Tingkahning suta sasaneka kadi raja tanaya ri sedeng limang tahun; Saptang warsa wara hulun sapuluhing tahun ika wuruken ring aksara; Yapwan sodasawarsa tulya wara mitra tinaha-taha denta midana; Yan huwus putra suputra tinghalana solahika wuruken ing nayenggita. (Kakawin Nitasastra, Sargah IV, Pada 20)
Artinya :
Adapun menurut Putra Sasana (tata tertib seorang putra), jika anak berumur 5 tahun, hendaknya disayangi, diperlakukan seperti anak raja; Jika sudah berumur 7 tahun dilatih supaya mau menurut, jika sudah berumur 10 tahun, ajarilah aksara/sastra; Jika sudah 16 tahun, diperlakukan sebagai sahabat, kalau kita mau menunjukkan kesalahannya, harus dengan hati-hati sekali; Jika ia sendiri telah beranak, diamat-amati saja prilakunya, kalau hendak memberi petunjuk, hendaknya dengan contoh yang baik.
Kalau kita perhatikan kutipan di atas, dapatlah kita uraikan sebagai berikut :
Jika anak telah berumur 5 tahun (0 – 5 tahun), hendaknya disayang dan dimanja. Pada umur ini seorang anak masih bersih jiwanya, apa yang kita tanamkan akan mudah melekat, maka itu hendaknya diisi dengan pengetahuan, melalui ceritra, dongeng dan atau bernyanyi. Di sinilah terapkan “malajah sambilang magending/magending sambilang malajah“. Memanjakan atau menyayangi, bukanlah berarti memberikan apa yang mereka mau, tetapi kita arahkan kepada yang baik dan berguna, tuntunlah mereka ke arah yang benar.
Jika anak berumur 7 tahun (5 – 7 tahun). Dilatihlah mereka agar supaya mau menurut nasehat orang tua /guru (samatitah). Demikian pula nasehatilah agar tidak suka bertengkar, memaki dan menghina orang lain, tanamkan rasa hidup bersama/toleransi.
Jika anak berumur 10 tahun (7 – 10 tahun), hendaknya diajar menulis dan membaca. Menulis dan membaca adalah merupakan pelajaran dasar untuk mengikuti pelajaran yang lain. Menulis mengenal aksara (Latin dan Bali); membaca hendaknya dilatih, seperti : membaca lancar dan membaca pemahaman.
Jika anak berumur 16 tahun (10 – 16 tahun). Pada usia ini hendaknya dipandang sebagai sahabat dan sudah dapat diajak untuk memecahkan masalah, tetapi hendaknya juga hati-hati, karena sedang masa labil (pancaroba).
Jika anak sudah kawin dan telah mempunyai anak. Pada usia ini kita tetap harus mengamat-amati prilakunya, agar mereka tetap Satyeng Stri (laki) dan Pati Brata (perempuan)
Berdasarkan kutipan di atas maka orang tua/guru, memegang peranan yang penting dalam membimbing anak-anaknya, agar menjadi putra yang suputra. Maka itu ajaran wahyadyatmika, yakni : Para Widya (kerokhanian) dan Apara Widya (pengetahuan umum), harus diterapkan kepada seorang anak.
Para Widya adalah pengetahuan kerokhanian (agama), untuk mendidik menjadi manusia yang berprilaku yang baik serta mulia, bermoral serta berjiwa spiritual. Apara Widya adalah mendidik seorang anak agar menjadi orang yang trampil, cekatan dan pandai. Kedua pengetahuan itu harus diberikan secara seimbang sesuai dengan perkembangan umur seorang anak.
Maka itu peranan orang tua sebagai pendidik dan pengajar yang pertama, hendaknya selalu mempunyai suatu pedoman dalam mengemban putra-putrinya. Agar supaya bagaimana seorang anak mempunyai rasa bakti, rasa hormat kepada orang tua dan saudara-saudaranya, tekun belajar, melatih diri, bermain dan mampu menumbuhkan kreativitas.
#tubaba@suta sasana#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar