SASIH KEDASA VS COVID - 19
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd (wwang belog tiwas)
Pada Sasih Waisaka atau Purnama Kedasa (jatuh sekitar bulan April)
merupakan hari penghormatan kepada Sang Hyang Sunyaamerta (Manifestasi Tuhan yang
bersifat memberikan air suci kehidupan) yang bersemayam di Kahyangan dan bersifat
gaib
Purnama Kedasa sejak dulu dikenal sebagai inti dari semua Purnama. Karena itu
dilakukanlah ketika itu persembahyangan kepada para leluhur yang telah suci
bertempat di Sanggah/Kemulan.
Beberapa minggu terakhir ini, masyarakat dunia seakan digiring untuk fokus terhadap wabah virus corona atau Covid-19. Di Bali sendiri virus korona ini mampu membuat banyak perubahan. Seperti batalnya pengarakan ogoh-ogoh saat hari Pengrupukan dan pertama kalinya dalam sejarah, Ngembak Nyepi diberlakukannya Amati Lelungan atau tidak melakukan kegiatan bepergian.
Semua itu tentu bertujuan positif, yakni untuk menghindari terjadinya kerumunan dan demi memotong kemungkinan meluasnya wabah corona.
"Sasih Kedasa". Tidak bisa dipungkiri, wabah corona kini menjadi buah bibir dimasyarakat. Bahkan orang-orang tua di Bali (setidaknya orang-orang tua disekitar tempat tinggal titiang) banyak menyebutnya ini sebagai gerubug.
Bahkan disebutkan virus corona lebih hebat dari wabah yang disebabkan oleh Walunateng Dirah dalam cerita Calonarang dan penyebarannya lebih dahsyat dari virus HIV.
Terkait dengan istilah gerubug, Bali juga memiliki keyakinan dan cara tersendiri untuk memerdekan dirinya dari gerubug.
Titiang sebagai orang Bali meyakini setiap sasih (bulan) punya cerita masing-masing. Sejak hari suci Nyepi Isaka Warsa 1942 (Rabu, 25/3) lalu, jika mengacu pada perhitungan kalender Bali disebut dengan pinanggal ping pisan (tanggal 1) Sasih Kedasa. Lalu, ada harapan baik apa pada Sasih Kedasa ini?
Titiang masih sangat ingat dengan obrolan-obrolan kakek dan nenek penulis yang berlangsung puluhan tahun silam. Terutama ketika bertepatan dengan purnama Sasih Kedasa terjadi hujan lebat.
Diyakini hujan lebat tersebut sebagai hujan penelas (hujan penghabisan) untuk menghanyutkan semua penyakit. Sehingga kehidupan di pekraman menjadi kedas atau bersih dan Sasih Kedasa diyakini sebagai bulan pembersihan dari berbagai wabah penyakit.
Lalu, diera milenial ini apakah keyakinan itu masih berpengaruhnya sasih terhadap kehidupan masyarakat masih dihormati? Atau, apakah cukup mempercayakan gerubug corona akan pergi begitu saja oleh perjalanan sasih?
Bali masih kental dengan berbagai kearifan lokal. Termasuk kearifan lokal dengan “melobi” Ida Bethara agar terbebas dari berbagai bencana dengan upakara dan doa. Maka ditengah perputaran Sasih Kedasa ini, sangat bijak diisi dengan memperbanyak renungan dan ngarestitian diri maupun seisi jagat agar selalu dalam lindunganNya. Jangan-jangan virus corona mudah mewabah karena kita terlalu mengabaikanNya, melupakan jejak bijak para tetua dan memilih setiap saat memainkan android, saling share gambar atau info yang dianggap menarik atau untuk bermedsos ria.
Mari ngarestiti bersama, sehingga pada Purnama Sasih Kedasa yang bertepatan dengan puncak karya Bethara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih pada Selasa (7/4/20) ini, damuh-damuh Ida Bethara di jagat Wanoa Wangsul atau Nusa Wali yang kini dikenal dengan sebutan Bali dan seluruh umat manusia di planet bumi ini dianugerahkan kerahayuan dan gerubug corona kemudian menjadi catatan perenungan bersama bahwa bumi semakin tua dan harus dirawat dengan kasih sayang serta penuh penghormatan.
#tubaba@mulet sariria//ngrastitiang jagat#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar