Jumat, 31 Januari 2020

BAGIA SAJRONING MANAH SATIA...

BAGIA SAJRONING MANAH SATIA...

Satia ring kalanguan turmaning merasa cukup tan kirang pakan kinum,
Satia ring tresna sih mapahduman 
miwah Satia ring kalegan manah tulus mapahayu becik.
Boya sangkanin mas, mirah, jinah, lan keagungan bilih bilih tongkat kekuasaan.
#tubaba@bagiasajroningmanah#

Kamis, 30 Januari 2020

Hujan sudah turun

Lalu, apa katamu tentang hujan? Bagiku hujan itu suatu anugerah dimana kita bisa merasakan satu kehangatan tersembunyi

Hujan itu suatu rasa syukur atas segala deraan air yang menyeka panas

Merupakan nikmat tak berujung dari sang pencipta

Hujan itu sebuah penjaga rahasia dimana kita bisa menangis dibalik hujan

Berteriak dibalik semua gemuruh hujan terka

Hujan itu sebuah simphoni dimana nada-nada yang berkesinambungan selalu terkait

Dan selalu berirama untuk menjadikannya sebuah lagu diantara titik-titiknya

Hujan itu sebuah lukisan dimana bumi menjadi kanvasnya dengan tetes demi tetes air hujan yang terus mengalir menjadikan suatu bekas di antara tanah-tanah yang tertindih

Hujan itu juga sebuah kenangan dimana tiap air demi air yang mengalir

Selalu menimbulkan bekas dan terkadang bekas itu menjadi sebuah kubangan atau hilang begitu saja

Hujan itu juga sebuah keharmonisan dimana saat kemarau datang, kemudian hujan yang menerka akan menyejukkan kembali

Hujan juga sebuah percintaan dimana dua sejoli yang tengah basah di derasnya hujan menjadikan payung mereka untuk berteduh diantara tetesannya

Itulah hujan,,,

Dimana setiap insan bisa merasakan arti cintanya

Dari Hati Untuk Pahlawan Hidupku

Dari Hati Untuk Pahlawan Hidupku

Meski suaramu
Tak semerdu nyanyian lembut seorang ibu
Kau membingkaiku dengan nada nada ketulusan
Yang mengantarkan hatiku
Menuju lembah tinggi
Bernama kedamaian
Meski sentuhanmu tak selembut belaian suci seorang ibu
Namun dengan dekapanmu
Ku terhangatkan dengan kasihmu
Ku terlenakan
Dengan cintamu
Tangisku berderai

Kala ku ingat ucapan indahmu menimangku
Kala ku sentuh tubuh letihmu menjagaku
Seperti karang menjaga debu pasir
Oh Ida Bhatara Hyang Sinuhun.... 
Kau jaga aku
Kau lindungiku
Dari kotoran raga dan jiwa yang kan basahiku

Kau rela di terpa deburan buih
Yang berlalu
Demi aku....
Demi anakmu....
Seakan tak pernah lelah
Kau hapuskan tetes air mataku
Seakan tak pernah bosan
Kau redamkan aku dari tangisan

Ku urai hati ini
Untukmu Ida Hyang Sinuhun... 
Untuk segalanya yang tlah kau labuhkan pada dermaga hidupku
Hanya sebentuk puisi
Dari ketulusan hati
Untukmu bapakku Ida Hyang Sinuhun


#tubaba//ngaturangsuksmaningmanah#

Puisi Perjuangan Di Pundukdawa

Puisi Perjuangan Di Pundukdawa
Pupus Raga Hilang Nyawa
Napak tilas Kawitan bersama Sang Pelopor Pura Pundukdawa
Berkibar dalam syair Bendera Dulang Mangap
Berkobar dalam puisi Persatuan
Untuk meraih Cita-cita merdeka di Pundukdawa

Napak tilas Kawitan
Bersatu dalam semangat jiwa
Bergema di jagat nusantara
Untuk meraih prestasi dan karya Agung Tri Bhuwana ini

Merdeka…
Kata yang penuh dengan makna
Bertahta dalam raga sang pelopor Pura Pundukdawa
Bermandikan keringat dan air mata

Merdeka…
Perjuangan tanpa pamrih untuk persatuan pasemetonan
Menggelora di garis kepasekan
Memberi kejayaan di Pundukdawa sepanjang masa

Merdeka…
Harta yang tak ternilai harganya
Menjadi pemicu para pretisentana
Untuk tampil di Era dunia

#tubaba.griyang.bang#

Selasa, 28 Januari 2020

sebuah bukti bukan janji

Bukti akurat:
28 januari 2017, di gerya agung bongkasa saat panitia pembangunan meminjam uang kas majelis luhur utk dipergunakan membayar DP 30% tanah bukit seraua -pundukdawa.
Tanpa pinjaman uang dari majelis luhur, tanah itu blm mjd keyakinan utk bisa kita bayar.

#tubaba. dikutip. Dari Jro Pandu Lagosa#

Minggu, 26 Januari 2020

KEMATIAN SEBUAH PERJALANAN SUCI

KEMATIAN SEBUAH PERJALANAN SUCI
Jangan Bersedih Hadapi Kematian, Ngaben tak Perlu Besar
(Laporan hasil diskusi di Griya Agung Bang Buruan Manuaba)

Oleh I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Di pagi hari yang cerah, Minggu 26 Januaru 2020, di sebuah rumah di sebelah barat Gedong Ida Bang Buruan Manuaba, Gianyar. Beberapa Ida Sulinggih, Ida Bhawati, Jro Mangku, Dane Pinandita dan krama adat dengan pakaian adat tampak lalu lalang. Jumlah Ida Sulinggih tak lebih dari 15 orang. Makin bertambah waktu, makin banyak yang datang. Sampai pukul 12.10 akhirnya terkumpul sekitar 70 orang. Jika saja mereka yang berkumpul itu tidak memakai pakaian adat Bali, maka orang-orang yang melihatnya mungkin akan mengira sedang ada arisan. Padahal yang terjadi tuan rumah adalah upacara Atiwa-tiwa, mekingsan.
Ya hari itu, layon Ayah Anda Ida Bang Buruan, 70 tahun, dititip di pretiwi di setra (kuburan) yang tidak jauh dari griya. Jika merujuk pada kebiasaan masyarakat Hindu di Bali, 

Dalam percakapan dengan beberapa Jro Mangku dengan berbagai komentar diantaranya : "dewasa ini kita harus mampu berprilaku atau merubah pola pikir terhadap kematian tersebut, guna menyelesaikan ritual ngaben dengan sederhana". Gayung bersambut, konsep.suka-duka, lara pati sebenarnya menuntun kita untuk mau dan menyanggupi membantu umat. Karena tujuan dan komitmen paiketan itu memang untuk meringankan beban umat Hindu, khususnya dalam hal urusan kematian/pengabenan. Sesaji yang dibuat amat sedikit dan tidak ribet. Bantennya itu tak sampai memenuhi satu meja belajar seukuran standar di sekolah-sekolah.
Pukul 12.30 persiapan untuk membawa mayat ke setra dikerjakan tuan rumah dan dibantu anggota paiketan pinandita. Sebelum dilakukan ritual memandikan mayat (nyiramang), yang dipimpin oleh Ida  Pandita Mpu Bang Buruan Manuaba, terlebih dahulu diselipkan pencerahan (dharmawacana).

Di tempat yang berbeda titiang bersama beberapa jro mangku dalam kesempatan itu titiang tegaskan bahwa KEMATIAN ITU ADALAH PERJALANAN SUCI, perjalanan sang roh setelah meninggal sepenuhnya ditentukan oleh karma almarhum saat masih hidup. Bukan oleh besar kecilnya upacara (banten). Kita harus mampu mempercepat pengembaian unsur panca mahabhutanya. Itu adalah dasar keyakinan agama Hindu sebagaimana disabdakan dalam beberapa kitab suci.

Mengenai banten yang sederhana, didasarkan atas kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya, dan Lontar Yama Purwana Tatwa. Ketiga rujukan itu hanya mempersyaratkan upacara yang amat sederhana.

Kalau sorga dan neraka ditentukan oleh besar-kecilnya banten, tentu hanya orang-orang kaya saja yang punya kaplingan di sorga. Sedangkan bagi kita yang miskin hanya akan kebagian nerakanya saja, tegas titiang.

Urusan kematian bagi umat Hindu di Bali, sering menimbulkan masalah ikutan yang terkadang lebih besar, seperti layaknya penyakit komplikasi. Menurut pengamatan titiang, ada banyak keluarga Hindu di Bali yang memunculkan konflik baru setelah melaksanakan ritual. Ada yang tak akur, bahkan ada yang membagi sanggah (pemujaan keluarga) setelahnya. Sehingga ritual yang dilaksanakan bukannya membawa santhi atau kedamaian, tetapi perpecahan dan perseteruan keluarga. 
Seharusnya kita mampu hadir untuk meringankan umat sekaligus membuat bangga menjadi umat Hindu. Kehadiran paiketan pinandita bukan terbatas untuk warga kita saja, tapi untuk seluruh umat Hindu di Bali dan Nusantara.

Jro Mangku Bali Stor menguraikan tentang lapisan-lapisan tubuh manusia. Badan manusia terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama disusun oleh lima elemen dasar dunia material yakni Panca Mahabutha, lapisan kedua meliputi pikiran, emosi, dan nafsu. Lapisan terakhir adalah roh (atman). Jika seseorang meninggal, maka sang roh melompat meninggalkan badan kasarnya. Ajaran Hindu menjelaskan, sang roh akan menuju tempat yang sesuai dengan karmawasana-nya.

Bagi keluarga yang ditinggalkannya, sesuai etika Hindu, hendaknya mayatnya diurus agar mampu mempercepat proses atman kembali kepangkuan Tuhan, entah nanti dapat sorga atau neraka, hukum karma yang berlaku.

Kembali titiang pertegas, konsep roh itu dipahami dengan jelas, maka janganlah larut dalam kesedihan dan merasa terbebani bila menghadapi kematian. Sebab Bhagawadgita menyatakan, setiap yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian. Maka dari itu, terimalah kematian itu sewajarnya. Memang sulit untuk mempraktekkannya, tapi itulah penegasan kitab suci kita.

Elingan, mengurus badan kasar yang ditinggalkan roh itulah yang disebut sebagai ngaben. Sudah tentu, katanya, tugas utama untuk melaksanakan ngaben adalah anak-anak atau keluarga dekatnya. Namun jika keluarga tak mampu, maka umat Hindu yang lain wajib membantunya. Sebab kita pada dasarnya adalah bersaudara dan sederajat. Kita adalah satu keluarga besar. Masyarakat, khususnya umat Hindu, semestinya tak ada yang mempersoalkan penguburan atau pengabenan anggota keluarganya. Sebab ayah-ibu kita yang utama adalah Hyang Widhi. Jadi semua umat Hindu hendaknya merasa sebagai satu saudara. Apakah saudara-saudara yang hadir di sini sanggup melaksanakan prinsip persamaan dan persaudaraan itu? 

Apakah saudara-saudara juga sanggup menolong umat Hindu yang menghadapi masalah dan kesusahan?

Demikian titiang bertanya kepada para para jro mangku yang hadir siang itu. 

Jro Mangku Bali Stor menambahkan, dalam Hindu diajarkan Trikaya Parisuda yang meliputi pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik. Namun dalam pelaksanaannya Trikaya Parisuda itu sering melenceng. Misalnya ucapan seseorang sering tidak selaras dengan pikiran dan tindakannya. Ada orang berpidato bagus, menganjurkan untuk saling menyayang dan mengasihi satu sama lain, namun giliran ada keluarga yang hendak mengubur mayat, dihadang di tengah jalan. Atau bilamana ada umat yang tidak sanggup membayar iuran adat, mereka dilarang sembahyang di pura.

Sebuah kejujuran telah diungkap oleh Jro Mangku Bali Stor secara telanjang. Mudah-mudahan umat Hindu sedikit demi sedikit menyadari kelemahannya selama ini. 

Wacana ini jangan ditanggapi secara emosional.

Ya, kita harus mampu memberi contoh nyata. Kalau kita mau berjuang bersama mari kita melakukan pengabenan nis prateka nir prabawa untuk menyikapi perkembangan zaman dan apa yang mesti diperbuat demi kelangsungan dan kejayaan Hindu. 
Ritual atiwa-tiwa adalah bagian dari pitra yadnya yang dikomando oleh Ida Bang Buruan pun hanya memakan waktu separuh hari, seluruh rangkaian upacara dapat diselesaikan dengan sentosa. Ya, semoga kesederhanaan ritual menjadi pilihan sadar bagi sekalian umat Hindu. Sehingga tak ada kesan menjadi Hindu itu sulit dan penuh beban.

#tubaba@griya agung bangkasa// kematian adalah sebuah perjalanan suci yang tidak akan kembali lagi#

Sabtu, 25 Januari 2020

Pasek dan pacek

Pasek dan Pacek, kedua kata ini kadang dipersamakan artinya, kekeliruan ini memang sudah lama. Keduanya mengacu pada satu soroh yang mayoritas di Bali. Kata Pacek identik dengan pasak, pakis dan paku. Kata-kata ini mengacu pada jabatan birokrasi traditional di Nusantara., khususnya di Jawa. Kata paku, misalnya, dipersamakan dengan jabatan tertinggi raja dan dilekatkan dengan gelar kebangsawanan. Paku Alam di Yogyakarta dan Paku Buwono di Solo.

                Pasek di Bali berkonotasi dengan nama orang atau soroh. Apabila membaca atau mendengar kata pasek, dapat dipastikan orang tersebut adalah ketururnan dari Sang Panca Pandita atau Panca Tirta. Boleh dikatakan kata pasek mengacu pada geneologis atau hubungan darah karena kelahiran seseorang.

                Orang Bali banyak yang menggunakan kata pasek di awal atau di akhir namanya. Hal itu sebagai kenangan atau rasa baktinya terhadap leluhurnya yang menjadi brahmana di Jawa atau di Bali, dengan gelar dwijati “Mpu” sekarang bergelar "Ida Panditha Mpu". Kita juga harus bangga, menjadi soroh pasek, warga yang mayoritas di Bali.

                Ada beberapa hal yang merupakan identitas umum dari warga pasek di Bali. Kata pasek menempel pada nama seseorang member petunjuk pada orang tersebut dari warga pasek. Warga pasek yang harus bangga mencantumkan kata pasek pada identitasnya. Tentu sangat baik, karena identitas itu sudah menjadi cerminan umum dari sebuah kebanggaan terhadap warisan genealogis leluhurnya. Sebuah ungkapan realitas kalau warga pasek bukanlah sebuah kumpulan orang orang yang disudrakan oleh sekelompok orang. Kelompok-kelompok yang dalam sejarahnya menganggap diri sebagai manusia-manusia berkelas, baik dalam srata social maupun dalam hubungannya dengan tata beragama. Banyak naskah yang dengan jelas mengatur adanya diskriminasi antara Tri Wangsa dengan kelompok yang disudrakan dalam konsep yadnya di Bali. Aturan itu bahkan diwariskan sampai sekarang. Andaikan kemajuan teknologi informasi tidak terjadi, maka selamanya akan terjadi kerancuan pemahamam tentang Catur Warna dan penerapannya di antara warga pasek. Ada dimensi kesetaraan yang sengaja dihilangkan oleh kelompok minoritas dalam rangka melanggengkan dominasi structural dan statusnya.

                Ciri lain yang sangat kental mengenai warga pasek dapat dilihat pada sturktural pelinggih, baik dalam Pura Paibon, Pura Panti dan Pura Dadya. Bangunan Meru Tumpang Tiga yang posisinya dari arah Timur menghadap ke Barat, ataupun dari Utara menhadap ke Selatan, dapat memastikan kalau pura tersebut ada kaitannya dengan warga pasek. Bangunan Meru Tumpang Tiga sesuai dengan keputusan Mpu Kuturan yang termuat dalam Lontar Padma Buana Prakempa. Keputusan mengenai Meru Tumpang Tiga untuk warga pasek juga termasuk dalam Lontar Raja Purana. Dari posisi Meru Tumpang Tiga bisa juga ditengarai tentang soroh paseknya. Misalnya, jika bangunan Meru Tumpang Tiga posisinya di Timur menghadap ke Barat, kebanyakan menunjukan identitas Pasek Tohjiwa. Jika isinya utuh, maka dalam meru tersebut akan dijumpai prasasti dengan keropak prasasti yang berbentuk Kijang Putih dilengkapi pacanangan yang berbentuk Singa Bersayap. Biasanya juga dilengkapi dengan sebuah atau lebih Genta sebagai simbul kebrahmanaan. Ciri-ciri tersebut sudah dibuat di Pura Dadya Agung Pasek Tohjiwa. Dalam pandangan almarhum Jro Gde Ketut Soebandi, warga Pasek Tohjiwa seharusnya tidak membuat attribute leluhurnya dengan bentuk Naga Kahang, karena bentuk tersebut lebih menekankan pada peran kesatria. Bentuk Naga Kahang sebagai Kropak Prasasti dominan digunakan oleh soroh Pasek Gelgel, ditempatkan pada Meru Tumpang Tiga yang berposisi di Utara menghadap ke Selatan. Pedoman menggunakan Kijang Putih, Singa bersayap dan Genta sepatutnya dijadikan acuan oleh soroh Pasek tohjiwa yang membuat Pratima. Standarisasi dalam simbol-simbol terkait dengan sejarah leluhur serta alur bakti warga pasek, khususnya Pasek Tohjiwa sangat diperlukan untuk membangun ketunggalan simbol dan pemahaman.

                Warga Pasek di Bali juga sangat dikaitkan denga Pura Catur Prahyangan yaitu Pura Lempuyang Madya di bukit Lempuyang, Karangasem, Pura Catur Lawa Ratu Pasek di Besakih, Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem dan Pura Catur Parhayangan Ratu Pasek Pundukdawa Klungkung. Pura Catur Prahyangan merupakan pura-pura untuk memuja Sang Panca Pandita atau Lima Pendeta Agung yang berasal dari Jawa yang sangat berjasa menata orang Bali dalam melaksanakan tatwa agama Hindu. Keberadaan Pura Catur Parahyangan menjadi sangat penting dalam rangka bakti kepada leluhur yang terkait dengan keturunan dan sejarah warga pasek di Bali. Dalam konteks Pura Catur Parahyangan, warga pasek juga mesti mengetahui kesujatian asal usulnya. Oleh karena ada kesalahan sejarah yang sangat fatal di antara warga pasek mengenai sejarahnya.

                Ada anggapan yang sangat keliru, bahwa Pura Dasar Buana Gelgel adalah pusat bukti dari warga pasek di Bali. Jika mereka sudah mengenal dan pernah sembahyang di Pura Dasar Buana Gelgel, maka sudah menganggap baktinya terhadap leluhur sempurna. Pura Dasar Buana dianggap pusat dari warga pasek. Padahal Ida Betara Mpu Gana yang dipuja pada Meru Tumpang Tiga paling utara di Pura Dasar Buana selama hidupnya menjalankan Sukla Brahmacari. Artinya Mpu Gana tidak mempunyai keturunan langsung. Oleh sebab itulah Ida Sinuhun Parama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal-Badung bersama semeton Pasek yang memiliki pemikiran modern, membuatkan linggih baru di Desa Pundukdawa untuk tetap menghormati Ida Bhatara Mpu Gana. Satu-satunya yang mengadakan keturunan langsung adalah Mpu Gnijay. Ida Betara Mpu Gnijaya berstana di Pura Lempuyang Madya. Puncak bakti warga pasek di Bali adalah di Pura Lempuyang Madya.

                Adapun rasa bakti yang dilaksakan di Pura Ratu Pasek Besakih, Pura Silayukti dan Pura Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa merupakan perwujudan bakti kepada saudara-saudara dari Mpu Gnijaya. Hal itu dibuktikan dengan Bhisama dari Ida Betara Kawitan, warga pasek yang melaksanakan upacara Pitra Yadnya harus memohon tirta utama yang disebut Tirta Tunggang di Pura Lempuyang Madya. Tirta tersebut merupakan “Banyu Baga Purusa” dari Ida Betara KAwitan yang akan membantu mengantar yang diupacarai menuju alam Sunya Loka. Tirta Tunggang hanya ada di Pura Lempuyang Madya.

                Tirta Tunggang dalam fungsinya sebagai “ Pengentas” tidak perlu lagi dimantrai oleh pemangku, pinandita ataupun pendeta. Kedudukannya sudah sangat suci dan tinggi dalam konsep tirta. Tirta Tunggang juga sangat bertalian dengan penggunaan aksara kepatian yang harus ditulis dalam daun Pisang Kaikik. Bagi warga pasek yang meninggal, apakah langsung diabenkan atau tidak, wajib dilengkapi daun Pisang Kaikik untuk pembungkus mayatnya. Kewajiban itu jelas tertulis dalam kutipan Bhisama: “…Rikala kepatianta dateng, wenang dinungkus dening daun Pisang Kaikik…”. Dalam kaitannya dengan Bhisama yang diyakini, pelanggaran terhadap petunjuknya akan menuai pahala yang buruk, baik terhadap yang masih hidup maupun yang diupacarai.

                Bertalian dengan aksara kepatian, warga pasek telah mewarisi formatnya yang termuat dalam Kajang Pasek. Susunan itu tidak boleh diubah dengan alasan apapun, atau oleh siapa pun, Seperti Tirta Tunggang, wajib hukumnya bagiwarga pasek yang sudah meninggal pada saat diaben menggunakan Kajang Pasek sesuai dengan statusnya. Maksudnya, jenis kajang yang dipakai sangat terkait dengan jabatan soroh pasek yang meninggal. Kajang bagi warga pasek biasa berbeda dengan mereka yang menjadi pandita atau pendeta selama hidupnya.

                Penggunaan Kajang Pasek tidak dapat diganti dengan kajang lain, apalagi yang dikutip dari kajang soroh lain. Penggunaan kajang yang tidak sesuai dengan Kajang Pasek akan mengubah identitas sang mati dan bertentangan dengan Tirta Tunggang. Kedua simbol Tirta Tunggang dan Kajang Pasek sudah merupakan kesatuan harmoni yang sangat sacral. Tirta Tunggang adalah purusannya, sedangkan Kajang Pasek menjadi predananya. Jika salah satu ditiadakan, maka hasilnya tidak akan sempurna bagi yang meninggal.

                Kekeliruan yang juga sangat mendasar bertalian dengan Kajang Pasek adalah tradisi minta Kajang Pasek di Pura Dadya ataupun pura-pura yang kedudukannya lebih rendah dari Pura Dadya Agung, dengan jarak yang sangat jauh dari tempatnya mengadakan upacara Pitra Yadnya. Dalam anggapannya, ada perbedaan Kajang Pasek dari masing-masing soroh pasek di Bali. Kajang Pasek Gelgel seolah-olah berbeda dengan Kajang Pasek Tohjiwa. Menilik pada acuannya, tidak ada Kajang Pasek Gelgel, Kajang Pasek Tohjiwa atau Kajang Pasek lainnya, yang ada adalah Kajang Pasek. Tradisi ini pula telah mendorong terjadinya penyimpangan bagi pemangku di pura tersebut. Banyak pemangku yang berani melaksanakan upacara pasupati terhadap kajang tersebut. Mereka mengucapkan mantra-mantra yang sebenarnya tidak menjadi haknya. Padahal upacara pemelaspas kajang dan pemasupati hanya boleh dilaksanakan oleh pendeta/Ida Panditha Mpu dalam setatusnya sebagai Siwaning jagat. Karena, dalam tatacara pemasupatian ada mantra-mantra atama yang sangat berhubungan dengan perjalanan atma, dan oleh sebab itulah hanya orang yang telah melalui proses sedaraga dwijati boleh melakukan pamasupatian kajang. Kesalahan dalam penerapan mantra akan berpengaruh terhadap perjalanan atma menuju alam sunya.

                Jangankan pemangku, dalam lontar Gong Wesi telah ditegaskan bahwa pendeta/Sulinggih yang belum paham dengan jati dirinya, tentang keluar masuknya atma yang ada pada dirinya, tidak boleh untuk muput ngaben. Jika pendeta seperti itu yang muput, maka roh yang diupacarai akan kesasar masuk neraka. Petunjuk seperti ini harus diyakini oleh semua warga pasek sebagai kebenaran suci. Kajang dalam simbolisnya sebagai aksara kepatian bisa diminta pada Ida Pandita Mpu yang terdekat, atau Ida Pandita Mpu yang ditugaskan muput Pitra Yadnya.

                Kajang yang diperlukan memang bisa juga disurat oleh pemangku pura masing-masing sepanjang sudah tahu yang mesti dipakai dengan tuntunan buku Kajang Pasek. Seharusnya semua pemangku dilingkungan Pasek Tohjiwa bisa menggambar dan menulis kajang untuk saudaranya yang meninggal, sehingga tidak tergantung terus kepada orang lain. Pemasupatian kajang diserahkan pada sang sulinggih yang muput yadnya. Hal yang sangat perlu dari Pura Dadya Agung adalah tirta untuk mengantar sang atma dalam perjalanannya menuju Sang Hyang sangkan Paran. Tirta Ida Betara Kawitan merupakan restu dan petunjuk jalan bagi atma-atma yang akan menuju Sunya Loka. Dalam berbagai sumber sastra diceritakan, leluhur akan ikut menjemput dan mengantar atma-atma yang diupacarai. Untuk itu, kedekatan dalam wujud bakti dengan leluhur memegang peran penting dalam perjalanan sang atma menuju Sang Hyang Parama Atma, selain karma yang diperbuatnya ketika masih hidup.

                Keyakinan orang Bali sangat kuat terhadap campur tangan leluhur dalam proses kehidupan di alam niskala dan sekala. Cerita Sang Jarat karu memberikan gambaran yang sangat gamblang bagaimana pentingnya hubungan antara mereka yang sudah meninggal dengan mereka yang masih hidup. Lalai bakti terhadap leluhur diyakini akan tertimpa kutuk bagi mereka yang masih hidup, dan kesengsaraan bagi mereka yang sudah meninggal. Setinggi apapun tingkat spiritual seseorang harus tetap ingat pada leluhur, bakti terhadap leluhur merupakan swadharma yang berdasarkan Rna atau utang terhadap leluhur. Prabu Dharmawangsa salah satu titisan Dewa Dharma di Panca Pandawa yang sangat tinggi kesuciannya, juga melakukan yadnya suci untuk membebaskan Sang Pandu ayahnya dari neraka. Prabu Dasa Rata ayah Sri Rama yang sangat ahli Catur Weda juga melaksanakan Pitra Yannya untuk membebaskan leluhurnya dari segala karma buruk yang dibuatnya selama hidupnya.

                Berhubungan dengan Tirta Tunggang, ada Pandita Mpu di Bali menstanakan Tirta Tunngang di Merajan Grianya dengan alasan kalau pitra yadnya waktunya sangat mepet, tirta itu digunakan. Di balik tujuan untuk meringankan efisieansi yang melaksanakan ngaben, Ida Pandita Mpu tidak  bermaksud menjauhkan warga pasek dari Ida Betara Kawitan di Pura Lempuyang Madya. Tetapi hendaknya suatu hari tertentu bisa pedek tangkil pada Ida Betara Mpu Gnijaya dan Ida Betara Manik Gni yang berstana di Pura Lempuyang Madya di Karangasem, merupakan Betara Betari yang paling penting dalam struktur Betara Kawitan di lingkungan warga pasek. Hal itu dimaksudkan yang meninggal atau keluarga yang meninggal mengetahui siapa yang menurunkan Tirta Tunggang dan dimana tempatnya.

Kala tattwa/kebenaran sang waktu

Tuhan yang mengatur skenario, waktu yang menentukan dan kita yang berperan dalam hidup.  Dan semua akan indah pada waktunya.

Tuhan membuat semuanya indah di waktu yang tepat. Jika tidak indah, itu hanya waktunya saja yang belum tepat.

Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, semua indah pada waktunya.

Semua yang indah belum tentu baik, tapi semua yang baik akan indah pada waktunya.

Semua itu akan indah pada waktunya jika kamu mengejar apa yang kamu inginkan. 

Jangan Pernah berhenti berharap; Jangan Pernah berputus asa, ingat rencana Tuhan akan indah pada waktunya.

#tubaba@jalanin lan kenyemin#

Jumat, 24 Januari 2020

Hidup itu sederhana

Hidup itu sederhana saat menjalaninya dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Kita menjalani hidup tanpa turut campur dalam urusan kehidupan orang lain. Sesederhana  itulah sebenarnya hidup. Sayangnya, terkadang kita melibatkan diri dalam hal yang sesungguhnya bukan menjadi bagian dari hidup kita. Itulah sebabnya hidup terasa begitu berat dan rumit.
Kebiasaan menggosip, mencemooh, dan mengolok-olok tak jarang kita lakukan. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang tanpa disadari menjadikan kita dijauhi banyak orang. Tak ada yang mau membantu saat susah atau tak ada yang mau menemani sehingga kita merasa kesepian. Inilah yang membuat kita terkadang merasa sulitnya menjalani hidup.

Hal yang paling penting adalah menikmati hidupmu, menjadi bahagia, apa pun yang terjadi.

Karena hidup bukan ditentukan orang lain, Anda harus bisa membuat jalan hidup sendiri. Anda yang berhak memutuskan apa yang terbaik. Menjalani hidup yang Anda miliki sebaiknya disertai kebahagiaan yang bisa didapatkan dari diri sendiri, keluarga, rekan, dan lingkungan sekitar. Tidak ada alasan untuk tidak bahagia, bukan?

Hidup itu bukan soal menemukan diri Anda sendiri. Hidup adalah tentang menciptakan diri

Terkadang kita terjebak pada satu frasa yang salah dalam hidup. Dalam kehidupan, kita pasti mengalami fase mencari jati diri. Sebenarnya, tidak ada jati diri yang hilang. Jati diri ada karena dibentuk, bukan dicari lalu didapatkan. Seperti apa diri mereka tergantung dari bagaimana memilih hal-hal apa saja yang berpengaruh dalam kehidupan dan diri mereka.
#tubaba@hidup tergantung pada diri kita#

Hidup adalah Panggung Sandiwara Nyata

Hidup adalah Panggung Sandiwara Nyata
Hidup adalah mimpi bagi mereka yang bijaksana, permainan bagi mereka yang bodoh, komedi bagi mereka yang kaya, dan tragedi bagi mereka yang miskin.

Hidup bisa jadi suatu hal yang sangat menyenangkan atau bahkan sangat menyedihkan. Hal ini terjadi karena perbedaan sudut pandang yang dipengaruhi latar belakang setiap orang. Untuk membuat Anda tetap bahagia, maka Anda harus memiliki sudut pandang yang positif, menganggap bahwa hidup Anda patut disyukuri dan dinikmati dengan segala kebahagiaan, bukan hanya diisi dengan kemurungan dan duka berlarut-larut.

#tubaba@hidup hurip#

ciri ciri karang panes

Dalam beberapa sumber, terutama dalam lontar Tatwa Japa Kala, kalau sudah ada lulut emas itu pertanda karang itu panes.
Sudah beberapa kali titiang sampaikan, sesungguhnya tempat tinggal kita itu adalah pembungkus keluarga yang tinggal di tempat itu.

Artinya, munculnya lulut di pekarangan rumah mempertandakan ada yang longgar (atmosfir rumah yang tidak harmonis).

Untuk Lulut Kuning (Emas) upakaranya  : suci asoroh, dengan menggunakan daging ayam biing, tebasan, peras, lengkap dengan sesantunnya, penyeneng palinggih, serta canang sari. Melakukan upacara pemendakan terhadap betari sri sehingga dalam melangsungkan kehidupan ini diberikan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan,  setelah selesai diupacarai segeralah kembalikan ke tempat penyimpanan beras. Lulutnya disatukan ditaruh pada bungkak kelapa tanam dibelakang/Teba, Hanyut ke sungai, atau sekalian ke segara juga sangat bagus.
Untuk Lulut Putih (Perak) upakaranya : Suci asoroh, dengan menggunakan daging ayam putih, tebasan lengkap dengan sesantunnya, penyeneng palinggih serta canang sari. Melakukan upacara pemendakan terhadap Betara Rambut Sedana agar dalam menjalani kehidupan ini beliau menganugrahkan keselamatan, kemuliaan, dan kesejahteraan. Setelah selesai upacaranya segeralah kembalikan ke gedong saren. Lulut disatukan ditaruh pada bungkak kelapa lalu ditanam di belakang/teba, hanyut ke sungai, atau jikalau memungkinkan sekalian ke segara bawa untuk menghanyutkan segala kekotoran yang telah terjadi akibat ke munculan lulut tersebut.

#Tubaba. Griyang Bang#

Salam Satu Jari Salam Satu Jalur

Salam Satu Jari
Salam Satu Jalur
Salam Pasemetonan Pitu
IDENTITAS WARGA PASEK ADALAH WARNA KUNING

Secara umum, warna terang seperti halnya kuning, memberikan kesan ceria, bahagia, energik, dan rasa optimis. Adapun penggunaan warna kuning dipercaya mampu merangsang aktivitas pikiran dan mental, bahkan berdampak pada meningkatnya kemampuan analisis seseorang.

Muncul satu anggapan, mereka yang menyukai warna kuning cenderung lebih bijaksana, cerdas (akademis), kreatif, serta piawai dalam menciptakan ide dan berinovasi.

BAKTI MUKTI SALAH ARTI BAKTI SALAH BUKTI

BAKTI MUKTI SALAH ARTI 
BAKTI SALAH BUKTI
(Olih: Tubaba Griyang Bang) 
Aken baan Cening 
Manjusin layon Memene..... 
Baan boreh kuning keto mase sisig ambuh apang kedas ebok Memene. Sakewale Ning.....
Dugase Meme enu ngidaang maangkihan, salingkih Cening manjusin, 
pragat di balene Meme maguyang tuara taen Cening maekin.....

Cacep liman Ceninge nanding ane madan saji tarpana, 
ngararis kagenahang ring ulun layon Memene...... 
Sakewale Ning......
dugase enu Meme maurip, 
kadirasa bubuh embon Meme kapah maan ngidih.

Sekancan tirta....
mawit tirta panglukatan ngantos ka tirta pangentas tunasang Cening, 
tatujone tuara ada len......
apang pajalan Meme ngungsi tanah palekadan sida rahayu. 
Sakewale Ning......
Ne malu dugase Meme enu ngidaang magelekan, 
yeh nyem tuara taen Cening ngenjuhin.

Tumpang salu, 
bade managa banda gaenang Cening anggon Meme masare...... 
Sa doh gumi Cening kanti ngalih undagi apang pragat ja yadnyane nenenan,
Kewale Ning...... 
Dugase Meme enu mataanan, 
salingkih bale, tikeh pandan abidang Meme tuara nawang.

Ning........
indik makejang yadnyan Ceninge mratekain layon Memene, 
angayu bagia, 
Meme lega, 
Meme demen. 

Sakewale Ning......
Yan dadi Meme ngidih, 
ento buka reraman Ceninge, 
I Bapa, kurenan Meme, 
enu madan maurip, 
enu nugtugang tuuh, 
runguang ja ragane, 
selegang ngayahin ragane, 
apang tusing disubane pegat angkihan,
ditu mare lantas Cening rungu, 
nirguna pajalane totonan, Ning.......
De buin nirgawe bukti, mukti, ane salah arti..... 

#piteket@ida bhatari hyang sinuhun.nujugenah.sunialoka#

DULANG MANGAP PAHLAWAN TANPA NAMA

DULANG MANGAP PAHLAWAN TANPA NAMA
Angin berhembus
Memainkan rambutku dengan lembut
Di tengah sebuah makam pahlawan
Yang terbujur tanpa adanya nama
Sejenak , mata ini terpejam
Membuka pintu kenangan
Dimana Dulang Mangap tengah tertindas
Beribu pemuda Dulang Mangap
Mengorbankan jiwa dan raga
Seolah nyawa
Hanya berharga seratus rupiah
Semangat yang berkobar
Membangkitkan  jiwa kemerdekaan di Pundukdawa
Dengan tujuh buah keris runcing di atas dulang
Dengan ikat kepala kuning sang kawitan
Wahai pahlawan muda Dulang Mangap
Kau maju, melawan pistol2 pemberontak
Dengan modal semangat juang
Ida Sinuhun korbankan jiwa meraih merdeka di pundukdawa
Tak perduli tiada yang mengenalmu
dalam jiwamu,,
meraih guyub pasemetonan adalah bayaran bagimu
untuk setiap tetesan darah yang kau keluarkan
lihatlah wahai pahlawan muda Dulang Mangap
Pundukdawa ini…t’lah menjadi milik pretisentana Ida Bhatara Kawitan.

#Tubaba.griyangbang#

Makna busana sulinggih warna kuning

Bhusana Sulinggih Berwarna Kuning memberi arti kehangatan dan rasa bahagia dan seolah ingin menimbulkan hasrat untuk selalu dekat dengan beliau. Dengan kata lain warna kuning ini juga mengandung makna optimis, semangat dan ceria. ...
Kuning ini disebut-sebut sebagaiwarna matahari yang terlihat alami. Keberadaannya dapat merangsang aktivitas pikiran dan mental.

#salam mamahayuning kahun ning#

WARNA KUNING MERUPAKAN WARNA KEBESARAN PASEK

WARNA KUNING MERUPAKAN WARNA KEBESARAN PASEK.
Kuning itu di alam sangat direpresentasikan dengan matahari dan sinarnya. Sesuai sifatnya yang “menerangi” bumi maka kuning bisa menggambarkan sesuatu yang inspiratif, membuat jiwa kita terbuka, menggerakkan yang sebelumnya diam. 

IDA SINUHUN pernah mengutarakan; dalam desain logo PASEK, kita bisa menggunakan kombinasi warna ini untuk menunjukkan bahwa pasemetonan kita bisa “menginspirasi dunia”, menggerakkan, membawa pada perubahan. Karena sifatnya yang inspiratif ini pula, warna kuning juga identik dengan warna kreativitas, warna sebuah ide…

Masih satu rumpun dengan makna inspiratif di atas, warna kuning juga menggambarkan keceriaan, kegembiraan. 

Beliau juga menegaskan; warna kuning juga merepresentasikan kejayaan, kesuksesan dan kemenangan. 
Warna kuning merepresentasikan optimisme dan kepercayaan diri yang kuat.

Warna kuning bisa meningkatkan konsentrasi. Selain itu warna kuning dengan sedikit tambahan unsur hitam atau biasa kita sebut “deep yellow” bisa juga melambangkan bahaya, waspada dan kehati-hatian. Lihatlah bagaimana warna ini digunakan pada sebagian besar rambu lalu-lintas yang bersifat peringatan.

Secara psikologis, warna kuning bisa menimbulkan rangsangan yang sangat kuat, stimulus emosi yang dahsyat. Dalam desain marketing tools (brosur, company profile, banner, dll) yang memiliki background gelap pekat (hitam atau warna-warna gelap lain), akan lebih “mencolok” memberi warna “kuning” pada judul text daripada warna putih. Walau pun keduanya sama-sama direkomendasikan untuk background yang gelap.

Warna kuning adalah warna kehangatan dan persahabatan. Sebab ia adalah warna yang menyambung sebuah persahabatan.
Karena sifatnya yang penuh dengan keceriaan.

#tubaba.hening dalam kuning#

mengendalikan kesabaran

Sabar Sampai Sadar, dan Menjadi Tidak Perlu Sabar Lagi.....
Bisa bertahan dalam kesabaran sambil merenungi makna dari peristiwa yang dialami, maka akan mendatangkan kesadaran ! Sabar.........?

Betapa sulitnya untuk sabar didalam hidup yang penuh pesan terakhir dari beliau. Betapa sulitnya menjadi orang sabar saat emosi lebih menguasai. Betapa terpaksanya kita harus menahan sabar dengan dada yang bergetar. 

Mau tidak mau harus sabar menahan diri sambil geleng-geleng kepala. Menghadapi orang-orang yang bandel, terpaksa harus sabar juga menahan nafas. 

Menulis di medsos juga harus sabar, karena walau sudah menulis dengan benar tapi karena beda pemahaman, pasti ada yang tidak senang dan disalah pahami. Harus sabar dikritik, diledek, dan bahkan dihujat. Kalau tidak sabar, bisa-bisa makan hati dan jadi emosi sendiri. Akhirnya kehilangan motivasi untuk menulis lagi. Kalau direnungkan, kesabaran yang kita miliki selama ini, apakah sebuah kesabaran yang terpaksa atau memang kesabaran yang ikhlas?

Saya pribadi merasa ternyata kesabaran yang ada selama ini sebenarnya adalah hanya sebuah kesabaran yang terpaksa dan belum sepenuhnya ikhlas. Ada baiknya memang, karena walau terpaksa tetap membutuhkan sebuah perjuangan yang berat. Jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sabar disekitar kita. 

Namun walau sudah bisa sabar, tetap tidak baik juga , apabila sesuatu hal itu dipaksakan. Sewaktu - waktu masih bisa lepas kesabaran. Alangkah indahnya ketika kita bisa bersabar sampai timbul kesadaran. Menerima semua keadaan dengan hati ikhlas tanpa perlawanan sedikit pun diiringi dengan hati yang mengasihi. 

Bisa sabar dalam setiap peristiwa yang dialami, dan mau mengambil pembelajaran dari peristiwa tersebut, niscaya dapat menimbulkan kesadaran bagi kita semua. Ketika sampai ke tahap demikian, maka kita tak perlu bersabar lagi , karena kita tidak perlu lagi menuntut diri sendiri untuk bersabar. Semua peristiwa akan dijalani dengan apa adanya sebagaimana mesti. Semoga dengan banyak peristiwa yang menuntut kita untuk bersabar, bisa menjadikan kita sadar!

#tubaba.yoga olah hati#

Hari perayaan Siwaratri

Merayakan Siwaratri pada hakekatnya adalah melakukan pengendalian diri.
(Ngerogo Sukma/melatih kesadaran atma) 
"Atyantādhika ning bratanya taya kājar denikang rāt kabeh, manggeh ling nikang ādisastra Shivarātri punya tan popama"
(Shivarātrikalpa. 12.1.)

Artinya:
Sangat utama Brata Sivarātri telah diajarkan kepada dunia dan sastra-sastra utama selalu menekankan keutamaan Shivarātri tiada bandingnya.

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran, Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu)

Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri.

Malam dikuasai oleh bulan. Bulan mempunyai enam belas kala atau bagian-bagian kecil. Setiap hari bila bulan menyusut, berkuranglah satu bagian kecil hingga bulan hilang seluruhnya pada malam bulan yang baru. Setelah itu setiap hari tampak sebagaian, hingga lengkap pada bulan purnama. Bulan adalah dewata yang menguasai manas yaitu pikiran dan perasaan hati. 

'Candramaa manaso jaathah'. 
Dari Manas (pikiran) Purusha (Tuhan) timbullah bulan. Ada daya tarik menarik yang erat antara pikiran dan bulan, keduanya dapat mengalami kemunduran atau kemajuan. Susutnya bulan adalah simbul susutnya pikiran dan perasaan hati, karena pikiran dan perasaan hati dikuasai, dikurangi akhirnya dimusnahkan. Semua sadhana ditujukan pada hal ini. Manohara, pikiran dan perasaan hati harus dibunuh, sehingga maya dapat dihancurkan dan kenyataan terungkapkan. Setiap hari selama dua minggu ketika bulan menggelap, bulan, dan secara simbolis rekan imbangnya di dalam diri manusia yaitu 'manas' menyusut dan lenyap sebagian, kekuatannya berkurang, dan akhirnya pada malam keempat belas, Chaturdasi, sisanya hanya sedikit. Jika pada hari itu seorang sadhaka berusaha lebih giat, maka sisa yang kecil itupun dapat dihapuskan dan tercapailah Manonigraha (penguasaan pikiran dan perasaan hati). Oleh karena itu Chaaturdasi dari bagian yang gelap disebut Siwaratri. Karena malam itu seharusnya digunakan untuk japa dan dhyana kepada Siwa tanpa memikirkan soal yang lain, baik soal makan maupun tidur. Dengan demikian keberhasilan pun terjamin. Dan sekali setahun pada malam Mahasiwaratri, dianjurkan mengadakan kegiatan spiritual yang istimewa agar apa yang Savam (jasat atau simbol orang yang tak memahami kenyataan sejati) menjadi Sivam (terberkati, baik, ilahi) dengan menyingkirkan hal yang tak berharga, yang disebut Manas."

Merayakan Siwaratri pada hakekatnya adalah melakukan pengendalian diri.

Caranya dengan upawasa (puasa), monobrata (tidak berbicara), dan jagra (bergadang,selalu terjaga). Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu dilangsungkan Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar,waspada, eling atau melek. Orang yang selalu jagra atau waspadalah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa, guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap.

Upawasa atau puasa didalam perayaan hari-hari suci Hindu memiliki peranan penting seperti perayaan Nyepi dengan Catur Brata penyepian, demikian pula dalam pelaksanaan Siwa Ratri dengan Brata Siwa Ratri, Brata Siwarâtri terdiri dari:

* Utama, melaksanakan:
   - Monabrata (berdiam diri dan tidak.  
     berbicara).
   - Upawasa (tidak makan dan tidak 
     minum).
   - Jagra (berjaga, tidak tidur).

* Madhya, melaksanakan: 
   - Upawasa.
   - Jagra.

* Nista, hanya melaksanakan: Jagra.

Tentang pentingnya upawasa diuraikan didalam weda sebagai berikut;

Kitab Yajur Veda XX. 25  sebagai berikut :
“Vratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam
daksinam sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate”
(Dengan menjalankan bratha (disiplin diri) seseorang mencapai diksa (penyucian diri), dengan diksa seseorang memperoleh daksina (penghormatan), dengan daksina seseorang mencapai sraddha (keyakinan yang teguh), melalui sraddha seseorang akan mencapai Satya (Tuhan)

Brahma-enad vidyat tapasa vipascit 
(Orang yang bijaksana mengetahui Hyang Widhi dengan sarana tapa (pengendalian diri dengan penebusan dosa). [Atharwa Weda VIII.9.3]

Tapas caiva-astam karma ca-antar mahati-arna ve 
(Tapa dan keteguhan hati adalah satu-satunya juru selamat di dunia yang mengerikan). [Atharwa Weda XI.8.2]

Kamis, 23 Januari 2020

Tubuh di bersihkan dgn air pikiran dgn ilmu pengetahuan

“Janmane jayate sudra, samskarairdvija ucyate,
Veda pathat bhavet viprah, brahma janati brahmanah”
(Ketika lahir dari rahim ibu, seseorang dikatakan Sudra, dengan diksa/Samskara seseorang menjadi dwijati, dengan mempelajari Veda seseorang mencapai kedudukan sebagai seorang suci; dan siapapun mempunyai pengetahuan tentang Brahman disebut Brahmana)

Sejalan dengan hal tersebut Dalam (Srimad Bhagavatam 4.12.48), disebutkan juga bahwa “Orang yang berstatus Sudra tidak dibenarkan belajar Veda, maka untuk membangun kesadaran Tuhan,  setiap orang wajib di diksa untuk menciptakan sifat ke brahmanaan dalam rangka mengumandangkan pengetahuan spiritual”.
Selanjutnya juga dijelaskan dalam kitab Yajur Veda XX. 25  sebagai berikut :
“Vratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam
daksinam sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate”
(Dengan menjalankan bratha (disiplin diri) seseorang mencapai diksa (penyucian diri), dengan diksa seseorang memperoleh daksina (penghormatan), dengan daksina seseorang mencapai sraddha (keyakinan yang teguh), melalui sraddha seseorang akan mencapai Satya (Tuhan)

Sehubungan dengan hal tersebut maka tidak ada alasan tentunya umat Hindu untuk tidak mensucikan dirinya guna menciptakan sifat-sifat Ketuhanan dalam diri, tanpa terkecuali guna mewujudkan jagadhita dalam kehidupan ini. Disamping melembagakan atau menciptakan sifat ke Brahmanaan dalam diri, harus diketahui bersama bahwa Diksa merupakan salah satu unsur keimanan Hindu, agar semesta ini tetap ajeg terciptanya kertalagu. Hal tersebut dinyatakan dalam  kitab Atharwa Weda XII, 1.1, yang berbunyi sebagai berikut :
“Satyam brhad rtam ugram diksa tapo
Brahma yajna prthivim dharayanti”
(Sesungguhnya kebenaran, hukum, inisiasi, disiplin, doa, serta persembahan merupakan penyangga dari bumi ini).

Dari pernyataan mantra tersebut, maka sesungguhnya bagi siapapun bahwa diksa dan mutlak harus dilaksankan oleh umat Hindu, yang merupakan salah satu dari empat tangga yang mesti dilalui  oleh umat Hindu  dalam mewujudkan Satya atau Tuhan .

Saling menghormati antar sesama soroh

Kalau bisa saya memohon janganlah sekali-kali suka menganalisa atau menafsirkan SOROH seseorang, dengan ukuran SOROH dari kita sendiri yang justru akan membikin kacau dan kedepannya kita akan selalu ribut, hal-halyang sepele. Bali sudah sangat kecil menjadi terpecah belah!!!..

“Pertanyaannya justru kemudian, kita ini soroh siapa?….Dan orang lain soroh siapa?”…. Pelajarilah untuk bisa saling hormat menghornati bukan justru merendahkan mereka yang lain!!.Kalau justru diteliti lebih mengkrucut malah kita semua satu dan bersaudara. Janganlah terlalu menggembar-gemborkan moyang kita tapi lecutlah diri agar mampu untuk melebihi BELIAU, minimlah mampu setara, Agar tidaklah malu cuma menyandang nama besar!!…

Apa batasan soroh itu, mesti sadar harus ditinjau sampai dimana batasan soroh itu ??… Apakah ceritanya itu diawali dari ;

1.bapak, 2.kakek, 3.kumpi, 4.buyut, 5.kelab, 6.kelambiung, 7.krepek, 8.canggah,9.bungkar, 10.wareng, 11.kelewaran, hanya sampai pada ke 11 tingkatan Saja itu soroh, dan di atas klewaran bukanlah soroh kita

Lalu apalah artinya “vasudewa kutumbakam?”..cuma menjadi slogan yang sia sia !#…..

MARI BANGKITLAH bersatu sadar bahwa kita semua bersaudara!!!..Mari kita tingkatkan kwalitas diri dari berbagai macam bentuk keragaman menjadikan harmony yang selaras serasi dan seimbang!!…Semua bisa Pasek kalau ditinjau dari mpu karena hampir semua leluhur kita dari mpu termasuk soroh ida bagus juga,…semua juga bhujangga karena hampir semua mewarisi kebhujanggaan pengikut-Nya dari Rsi Markandya,..semua juga Arya atau Dalem pada saat mendapat gelar penguasa,…. Apakah Bapak Mangku Pastika mesti dirubah jadi cokorda atau jadi dewa agung justru tidak,….!? Bagaimana juga bila seorang tamu asing mau jadi orang Bali apa mereka akan relakahmenjadi sudra !?….

Jawaban sebuah pertanyaan

Pertanyaan saya menjadi terjawab, kenapa bisame itu muncul, dimana  leluhur mengingatkan agar semua warihnya stinut akan manunggaling kaule gusti,? Yg dimaknai Kyayi Agung Pasek harus mengalah dan menyerahkan kekuasaanya kepada raja majapahit dan kesatraya. 
Kekalahan itu masih dihadiahi kekuasaan ditingkat prebekel di desa. Jro pasek diberi jabatan sebagai jro pemacek desa. Jabatan strategis sebagai pejabat desa yg membuat warga seluruh bali tunduk akan kekuasaan raja. 
Lalu datang lah pendeta sakti wawu rauh, dengan kepintaran, kapasiti building yg hebat, menjadi kepercayaan raja, sehingga mendapat kepercayaan sebagai bagawanta kerajaan. Kawinlah konsep triwangsa yg hrs memimpin di bali.  Warga bali mule, yaitu jero pasek tdk lagi hidup diarea kesatria, melainkan keluar yaitu ke jabaan atau keluar dari wewengkon kekuasaan. Maka julukan yg tepan untuk wangsa pasek, bendese, muang pande adalah warja jabe, yg kemudian berkembang menjadi pasek parekan seken. 
Jaman pun bergulir waktu pun berjalan, sistem pun berrubah, menuju pada sistem kemerdekaan yg berbasis pada kehidupan demokrasi. Hanya sebagian kecil dari wangsa pasek yg sadar memanfaatkan kehidupan demokrasi, masih banyak sutinut pada sistem kwhidupan feodalisme yg mengungkung kemesdekaannya. 
Kenapa hal ini bisa berlangsung lama, Jro pasek sdh sangat nyaman dengan jabatan sebagai pemacek desa, dengan kehormatan yg diterima oleh warga lainnya, sehingga selalu berusaha mempertahankan status ini. Semetom Triwangsa sdh barang tentu lebih berterimakasih, apalagi mereka yg kebetulan sebagai raja atau keturunan raja, dengan kekayaan harta yg diwarisi akan masih sanggup untuk membiayai monarki feodalisme ini. 
Kegamangan terjalin dan dengan mimpi yg idah terbuai dalam suatu tidur lelap, keagungan masa lalu. Warga pasek adalah treh brahmana jati, semua slogan dibangun, sebagai obat untuk membuat tidur mimpi indah sang feodal terlelap. 
Tanpa disadari waktu berlalu, dan kenikmatan aliran darah dana pasek ke dasar buana gelgel membuai mimpi feodal menyelimuti. Sehingga dengan bungkusan mempertahankan dreste kuna, pungah juari melarang sang sulinggih yg bulan warih dangyang nirarta muput duduk di bale pewedan. Karena feodal itu hanya membenarkan sulinggih itu yg punya hak atas bale pewedan itu. 
Pikiran kritis, pewisik sang leluhur pun semakin menyusup kedalam semeton pasek, yg memanggil wangsa pasek, berani membuat dan menjadikan diri sebagai sulinggih, dan meninggalkan masa lalu yg telah mengukung, 
Ide betare kawitan pun memberi sinar sucinya kepada warih wangsa pasek, membuat pemikiran kritis dan brani membela jadi dirinya. 
Bom waktu pun meledak, ini pula merupakan bagian dari sinar suci ide yg bersemanyam pda setiap insan pasek yg bele pada sejarah jati mula awal dari ide betra kawitan. 
Akhirnya terjawablah bisama pasek itu tdk terlepas dari politik saat itu.  
Namun kita sadari beliau leluhur wangsa pasek memang sangat cerdas dan mampu menerawang sangat jauh ke sekian abad waktu, dimana bhisama dibuat bukan sebagai wujud serah diri pada kekuasaan politik saat itu, melainkan bhisama dituliskan sebagai upaya menghimpun dan pengikat pesemetonan pasek muang bendese, sebagai warih ide Mpu Gnijaye, agar selalu ingat pada kiblat ide betare kawitan, dan sebagai pengikat pesemetonan. Luar biasa jnane yg dimiliki oleh leluhur pasek, lebih lebih Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba Griya Agung Bangkasa di Bongkasa. 
Hingga bhisame bisa mengikat menjadi kekuatan dasyat menyatukan wangsa pasek untuk bersama2 dlam satu barisan menuju PUNDUKDAWA stana Linggih ide Mpu Ghana. 

Mensosialisasikan Bhisama Kawitan untuk Generasi Muda Pasek di era kebangkitan semeton pasek ring Punduk Dawa. 
Om Awighnamastu nama siddyam. 
Pangaksamaning hulun ring pada Bhatara Hyang mami, sang ginlari sariraning omkaratma mantrem,  ri hredaya sunya laya,  siddhaya yogiswaranem,  sira manugraha purwani sang wus lepas, luputa mami ring tulah pamidhi. Om namo namah swaha.
Sesungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali.
Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang Luhur.
“Empat Sekawan” Sang Catur Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa saat ini, tugas beliau adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”.
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel. 
Semeton mgpssr pidah dari dasar buana gelgel karena simbol2 MGPSSR dilecehkan dan kita sudah cukup mengalah,  maka sekarang kita semeton pasek apa pun kita akan tetap solid kedalam. Skrng pura dasar buana adalah milik desa adat disana. Dan linggih Ida Mpu Ghana mulai tgl 9/4/2017 ditetapkan di Pura Panataran Agung di Desa Punduk Dawa Klungkung. 
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama (1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya, kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya. Tapi apalah artinya waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang seterusnya.
Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Pura Panataran Agung Punduk Dawa, ring Silayukti. Yan kita lupa ring kahyangan nira Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan. 
Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram. Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak bagus.
Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau “dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu dengan cara apa leluhur kira mempelajari Weda.
Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan, “mari bersembahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa, Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang didapatkan di Lempuyang Madya.
Jangan melupakan kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga— sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya teman?
Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma.
Jelas di sini disebutkan, “Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan dalam Bhisama Mpu Withadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita. Yan wus manut ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati, cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Jangan cuma mengaku Pasek kalau ada pemilihan gubernur atau bupati, setelah menjabat diajak tangkil ke pura kawitan saja tak mau, apalagi medana-punia untuk warga Pasek.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu sudah “betel tingal” melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek.

Semoga spirit bhisame melahirkan  kejayaan wangsa pasek di masa demokrasi ini,  dengan kesamaan hak dan kewajiban. Di era demokrasi ini merupakan era kesempatan wangsa pasek untuk mengabdikan diri dalam membangun bali dan kejayaan kemanusiaan dan kesamaan hak, meninggalkan pasek parekan seken. 
Om Awigham Astu

KI DALANG TANGSUB TOKOH MENGUAK TABIR I PASEK DAN IDA BAGUS

KI DALANG TANGSUB TOKOH MENGUAK TABIR I PASEK DAN IDA BAGUS

Pola hubungan sisya dan Siwa pada jaman sekarang”, titiang berusyukur karena ada yang mau mengungkap pola hubungan dimasyarakat yang jarang ada yang berani mengungkapkan dalam sebuah tulisan. Setelah membaca dengan baik, titiang merasa ada beberapa hal yang perlu ditambahkan sekaligus diluruskan agar terungkap sebuah keadaan yang benar tetapi dengan kesadaran agar terciptanya hubungan kekerabatan yang baik antara Ida Bagus dan I Pasek.

Tulisan yang pernah titiang baca tersebut dimulai ketika Danghyang Nirarta (Pedanda Sakti Wawu Rauh) menjadi Purohita Kerajaan Gelgel sekitar abad XV dibawah kepemimpinan Dalem Waturenggong (Dalem ini setingkat Adipati-karena Rajanya di Majapahit). Ada kalimat pada tulisan tersebut berbunyi ”Hanya segelintir dari Keturunan Pasek yang memperdalam, sehingga (mohon maaf) ketika itu ajaran Sang Sapta Rsi yang merupakan ajaran Kemoksan dan Kedharman menjadi semakin surut dan luntur, sehingga situasinya menjadi gamang atau kurang mantap” dilanjutkan kemudian ketika Danghyang Nirarta datang, intinya beliau menyegarkan kembali ajaran Dharma dan me-Diksa kelima putranya menjadi Pedanda dan masyarakat diminta belajar dari mereka sehingga seterusnya terjadi hubungan ”Siwa dan Sisya”. Hubungan ini kemudian menjadi hubungan Ida Bagus dan I Pasek yang berkembang secara feodal menjadi hubungan ”Yang dihormati dan Parekan”, walaupun Ida Bagus tidak melanjutkan Ke-Panditaan. Ketika jaman berkembang dan I Pasek mulai mengenal ajaran kebenaran dan mulai mengerti hakekat manusia yang sama demikian juga banyak lahir Pandita dari I Pasek bergelar Pandita Mpu, namun pola hubungan itu tetap berlanjut, disebutkan lagi sbb : 
”Namun saat ini kedua belah pihak telah terkungkung dan terjebak dalam sebuah budaya feodal yang diwariskan secara turun temurun. Disatu fihak Ida Bagus tidak akan rela meninggalkan posisi sebagai Siwa sedangkan I Pasek mulai pada eling ring Bhisama, namun ada juga sebagian dari I Pasek tak berani meninggalkan posisi sebagai sisya karena takut terkena hukuman dari leluhur”. Dan seterusnya.

PENYEMPURNAAN 
Terhadap hal-hal diatas perlu dilengkapi, bahwa ketika Udayana Warmadewa dan keturunannya menjadi Raja Bali, maka ketika Majapahit berkuasa di Jawa pada sekitar abad XIII sehingga berakhir kekuasaan Wangsa Warmadewa di Bali, ditempatkanlah Dalem Kresna Kepakisan (Putra Mpu Soma Kepakisan keturunan Mpu Bharada) sebagai Adipati (Wakil Raja Majapahit). Sejak Warmadewa sampai Dalem, keturunan Sapta Resi (Leluhur Pasek) dan Bujangga selalu menjadi Purohita kerajaan. Ketika Danghyang Nirarta menjadi Purohita Kerajaan pada abad XV pada masa Dalem Waturenggong, maka atas restu Dalem, fungsi Purohita seterusnya dipegang oleh Danghyang Nirarta dan keturunannya, maka peran Pandita keturunan Sapta Rsi menjadi bukan Pandita Kerajaan, dan aktifitas ke Panditaan dilakukan di Pedukuhan dengan sebutan Jro Dukuh. Walaupun Dukuh tetapi ajaran ke-Brahmanaan tetap dilakukan, itulah sebabnya di rumah warga Pasek yang dulunya Jro Dukuh banyak tersimpan ”Lontar” yang berisi ajaran kerohanian, jadi entah bagaimana bisa dikatakan luntur dan disegarkan kembali oleh Danghyang Nirarta. Jika I Pasek dikatakan tidak berani meninggalkan Siwa-nya karena takut terkena hukuman dari leluhur, maka jika diteliti Bhisama dari para Mpu leluhur Pasek, yang tidak diijinkan adalah : Melupakan Catur Parhyangan (Parhyangan Panca Tirta : di Lempuyang Madya, Besakih Catur Lawa, Silayukti-Padangbae dan Pura Catur Parhyangan Panataran Agung Ratu Pasek Linggih Ida Mpu Gana ring Desa Pundukdawa Dawan Klungkung), juga kalimat piteket/pesan ”Aywe pegat purusantha sembahen (Jangan lupa saling menghormati sesama Purusa Pasek), dan jangan menganggap saudara Pasek lainnya lebih jauh dari sepupu. Inilah hal-hal yang jika dilanggar oleh I Pasek merupakan pelanggaran kepada leluhur. 

Terkait dengan kelahiran Mpu pada sesudah Kemerdekaan, maka titiang mendengar cerita langsung dari pelaku sejarah kelahiran Mpu, yaitu Ida Pandita Mpu Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa di Bongkasa), diakui kelahiran Mpu dari ”Pedanda Kutri (Istri/perempuan)” namun ini lebih kepada persyaratan skala, bahwa Pandita harus punya Nabe (Guru/yang melahirkan). Secara niskala (Pengalaman Niskala beliau), memang sudah waktunya ”Mpu” keturunan Sapta Rsi lahir kembali kepermukaan secara jelas, tidak hanya secara interen melanjutkan peran Jro Dukuh, itulah sebabnya beliau melakukan tindakan-tindakan skala untuk lahirnya Mpu yang waktu itu oleh Pedanda Kutri ingin diberi sebutan ”Dukuh”. Dengan segala upaya skala-niskala yang dilakukan beliau, maka lahirlah Mpu pertama dari Basang Be dan Gerih. Sekarang ini Para Mpu pertama itu telah ber-Putra dan sesuatu yang lumrah dimana Para Mpu yang berjumlah diatas 260 Pandita ini sudah ber-Putra tidak saja dari Pasek (Mpu) tetapi ada Bhagawan (Keturunan Dalem), Rsi (Keluarga I Gusti), Sire Mpu (Warga Pande), bahkan ada Pedanda lahir dari Mpu. Bertolak dari hal diatas, maka seharusnya kita berpikir kedepan, bahwa bola telah bergulir dan jaman sudah berubah, tidak perlu lagi ada upaya agar I Pasek tetap menjadi Sisya atau Parekan kepada Ida Bagus. Memang jika Warga Bujangga nuwur ke Rsi Bujangga, para Arya/ I Gusti kepada Rsi/Rsi Agung, dan I Pasek yang jumlah umatnya terbesar di Bali nuwur kepada Pandita Mpu, maka sedikit sekali yang nuwur ke Pedanda, namun kedepan ”Pandita” adalah lintas soroh/clan dengan adanya wadah organisasi PDDS (Paiketan Daksa Dharma Sadhu) di bawah naungan Yayasan Widya Daksa Dharma Griya Agung Bangkasa Banjar Pengembungan Desa Bongkasa Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. 

Jadi I Pasek boleh saja nuwur ke Pedanda dan Ida Bagus juga tidak salah nuwur ke Pandita Mpu atau Rsi karena Pandita adalah pelayan umat. Dalam hubungan kemasyarakatan, kenapa tidak ditonjolkan, bahwa Ida Bagus dan I Pasek adalah bersaudara, karena I Pasek keturunan Mpu Gnijaya (Tertua dari Panca Tirta) dan Ida Bagus keturunan dari Mpu Bharadah (Terkecil dari Panca Tirta). Disamping itu masing-masing I Pasek dan Ida Bagus perlu sama-sama memperbaiki diri. Ida Bagus jangan menempatkan diri sebagai atasan dari I Pasek, dan jika I Pasek yang masih belum faham agar diingatkan, bahwa bersaudara, jangan lupa ajaran leluhur yang tua agar mengayomi yang lebih muda. Ada juga ”I Pasek Paling (bingung)” ini Pasek yang bingung dengan jati dirinya dan nyugra karena tidak tahu, ini yang harus disadarkan oleh Ida Bagus.
 
JANGN MALU JADI PASEK
Karena Pasek adalah
”Pasek = Patitis Sesana Kawitan”,
"Pasek = Pamikukuh Sesanan Kawikon"
Maka dari itu I Pasek harus meniru prilaku para leluhur. Nah dengan kebersamaan ini, maka tidak ada umat yang melanggar Bhisama, juga tidak ada yang melanggar ajaran Weda, khususnya ajaran ”Tat Twam Asi” dimana manusia adalah sama dimata Hyang Widhi, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak boleh merendahkan yang lain. 

Dumogi kriyapatra ini membawa kemajuan bagi pola pikir umat Hindu khususnya di Bali yang perlu peningkatan SDM sehingga bisa bersaing di era globalisasi ini. 
#igedesugatayadnyamanuaba@pasekmanuaba#

Sebuah diskusi sambil ngopi

Dialog hangat dengan Jro malet saat taur tri bhuwana panca wali krama ring pura griya sakti manuaba.

Jro Malet berkata "Bli de kan kawin dengan semeton Pande. Pande Itu Panas??"
Ada tutur nak tua I malu "Tude, yen ngalih kurenan da pesan nyuang nak luh Pande! Pande to nak panes. Nyanan kepanesan bana ibane makluarga, yen dadi ben da nyuang nak Pande!"

Pernah mendengar orang tua (non Pande) bernasehat seperti itu pada anak lakinya? Agar tidak mengambil istri dari warga Pande. Karena sering terbukti keluarganya kepanesan. Tidak rukun berkeluarga, sering cekcok, atau kesakitan! Yaa.. Model seperti itulah..!? 

Saya sendiri selaku purusha (laki) yang merupakan warga Pasek Manuaba juga sering dinasehati orangtua agar mencari istri sesama warga Pasek. Dan ternyata tidak hanya saya saja merasakan hal tersebut, teman dan keluarga (sesama Pande) pun ternyata disuruh demikian. "Gek, yen dadi ben, peturu nyama (Pande) alih, pang sing keweh bindan nyuang, yen ba paturu pande tis bana makluarga". Nasehat itu yang sering kami terima selaku pihak purusha. Mungkin ini ada kaitannya dengan larangan warga lain (non pande) yang melarang anak perempuannya masuk ke warga Pasek/Pande. Kalau bukan sesama Pasek/Pande yang mengambil, nanti para gadis pande bisa jadi daa tua (perawan tua). Ya masuk di akal memang. Tapi sbaiknya kita jangan dulu berspekulasi negatif tentang hal-hal seperti ini. Yuk coba kita telaah secara logika permasalahan-permasalahan seperti ini.

Okey.. yang pertama, boleh gak gadis Pande menikah dengan pria Pasek? Atau sebaliknya? Menurut saya, boleh! Kenapa? Ini masalah jodoh. Manusia lahir ke dunia telah membawa jodoh masing-masing, tinggal kita sendiri yang menentukannya berdasarkan pertimbangan cinta. 

Kedua, apakah akan menyebabkan kepanesan? Menurut saya tidak! Bukan karena kita menikah dengan gadis pande atau non pande yang menyebabkan kepanesan dalam keluarga itu. Tapi, semua itu adalah jalan karma. Manusia tidak bisa menentukan nasibnya sendiri tapi manusia hanya bisa berencana dan berbuat. Apabila kita ingin hidup kita damai, bahagia, tentram, tentu itu semua bersumber dari dalam diri kita pribadi. Bukan karena tereh/keturunan warga tertentu. Buktinya, banyak orang Pande yang menikah dan atau diambil istri dari non Pande, hidupnya bahagia. Itu semua kembali ke phala karma kita masing-masing. Dan itu sudah pasti tersurat dalam ajaran agama Hindu, tentang karmaphala. 

Ketiga, masih tetap percaya itu menyebabkan kepanesan? Ahh.. Gampang saja, kan ada payung yang bisa kita pakai berteduh mengurangi panas itu. Uppss.. Payung? Maksudnya? Nahh... Payung ini tiada lain adalah alat/cara mengurangi efek kepanesan itu. Apabila si gadis Pande diambil oleh pria Pasek, disaat pernikan akan berlangsung, saat si gadis mepamit dari merajan sebaiknya kePANDEannya di cabut dulu. Biasanya ada banten dan upacara kusus dalam pelaksanaan upacara ngembus/ ngaturang busana kepandean tersebut oleh Ida anak lingsir (Sira Mpu). Nah kalau yang pria mengambil istri yang bukan dari treh Pande, maka si gadis harus diPARISUDA terlebih dahulu sebelum dia muspa dimerajan si pria. Parisuda ini adalah upacara pelantikan seorang menjadi warga Pasek/Pande. Dan ini ada upacara, tata cara, dan banten khusus dalam pelaksanaannya. Kalau mau tau tentang bantennya, kamu cukup nangkil ke gria Sulinggih terdekat di daerah kamu. 

Okey, jadi tidak takut lagi kan mengambil istri Pande atau diambil istri dari non Pande? Semua ada solusinya. Jangan takut! Saya saja, istri dari warga Pande Langan Krambitan Tabanan, teman bahkan istrinya seorang dayu. Dan kami bahagia kok. 

#tuabana.griya agung bangkasa.05-01-2019#

SULINGGIH

SULINGGIH

Catur Sanak berparhyangan di Lempuyang Madya (Mpu Gnijaya), Besakih (Mpu Semeru), Pura Catur Parhyangan  Ratu Pasek Pundukdawa (Mpu Ghana), dan Silayukti (Mpu Kuturan). 
Kalau kita fokus ke ”Besakih”, maka waktu itu Pujawali dipimpin oleh Mpu Semeru dan Parhyangan beliau sekarang di Besakih dikenal dengan Pura Caturlawa. Pada generasi berikutnya Pujawali di Besakih dipimpin oleh Sang Sapta Pandita (Leluhur Pasek) yang merupakan putra dari Mpu Gnijaya. Walaupun Sapta Pandita ini tinggal di Jawa (Kuntuliku Desa/ diperkirakan sekitar Malang), tetapi beliu tidak lupa ke Bali 
(Mangejawa-Mangebali) setiap ada persembahyangan di Besakih memuja Hyang Widhi dan para Leluhur. Beberapa puluh tahun kemudian yaitu sekitar Abad XV dan sesudahnya yaitu sesudah Danghyang Nirarta ke Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong terjadi perubahan strata masyarakat, termasuk yang memimpin persembahyangan di Besakih. Sudah lama kita mengenal ”Tri Shadaka”. Istilah ini adalah untuk Sulinggih yang ”Muput” pada piodalan di Besakih oleh tiga Sulinggih saja, yaitu : Pedanda Siwa, Pedanda Budha, dan Bujangga, Pada abad XIX setelah Era Kemerdekaan, wacana kesetaraan Sulinggih dengan istilah ”Sarwa Shadaka” muncul artinya semua Sulinggih Pedanda, Mpu, Sri Mpu (Pande), Bhagawan, Rsi, dan Bujangga, punya hak yang sama untuk Muput di Besakih. Secara legal adalah dengan keluarnya Bhisama PHDI Pusat tentang Sarwa Shadaka ini. Sehingga sekarang ini Piodalan di Besakih sudah dipimpin oleh Sarwa Shadaka. Walaupun demikian masih ada keengganan untuk Muput dengan Sulinggih lain atau usaha-usaha untuk tetap suatu Upacara dipuput oleh Satu Sulinggih saja atau oleh Tri Shadaka ini bisa dilihat dikota-kota besar yang tingkat publikasi kemasyakat (Nasional atau internasional) tinggi. Ini bisa juga terjadi karena ketidak tahuan (kalau tidak mau disebut kebodohan) umat akan hakekat Sulinggih. Bisa dimaklumi karena keadaan ini sudah berlangsung ratusan tahun.

Bagaimana Paradigma umat sekarang ini terhadap Sulinggih ? kita bisa lihat dengan jelas dimasyarakat. Umat masih mengangung-agungkan Sulinggih, itu boleh karena beliau orang yang sudah Dwijati yang perlu kita hormati dan dekati supaya memperoleh ajaran kesucian. Tetapi jika membeda-bedakan ini yang tidak boleh. Di suatu acara misalnya Peresmian suatu ”Ashram” umat mengundang Sulinggih dan itu bagus, sayangnya kenapa disetiap Moment penting itu para Walaka tidak memanfaatkan menyatukan Sarwa Shadaka, apakah khawatir nanti ada Sulinggih yang diharapkan ternyata tidak mau hadir ? kalau itu benar kita langsung bisa tahu tingkat kerohanian Sulinggih tersebut. Atau ini hanya mempertahankan superioritas masa lalu ? saya tidak mau masuk kewilayah itu karena politis adalah menjerumuskan sehingga kita harus memakai rohani (kebersihan jiwa) sebagai penuntun. Dilain fihak ada suasana yang lain, kalau diatas ”Mengagungkan”, maka beberapa kawan justru menjadi kena masalah karena ”Pertanyaannya kepada Sulinggih”. Seorang kawan dihadang dengan Sesana, bahwa Seorang walaka atau Pinandita tidak berhak mengkritik seorang Sulinggih. Pertanyaan dari kawan ini yang sesungguhnya masukan dimaknai sebagai kritikan. Seorang kawan yang lain juga dimintai penjelasan oleh Lembaga Umat Hindu karena tulisannya yang miring tentang Sulinggih, bahkan beberapa oknum Lembaga Umat (bukan lembaganya) sudah terlalu jauh ingin memaksakan kehendaknya pada kawan ini. Kenapa umat (walaka) seperti kebakaran jenggot ? karena Sulinggih tertentu ini ditempatkan bagai Mutiara yang tidak boleh disentuh, padahal komentar terhadap Sulinggih dan isi dahmawacananya bukan baru kali ini tetapi sudah banyak namun belum terpublikasi jadi hanya berupa obrolan biasa ditataran bawah atau ada disanpaikan langsung saat darmawacana. Apa fenomena yang terjadi dimasyarakat sekarang ini. Jawabannya adalah ”sudah terjadi perubahan Paradigma Umat terhadap Sulinggih”. Jika kita simak lagi dengan lebih jernih, maka akan terlihat, bahwa : Apa yang dilakukan oleh dua kawan ini tidak keliru, yaitu yang satu bertanya dan yang satu menulis fakta yang terjadi berupa Darmatula yang disaksikan masyarakat, jadi kalau itu keliru maka masyarakat bisa menilai. Kalau ternyata masih ada benturan atau tanggapan, maka kemungkinannya adalah, masih ada yang bertahan dengan Superioritas, dan masih ada yang belum terbuka wawasannya, sekaligus ini adalah tantangan bagi Sulinggih dijaman yang serba kritis ini untuk siap dikritik atau ditanya oleh umat, tentunya umat harus tetap sopan santun. Siapa yang punya tanggung jawab akan perubahan ini, ya kita semua. Bagi Sulinggih kita berharap tidak henti-henti memberikan Jnana Punia kepada umat disamping Muput jadi harus jelas Muput atau Dang-acarya (memberikan siraman rohani), Sulinggih jangan membedakan diri dengan Sulinggih lainnya karena umat akan menilai tingkat kerohaniannya, Sulinggih jangan duduk dipimpinan organisasi keumatan biarkan itu dipegang Walaka tetapi sebaiknya di Paruman Sulinggih saja sesuai dengan konsep Wiku dan Natha, Walaka jangan memecah-mecah Sulinggih malah kita dorong setiap moment untuk menyatukan mereka, Walaka jangan buta pengetahuan akan Sulinggih sehingga menjadi arogan dan fanatik pada Sulinggihnya saja karena Sulinggih itu milik bersama, bagi pejuang-peluang kebenaran, maka lakukan terus jangan berhenti tetapi tetap dengan sesana yang baik. Bagaimana dengan penulis ? Jika ini adalah melanggar Sesana karena memberi masukan kepada Sulinggih, maka biarlah penulis yang menaggung dosanya, walaupun penulis tetap menyadari, bahwa yang bisa dengan bijaksana menentukan benar atau salah hanya Hyang Widhi. Semoga kebenaran datang dari segala penjuru.