Senin, 06 April 2020

MOMENTUM MEMANUSIAWIKAN MANUSIA MELALUI PANDEMI COVID 19

MOMENTUM MEMANUSIAWIKAN MANUSIA MELALUI PANDEMI COVID 19

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Secara rinci lontar Widhi Sastra Roga Sangara Gumi penjelasannya tentang wabah dan ciri kematian tiba-tiba yang dibawa angin, sesuatu yang tak kasat mata. Sedikit kutipan dari pembukaan lontar sebagai berikut:

“Nihan Widhi Sastra Roga Sangara Bumi, saking niti Bhagawan Dharmaloka, katama de Sang Aji ring Majapahit, tekaning Bali Madya, apa lwirnya, ritatkalaning ganti kali bhumi. Dewata matilar ring madhyapada, mantuk maring swargan mahameru, ginantianing Bhuta, sabhumi sami wwang kasusupan Bhuta….gering sasab marana tan pegat, ngendah laraning wwang, gumigil panas uyang, akweh pejah, desa tepi ning tasik tembening agering…  mantra usada punah. Pandhita bingung, Weda Mantra tanpa sari.”

Terjemahannya:
“Ini adalah Sastra Widhi Roga Sangara Bumi, dari ajaran warisan Bhagawan Dharmaloka, warisan dari yang dimuliakan-guru-penguasa di Majapahit, ketika datang ke Bali, tatkala pergantian bumi kali. Dewata meninggalkan dunia-tengah, pulang ke Surga Mahameru, diganti oleh Bhuta, manusia di bumi semua dirasuki Bhuta…. penyakit menular mewabah tiada terhentikan, tidak terperi derita manusia, menggigil panas, kehilangan kesabaran dilanda cemas, banyak korban meninggal, desa-desa pesisir ketiban penyakit…  mantra pengobatan punah. Pandhita bingung, Weda mantra kehilangan esensi.”

Masyarakat Bali pewaris pustaka lontar ini diajak untuk optimis bahwa datangnya sebuah wabah (sasab) yang melanda dunia adalah pertanda akhir batas sebuah era. Usai pandemik akan muncul era kemanusiaan—yang sebelumnya dilanda saling benci, penuh hujatan, saling sikut, saling fitnah—menuju “era baru” yang lebih baik dimana manusia akan lebih sadar arti kesetiakawanan, lebih sadar arti gotong-royong. Usai wabah berlalu akan manusia tersadar bahwa perlu era baru kesejagatan yang paras-paros (saling menjaga dalam kesetaraan).

Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa, berpandangan bahwa munculnya pandemi wabah virus corona jenis baru, Covid-19 merupakan ganti kali bumi, yaitu peralihan masa gelap jahat menuju sebuah era baru yang lebih baik. Manusia lebih sadar arti kesetiakawanan serta lebih sadar arti gotong-royong.

Secara teologi Hindu bahwa Dewa dan Bhuta Kala diciptakan bersamaan oleh Hyang Widhi. Dewa ya - Bhuta ya artinya di saat Bhuta Kala melakukan proses peralihan, masa pancaroba, umat manusia diminta melakukan Brata (menarik diri dari keramaian, puasa dan mawas diri).

Kalau sudah selesai Pemargin atau jalannya Sang Bhuta Kala, baru kita keluar sebagaimana mestinya. Ketika kekuatan alam sedang bergerak (gunung meletus misalnya) kita sebagai manusia yang memiliki nalar ya harus menghindar dan menepi.

Menurut titiang, penggunaan nalar ini dalam Hindu disebut Wiweka (kemampuan menimbang dengan dasar logika dan hati yang jernih). 

Pada musim ombak besar, nelayan yang harus menepi. Bukan soal berani atau takut, bukan soal kutukan penguasa laut, bukan karena Hyang Baruna benci kepada nelayan, tapi Hyang Baruna memberi kesempatan kepada nelayan untuk istirahat sejenak, menepi menimbang hidup bersama keluarga secara mendalam.

#tubaba@suksma ida hyang sinuhun#



Tidak ada komentar:

Posting Komentar