jalan sunyi. Tak ada iring-iringan masa berjalan panjang hingga memacetkan pengguna jalan. Tak ada gemuruh tetabuhan baleganjur. Konon dulu, semasa hidup, beliau juga sering menyelenggarakan upacara yadnya dengan biaya ringan bahkan tanpa biaya sekalipun. Selain itu juga yang patut menjadi contoh adalah pada saat beliau didatangi oleh kakek miskin yang berharap agar sebelum kakek ini meninggalkan dunia ini agar pernah ada seorang sulinggih yang muput di Merajannya yang bangunannya sudah sangat rusak berat, dan yang mengharukan adalah sang wiku rakawi itupun berkenan mepuja hanya menggunakan banten “Peras Pengambyan” saja lengkap menggunakan Bhusana Agung (busana kebesara seorang sulinggih).
Itulah contoh tokoh agama dan tokoh masyarakat di Bali yang patut kita contoh kesederhanaannya, yang mana sangat jarang sekali kita temui pada masa sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar