Sabtu, 04 Januari 2020

DIKSA upacara penyucian menjadi Sulinggih

DIKSA
Penyucian diri menjadi brahmana atau sulinggih di Bali melalui proses upacara sedaraga dengan aksara Bali sebagai unsur utamanya atau lazim disebut Rsi Yadnya, merupakan proses sakralisasi untuk menyiapkan diri seseorang menyatukan diri dengan Brahman. Upacara tersebut lebih familiar dengan sebutan dwijati. Proses dwijati ini pada dasarnya bukanlah sebuah ambisi pribadi dari seseorang yang terlahir dalam keluarga Hindu yang masih memegang teguh agama leluhurnya, tetapi semata karena karma yang didukung oleh kitab suci agama Hindu. Diksa adalah kewajiban yang harus dilaksanakan pada saat masih hidup, serta diyakini sebagai bagian dari hukum moral. Hal tersebut jelas tercantum dalam Yajur Weda XIX. 36 sebagai berikut, "Vratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam, daksinam sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate" artinya, dengan melasanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai srada, melalui srada seseorang mencapai satya". 
              Melalui proses diksa, seseorang mendapat kewenangan untuk mempelajari dan mengajarkan Weda. Karena, Weda sebagai kebenaran tertinggi tidak boleh dipelajari secara sembarangan oleh orang yang belum memenuhi syarat kesucian. Dengan demikian, diksa merupakan upacara formal untuk menjadikan seseorang sebagai brahmana, karena semua orang Hindu terlahir sebagai sudra.

               Kelahiran sebagai sudra haruslah dipahami dalam konteks mempelajari kitab suci, tetapi bukan dalam strata sosial. Kitab suci juga telah menggariskan agar semua umat Hindu tidak menjadi sudra selamanya. Kesudraan seseorang haruslah diruwat dengan belajar Weda, atau setidaknya mengerti hakekat hidupnya tidak akan sudra selamanya karena kelahirannya. Ada ruang yang disediakan dan seharusnya dilaksanakan untuk berubah menjadikan dirinya tidak sudra, yaitu upacara diksa. Setiap orang yang beragama Hindu, sepanjang tidak cendala atau cacad berhak untuk melaksanakan diksa. Proses diksa bukanlah menjadi monopoli seseorang atau sekelompok orang.

              Dalam perjalanan sejarah Bali, ada kesalahan yang sengaja dipelihara dan dilanggengkan oleh sekelompok orang yang menganggap hanya golongan tri wangsa yang berhak mempelajari Weda dan melaksanakan upacara diksa. Ada diskriminasi yang sangat tajam antara tri wangsa dengan mereka yang dianggap sudra. Mereka sengaja membuat strata social yang tertutup dan hierarkis. Peraturan tidak tertulis tersebut menjadi sangat kuat melekat dan mengikat warga yang disudrakan, karena didukung oleh keputusan politik penguasa. Penguasa yang terkadang didominasi oleh tri wangsa lebih sering mengadakan kolusi dengan kelompoknya, untuk mengajegkan dominasinya. Padahal, kelompok yang disudrakan merupakan keturunan brahmana, yang dalam sejarah Bali pernah menjadi pemimpin masyarakat. Kelompok mayoritas yang juga sepatutnya berhak mempelajari kitab suci, tetapi terpasung karena keputusan sepihak sekelompok orang. Jadilah orang Bali menjajah orang Bali dalam bentuk diskriminasi intelektual dan kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada diri seseorang yang disudrakan. Jika merunut dari pernyataan ini, "Janmana jayate sudrah saskarairdvija ucyate" yang artinya, "semua orang terlahir sebagai sudra, melalui diksa seorang menjadi brahmana", maka sesungguhnya kelompok tri wangsa sebenarnya juga sudra, sepanjang mereka belum mengadakan upacara dwijati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar