Rabu, 08 Januari 2020

PROSES MENJADI BRAHMANA

Ulasan Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba dalam diskusi sebagai bahan penunjang tesis Aksara Bali pada sedaraga dalam upacara dwijati.
Ida Sihunun menjelaskan Tingkahing Adiksa itu termuat di dalam sebuah naskah berjudul Tutur Angkihan, Tutur Bhuwana Aji milik Dalem Tangsub (Ketut Tangsub) 

Di dalam teks naskah tersebut terdapat ucapan tentang menghilangkan wangsa. Seperti berikut ini:
“ Tatacara melakukan Diksa. Pada saat melakukan inilah, kalau secara niskala Sang Guru Nabhe sebagai Ongkarāmrtha, kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabhe sebagai perasaan bahagia. Sang Murid/sisya kalau secara sekala adalah Ongkarāgni, kalau secara niskala di dalam sang murid/sisya sebagai perasaan yang terang benderang, Begitulah pada saat sedaraga, menghilangkan Wangsa sudranya.
(Tingkahing adiksa, yan sedaraga ring sekala sang Adi maraga Ongkaramrtha, yan ring niskala ring jro sang Adi maraga rasa nglayang, sang Sisya yan ring sakala maraga Ongkaragni, yan ring niskala ring jro sang sisya meraga rasa galang, rikala sedaraga hangilangken wangsa Sudranya)
Kutipan diatas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan sederaga menggunakan aksara Bali dalam upacara Dwijati/Diksa, adalah menghilangkan wangsa Sudra. Wangsa Sudra yang dihilangkan adalah wangsa sudra yang ada pada sang sisya, sarana untuk menghilangkan wangsa sudra adalah Ongkara Agni, yang namanya wangsa sudra itu dibakar/dilebur oleh kekuatan Ongkara agni.
Setelah tahapan sedaraga dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut Proses Napak dengan tapakan linggih Ida Sang Hyang Siwa. Dalam penjelasan Napak juga terdapat ucapan tentang menghilangkan Wangsa. Seperti berikut ini terjemahan dan kutipan teksnya.
“ Pada saat tahapan Napak, secara sekala Sang Guru Nabhe sebagai perwujudan Windu Gni, kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabhe merupakan rasa pikiran yang tenang, Sang Sisya apabila secara sakala perwujudan Windu amrtha, kalau secara niskala di dalam sang sisya merupakan rasa sejuk dari pikiran yang suci. Seperti itulah pada saat tahapan Napak, menghilangkan Wang Wesyanya.
( Anapakaken dening tapakan linggih Ida Sang Hyang Siwa yan ring sakala sang Adi maraga Windu gni, yan ring niskala ring jro sang Adi marafa rasan kahyune tegteg. Sang Sisya yan ring sakala marada Windu amrtha, yan ring niskala ring jro sang sisya marada tis kahyune suddha. Asapunika rikalaning Napak angilangaken Wangsa Wesyanya ).
 Kutipan diatas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan Napak dalam upacara Diksa, adalah menghilangkan Wangsa Wesyanya, Wangsa Wesya yang dihilangkan adalah Wangsa Wesya yang ada pada sang Sisya, yang sebelumnya dalam tahapan sedaraga juga menghilangkan Wangsa Sudra yang ada pada diri sang sisya. Sarana untuk menghilangkan wangsa Wesya adalah Windu Amrtha atau Windu Air. Jadi Wangsa Wesya pada sang sisya itu dihanyutkan oleh aliran air dari Windu Amrtha
Setelah tahapan Napak dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut Pajayan jayan. Dalam penjelasan tentang tahapan Pajayan jayan juga terdapat ucapan tentang menghilangkan Wangsa. Seperti berikut ini terjemahan dan kutipan teknya.
“ Saat Pajayajayan ada proses memercikan air suci, sang Sisya sebagai Parama Acintya, yaitu rasa tanpa mala, Sang Guru Nabhe Acintya Paramasunya Nirbhana, seperti itulah pada saat memercikan air suci menghilangkan Wangsa Ksatryanya.
( Ring Pajayajayan paweh bukti mukti sang sisya maraga parama acintya, rasa nirmala. Sang Adi maraga Acintya Paramasunya Nirbhana, rikalaning Pajayajayan laju tinirtanin angilangaken Wangsa Ksatryanya)
 Kutipan diatas juga dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan Pajayajayan dalam upacara Diksa, adalah menghilangkan Wangsa Ksatrya sang sisya, Wangsa Ksatrya yang dihilangkan adalah Wangsa Ksatrya yang ada pada sang sisya, yang dalam dua tahapan sebelumnya telah juga menghilangkan Wangsa Sudra dan Wangsa Wesya yang ada pada diri sang sisya. Sarana untuk menghilangkan Wangsa Ksatrya yang ada pada sang sisya adalah Tirtha Acintya Paramasunya Nirbhana.

Apa jadinya sang Sisya setelah melepaskan tiga wangsa dalam satu rangkaian upacara Diksa? Seperti ini jawabannya.
“ Rasanya seperti terbenam, semata-mata wangsa Pandhita-dewalah yang melekat. Pada saat upacara Jaya-jaya, sang Sisya itu menjadi Windu Dewa, yaitu rasa Kawikuan, sang Guru Nabhe menjadi Paramasunya suci nirmala tanpa noda, yaitu rasa sunya hning.
( Rasane leyep kewala wangsa Pandhita dewatane sane raket, ring anjaya-jaya sang sisya mataga windu Dewa, rasa Kawikuane, sang Guru Nabhe maraga Paramasunya suci nirmala tan pataleteh, rasane sunya Hning) 

Begitulah isi salah satu lontar tentang shastra menghilangkan wangsa. Penghilangan wangsa itu ada dalam sebuah upacara Diksa. Sebagaimana umumnya upacara, Diksa itu adalah sebuah tindak simbolis-mistis. Penghilangan wangsa itu adalah sebuah pemaknaan. Makna itu diberikan oleh tradisi.

Wangsa itu benar-benar dipandang sebagai kulit, melewati tahapan pertama seorang murid melepaskan sendiri kulit terluarnya. Untuk melewati tahapan keduanya. Seorang murid kembali melepaskan kulit di dalamnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya ia seakan-akan tanpa kulit. Keadaan tanpa kulitlah yang disebut Wangsa Pandhita Dewata, atau Windu Dewa, itulah sejatinya seorang Wiku, jadi, Wiku artinya orang yang telah melepaskan kulit-kulitnya.
Menghilangkan wangsa adalah sebuah pendakian dari bawah ke atas, atau sebuah penyusupan dari luar ke dalam, atau dari kulit ke isi, yang mana kulit, yang mana isi, keadaan lepas atau bebas dari Wangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar