Rabu, 15 Januari 2020

SESANANING SULINGGIH

Dharmasasananing  Pandita
Kamus Sanskerta kata dharma artinya lembaga, adat kebiasaan, aturan, kewajiban, moral yang baik, pekerjaan yang baik, kebenaran, hukum dan keadilan (Astra dkk., 2001: 223). Menurut Zoetmulder dan Robson, dharma berarti yang ditetapkan dan diteguhkan, hukum, kebiasaan, tata cara atau tingkah laku yang ditentukan oleh adat, kewajiban, keadilan, kebajikan, kebaikan, adat sopan santun, agama, pekerjaan baik, bentuk atau keadaan kenyataan yang jelas, tabiat pembawaan, watak, karakter (swabhawa), sifat dasar (essential), sifat khas, khasiat dan ciri (1997: 197). Sejalan dengan pengertian menurut kedua kamus Sanskerta tersebut, dharma adalah setiap gerak pikiran, perkataan dan perilaku yang menuju jalan kebaikan/kebenaran yakni jalan Tuhan.
Dharmasasana dalam Kamus Sanskerta artinya kode suci dharma (Zoetmulder dan Robson, 1997: 200). Sedangkan menurut Yendra Sasana berarti tingkah laku, kewajiban. Dharmasasana di dalam Bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan tata susila, yakni dasar kebaikan yang menjadi pedoman dalam kehidupan manusia, kewajiban yang harus dipenuhi  selaku anggota masyarakat (2008: 8).
 Ning artinya dari atau oleh yang dikerjakan/dilaksanakan (Arwati, 2008: 3).
Sedangkan Kamus Sanskerta, Pandhita artinya terpelajar, pintar, sarjana orang arif dan bijaksana (Astra dkk., 2001: 241). Dalam pustaka Tutur Kasuksman disebutkan pandita/sulinggih/wiku adalah Peragan Sanghyang Dharma adalah lambang kebenaran. Menurut Wiana (2002: 85), wujud spiritual pandhita adalah jnana agni dari sang pandhita yang mampu menggerakkan kesucian dirinya dengan menyalakan api pengetahuan (jnana agni). Kitab Bhagavad Gita IV.19, diikthisarkan bahwa orang yang diberi gelar pandhita adalah orang yang mampu berbuat tanpa pamerih atau niskama karma  dan keyakinan dinyalakan oleh api pengetahuan atau jnana agni.
“Yasya sarve samarambah, kama sankalpa varjitah,
              Jnanagni dagdha karmanam, tam ahuh pandita budhah”
Terjemahannya
Ia yang bekerja dalam semua kerjanya tidak terikat oleh motif atau kama, yang karma-nya terbakar oleh apinya pengetahuan, sesungguhnya orang bijaksana menamakannya pendeta (Pudja, 2004: 118).
Sedangkan Kitab Manusmerti XII.108, dinyatakan bahwa seorang pandhita adalah sang sista, artinya orang yang ahli dalam kebiasaan-kebiasaan suci Veda. Pandhita dibebaskan dari tugas dan kewajiban sosial di masyarakat seperti ayah-ayahan desa, ayahan banjar dan pekerjaan-pekerjaan  lain yang bersifat fisik dan kemasyarakatan.
Dengan demikian dharmasasananing pandita mengandung  pengertian yang sangat kompleks bukan saja menyangkut disiplin/tingkah laku 'kedharman' dari wiku/pandhita saja, melainkan juga meliputi kewajiban, tugas, peranan, menyangkut aturan atau tata-tertib, adat-kebiasaan/kegiatan  keseharian/rutinitasnya, maupun kegiatan periodik, yang ada kaitannya dalam bidang kerokhanian dan kesucian (kebajikan/kebenaran) baik yang bersifat umum ataupun khusus dilakoni/dilaksaanakan oleh seorang pendeta Hindu (wiku, rsi, bujangga, pandita mpu, pandita dukuh, sire mpu dan bagawan)  yang tidak bertentangan dengan kitab suci Veda dan susastra Hindu. Jika sulinggih mampu mengusai seluruh pengetahuan catur wikrama (dharma, guna, karma, dan karta) akan mengantarkannya menuju keberhasilan dalam melaksanakan dharma pandita.
Kewajiban /Tugas, Peran Pandita
Setelah Upacara Diksa, Pandita harus meninggalkan semua perilakunya pada waktu masih menjadi walaka. Beliau harus merubah caranya untuk bertingkah laku. Mengubah cara bertingkah laku ini dinamakan Amari Wisaya. Beliau tidak boleh lagi berbicara keras atau kasar kepada siapapun juga. Beliau tidak boleh lagi marah, dendam atau irihati kepada orang lain. Beliau harus selalu berkata yang manis, lembut dan ramah tamah. Perubahan perilaku ini menyebabkan adanya perubahan sikap, pandangan dan tata laku masyarakat terhadapnya, sebagai pengakuan dan penghargaan terhadap kedudukannya sebagai Pandita yang demikian mulia. 
Kewajiban Keseharian
Dalam kesehariannnya Pandita mempunyai tugas dan kewajiban yakni Arcana yaitu memuja atau ngarcana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-Bhatari khususnya pada saat melaksanakan tugas Surya Sewana , Adhyaya yaitu tekun belajar mendalami Veda, Tattwa dan Tutur-tutur. Adhyapaka yaitu suka mengajarkan tentang kesucian, kerohanian dan keagamaan. Swadhyaya yaitu rajin belajar sendiri, mengulangi pelajaran terutama yang diberikan oleh Guru Nabenya. Dhyana yaitu meditasi untuk merenungkan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa (lihat Pustaka Wratisasana). 
Kewajiban Pandita menurut dalam Kitab Slokantara Sloka 72 yaitu Tapa, Brata, Samadhi, Santa, Samanta, Karuna, Karuni, Upeksa, Mudita dan Maitri. 
Di samping itu, sesuai dengan ketetapan Mahasabha II PHDI/1968, tugas kewajiban seorang Pandita adalah memimpin umat dalam hidup dan kehidupannya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Melakukan pemujaan untuk penyelesaian Upacara Yadnya. Pandita juga diharapkan mampu membimbing para Pinandita/Pemangku. Aktif mengikuti paruman dalam rangka penyelesaian dan pemantapan ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pandita juga memberikan bimbingan Dharma Upadesa melalui Dharma Wacana, Dharma Tula, Tirthayatra dan lain-lain. 
Kewajiban temporer (Naimitika Karma)
Tugas/kewajiban pokok sebagian besar Pandita di Bali adalah melaksanakan Lokapalasraya artinya bertindak sebagai sandaran umat atau sebagai tempat berlindung atau tempat bertanya. Dalam  hal ini mencukupi kegiatan: sebagai tempat bertanya, memberikan tuntunan rokhani, memberi petunjuk dan tuntunan agama dan muput upacara yajna.
Lokapalasraya sebagai kegiatan untuk menghubungkan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Dalam hal ini melaksanakan upacara agama dan yang berkaitan dengan itu seperti memberikan tuntunan rohani, dharma wacana, muput karya dan lain-lain. Dari empat bidang kegiatan Lokapalasraya sebagaimana telah disinggung di atas,  dapat dijelaskan lagi menjadi tiga kegiatan berikut ini. Memimpin pelaksanaan upacara keagamaan (muput karya), termasuk memberikan petunjuk tentang cara pembuatan banten (upakara), bentuk banten dan jenis bantennya 
Adapun tujuan sebenarnya dari lokapalasraya dimaksud adalah untuk mendidik umat manusia dengan memberikan pengetahuan mengenai ajaran agama berdasarkan Kitab Suci Veda. Untuk membantu masyarakat dalam melaksanakan upacara, termasuk menentukan hari baik guna pelaksanaan upacara itu dan menetapkan banten yang harus dipergunakan apakah nista, madya atau utama. Untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan dharmanya sebagai Pandita. Jadi dalam fungsi lokapalasraya, seorang Pandita bukan saja berkewajiban “muput karya” atau menyelesaikan dan memimpin Upacara Yadnya, tetapi juga untuk memberikan pendidikan, tuntunan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin. 
Peranan Utama Pandita  
Di samping tugas/kewajiban lokapalasraya dan guruloka di atas, maka dengan mengacu kepada Kitab Sarasamuscaya Sloka 40, seorang Pandita dikatakan memiliki pula empat peranan utama 
dan karena Pandita tersebut dinamakan : 
a. Sang Satyavadi  artinya orang yang selalu berbicara benar dan jujur serta setia kepada ucapannya. Karena itu seorang Pandita hendaknya satya hredaya (setia kepada hati nuraninya), satya mitra (setia kepada sahabatnya), satya laksana (setia kepada perbuatannnya), satya wacana (setia kepada kata-katanya) dan satya semaya (setia kepada janjinya). 
b. Sang Apta  artinya orang yang dapat  dipercaya dan tidak pernah berbohong. Indikator dari orang Pandita apta adalah kemampuannya  dalam merespon permintaan utamanya., seperti mampu memberikan Dharmopadesa melalui Dharmawacana, Dharmatula, Tirthayatra, Dharmagita dan Dharmasedana. Kemudian mampu memimpin umat dalam mmberikan petunjuk dan membimbing umat dalam mengupayakan kebahagiaan lahir dan bathin. Selanjutnya mampu memberikan petunjuk dan membimbing umat dalam memecahkan masalah kehidupan yang terkait dengan kerohanian, pedewasaan, upacara yadnya serta mampu bertindak sebagai tempat berteduh bagi umatnya. 
c. Sang Patirtan artinya sebagai tempat untuk menyucikan diri atau minta Tirtha Amerta. Dalam hal ini Pandita mempunyai wewenang untuk membuat (ngraga) tirtha penglukatan, pebersihan/prayascita dan lain-lain. Dalam hal ini seorang Pandita dituntut memiliki kesiapan mental antara lain suci batin, suci pikiran, suci ucapan dan suci prilakunya. 
d. Sang Panadahan Upadesa artinya orang yang paling tempat untuk mengembangkan pendidikan moral dan mental manusia, jadi mampu memberi petunjuk atau pencerahan umat.
 


Kewajiban Meningkatkan Kesucian Diri  
Disamping melaksanakan lokapalasraya dan bertindak sebagai Guru Loka, seorang Pandita juga wajib setiap hari secara terus menerus meningkatkan kesucian dirinya, sambil mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan nyurya sewana dan harus dilaksanakan setiap hari, kecuali kalau sakit. 
Disamping itu kewajiban para Pandita dapat juga dipelajari dalam kitab Bhagawadgita IX.33 yang berbunyi sebagai berikut : 
Kim punar brahmanah punya bhakta rajasayas tahta
Anityam asukham lokam inam prapya bhajaswa man
Artinya : 
Para Brahmana Suci dan Pandita yang budiman, setelah berada di dunia kesedihan yang sementara ini, hendaknya selalu memuja Aku (Tuhan). 
Bandingkan uraian di atas dengan Bhagawadgita IX.34 yang berlaku bukan saja bagi para Pandita tetapi juga bagi semua orang, termasuk Wesia maupun Sudra: 
Man-mana bhawa mad-bhkto mad-yaji mam namaskuru 
Mam ewaisyai yuktwaiwam atmanam mat-parayanah
Artinya : 
Pusatkanlah pikiranmu kepada Ku, berbaktilah kepada Ku, puja dan tunduklah pada Ku dan dengan mendisiplinkan dirimu serta menjadikan Aku sebagai tujuan, engkau akan sampai kepada-Ku (Tuhan). 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa titik sentral dari ajaran ini adalah penyerahan diri secara total tanpa syarat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seluruh kehidupan akan mengalami transformasi ajaib dan akan memiliki visi tentang Tuhan di mana-mana. Semua kesedihan dan kemalangan akan sirna dan pikiran menjadi satu dengan kesadaran dewani. Mereka akan selalu memiliki kehidupan dan keberadaan Tuhan semata. 
Kewajiban Pandita Menurut Susastra Hindu  
Susastra Hindu yang mengatur tentang kewajiban Pandita dapat ditemukan dalam Kitab Manava Dharmasastra, Sarasamusccaya  dan Bhagawadgita. Sebelum menjelaskannya satu persatu, di  bawah ini disampaikan rangkuman dari kewajiban para Pandita berdasarkan kitab-kitab dimaksud : 
Menurut Kitab Manava Dharmasastra kewajiban para Pandita itu dapat disusun dalam tiga bagian : 
a. Mempelajari Veda, mengajarkan Veda, dan melaksanakan upacara yadnya serta menerima dana punia. 
b. Mengajar, belajar, berkorban untuk diri sendiri, berkorban untuk orang lain, memberikan daksina dan menerima daksina. 
c. Mentaati 10 hukum kehidupan, yaitu mantap dalam tujuan dan pelaksanaan tugas, bersifat mengampuni, mengendalikan diri, tidak berbuat curang, selalu menyucikan diri, mengendalikan hawa nafsu, mempunyai iman yang teguh, mempunyai pengetahuan tentang jiwa utama, selalu berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah marah. 
Kemudian menurut Kitab Sarasamuscaya, Pandita dinyatakan mempunyai kewajiban untuk mempelajari Veda, melaksanakan upacara yadnya, suka berderma, melakukan tirthayatra, mengajar agama, memimpin upacara yadnya dan menerima derma. Sedangkan menurut Kitab Bagawadgita, kewajiban seorang Pandita adalah menjaga ketenangan, mengendalikan diri, melaksanakan tapa brata, menjaga kemurnian diri, bersifat mengampuni, berlaku jujur, berpengetahuan, bijaksana dan percaya akan adanya kehidupan setelah meninggal dunia. 
Kewajiban Pandita berdasarkan Kitab Manava Dharmasastra I. 88, yang berbunyi sebagai berikut : 
Adhyapanam adhayayanam
Yajanam yajanam tatha
Danam pratigraham caiwa
Brahmananam akalpayat
Artinya : 
Kepada para Brahmana (Pandita), Tuhan menetapkan sebagai kewajibannya adalah mempelajari dan mengajarkan Veda, melaksanakan upacara yadnya untuk diri sendiri dan masyarakat umum dan menerima dana punia. 
 Kitab Manava Dharmasastra X.75, 76 dan  80 yang secara berturut-turut seperti di bawah ini : Adhyapana madhyayanam 
Yajanam yajanam tatha
Danam pratigrahaccaiwa sat 
Karmanyagrajan manah
Artinya : 
Mengajar, belajar, berkurban untuk diri sendiri, melakukan kurban untuk orang lain, memberi dan menerima daksina adalah enam macam kewajiban Brahmana (Pandita). 
Sannam tu karmanammasya
Trini karmani jiwaka
Yajanadhyapane caiwa 
Wisuddhacca pratigrahah
Artinya : 
Tetapi tiga diantara ke enam kewajiban yang ditetapkan untuknya adalah merupakan cara untuk hidup, misalnya membuat kurban untuk orang lain, mengajar dan menerima pemberian dari orang-orang suci. 
Vedabhyaso brahmanasya
Ksatryasya ca raksanam
Warta karmaiwa waisyasya
Wisistani swakarmasu
Artinya : 
Antara berbagai macam pekerjaan yang patut dianjurkan, bagi Brahmana (Pandita) adalah mengajarkan Veda, bagi Ksatria melindungi rakyat dan bagi Waisya berdagang. 
Sloka-sloka Kitab Manava Dharmasastra tersebut di atas merupakan landasan dasar hukum yang menetapkan kedudukan para Pandita secara fungsional, yang kemudian dalam Kitab Mahabharata dipergunakan sebagai alat pengukur untuk menetapkan apakah seseorang itu dapat digolongkan sebagai Pandita atau tidak (Pudja cs., 1973:  52). 
Dalam Kitab Sarasamusccaya 2 – 56 yang merupakan pokok-pokok isi Mahabrata yang berbunyi : 
Adhiyita brahmano wai yajeta
Dadyadiyat tirthamukyani caiwa
Adyapayedyajayecchapi yajyan
Pratigrahan wa wihitanupeyat
Nya dharma sang brahmana, mangajya, mayajna, maweha dana punya, mangelema atirtha, amarahana, wikwaning ayajna, menanggapa dana. 
Artinya : 
Inilah dharma seorang Brahmana (Pandita), yakni mengaji (mempelajari Veda), melakukan yadnya, berderma, berkunjung ke tempat-tempat suci, mengajarkan agama, memimpin upacara agama dan menerima derma. 
Selanjutnya Kitab Bhagawadgita XVIII.42 menyatakan sebagai berikut : 
Samo damas tapah saucam 
Ksantir arjavam eva ca
Jnanam vijnanam astikyam 
Brahman karma svabhava jam 
Artinya : 
Pengendalian diri, tapa brata, kemurnian, pengampunan, jujur, begitu pula pengetahuan, bijaksana dan percaya kepada kehidupan setelah mati adalah kewajiban seorang Brahmana yang lahir dari sifatnya sendiri. 
Kemudian dinyatakan bahwa seorang Dwijati harus mentaati 10 hukum kehidupan sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Manava Dharmasastra Bab VI sloka 91 sampai 94: 
Caturbhitapi caivaitair nityamasramibhir dvijah
Dasalaksanako dharmah sevitavwyah prayatnatah
Artinya : 
Orang-orang Dwijati yang berasal dari salah satu dari keempat tahapan ini, harus mentaati dengan seksama kesepuluh macam hukum. 
Dhiritih ksama damo ‘steyam saucam indriyanigrahah
Dhirvidya satyamakrodho dasakam dhamalaksanam
Artinya : 
Yaitu kemantapan dalam tujuan dan pelaksanaan tugas, suka mengampuni, pengendalian diri, tidak melakukan kecurangan terhadap apapun juga, taat akan peraturan penyucian diri, pengekangan hawa nafsu, teguh iman, pengetahuan tentang jiwa utama, memegang kebenaran dan menghilangkan kemarahan semua ini merupakan kesepuluh hukum kehidupan. 
Dasa laksanani dharmasya ye viprah samadhiyate
Adhitya canuwartante te yanti paramam gatim. 
Artinya : 
Orang-orang Brahmana yang telah mempelajari dengan mendalam kesepuluh hukum ini dan mentaatinya akan mencapai tingkat tertinggi. 
Dasalaksanakam dharmam anutisthan samahitah
Vedatam vidhivaccratva samnyasedanrino dvijah
Artinya : 
Seorang Dwijati yang dengan kebulatan hati mengikuti ke sepuluh hukum kehidupan ini dan setelah melunasi ketiga hutangnya serta setelah mempelajari Vedanta sesuai dengan peraturan yang berlaku, akan menjadi pengembara. 
Bhagavadgita XVII.42 menyatakan bahwa kewajiban seorang pandita adalah sebagai berikut.
Samo damas tapah saucam, khantir arjava eva ca
jnanam vijnam astikyam, brahmakarma svabhavayam.
Artinya.
Untuk dapat dijadikan panutan serta memiliki kredibilitas yang tinggi, seorang Pandita wajib melaksanakan swadharmanya atau kewajibannya tanpa terkecuali,  seperti yang tersurat dalam Manawa  Dharma Sastra I. 88 yang berbunyi sebagai berikut.
“Adhyapanam adhyayanam, yajanam yajanam tatha,
danam pratigraham caiwa bramananam akalpayat.” 
Terjemahannya.
Kewajiban–kewajiban seperti mempelajari dan mengajarkan Veda, melaksanakan upacara yadnya baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat, memberi maupun menerima dana ditentukan sebagai fungsi Brahmana/Pandita ( Pudja, 1995 : 50 ).
Bhagawad Gita XVIII,42 menyatakan bahwa kewajiban seorang Brahmana atau Pandhita adalah sebagai berikut.
“Samo  damas  tapah  saucam,  khantir  arjavam  eva  cha
jnanam vijnanam astikyam, brahmakarma svabhavayam.” 
Terjemahannya.
Khusuk, menguasai indria, suci, tapabrata, tawakal, benar, luhur budhi, berpengetahuan, dan percaya kepada agama, merupakan kewajiban kaum Brahmana/Pandita yang terlahir dari sifat–sifat mereka (Pendit, 1994 : 444). 
Hal senada  ditegaskan pula oleh Slokantara sloka 1, yang berbunyi sebagai berikut.
“Brahmano vamanusyanamadityo vapi tejasam, Ciro Vasarva gatresu    dharmesu satyamuttamam. Kalingannya, nihan dharma rengon de sang mahyun wruheng kawisesan ing janma. Yan manusya tan hana luwih kadi brahmana; brahmana ngaranya sang kumawasaken kabrahmacaryan…”
Terjemahannya.
Inilah ‘Dharma’ yang patut diperhatikan oleh mereka yang ingin mengetahui hakikat sebagai manusia.  Diantara  manusia tak  ada yang melebihi Brahmana; brahmana/Pandita artinya ialah orang yang telah menguasai segala ajaran Brahmacarin…(Agung Oka, 1995 : 1).
Sarasamuccaya sloka 56 dan 57 menyatakan fungsi serta landasan moral yang patut diperhatikan agar senantiasa memeperoleh kepercayaan dari masyarakat.
“Nya dharma sang Brahmana, mangajya, mayajna, maweha danapunya, magelema, atirtha, amarahana, wikwaning yajna, mananggapa daana.
Nyang brata sang brahmana, rwa welas kwehnya, pratyeknaya, dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajna, daana, dhriti, ksamaa, nahan pratyekanyan rwawelas, dharma, satya,pagwannya, tapa ngaranya sarira sang sosana, kapanasaning sariira, pihara, kurangana wisaya, dama ngaranya upasama dening tuturnya, wimatsaritwangarani haywa irsya, hrih ngaraning irang, wruha ring irang wih, titiksaa ngaraning haywa gong krodha, anasuyaangaraninghaywa dosagrahi, yajna magelem amuja, daana, maweha dana punya, dhrti ngaraning maneb, ahning, ksama ngaraning kelan, nahanbrata sang Brahmana.”
Terjemahannya.
Berikut inilah dharma sang Brahmana (Pandita), mempelajari Veda, mengadakan upacara kebaktian atau pujaan, memberikan amal sosial, berkunjung ke tempat–tempat suci, memeberikan ajaran–ajaran  (penerangan agama), memimpin upacara dan dibenarkan menerima derma.
Inilah brata Sang Brahmana (Pandita), dua belas banyaknya, perinciannya; dharma, satya, tapa, dama, wimarsaritea, hrih, titiksa, anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama, itulah perinciannya sebanyak dua belas; dharma dari satyalah sumbernya, tapa artinya dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu; dama artinya tenang dan sabar, tahu menasihati diri sendiri, wimatsaritwa artinya tidak dengki irihati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya berarti tidak berbuat dosa, yajna adalah mempunyai kemauan untuk mengadakan pujaan, dana adalah memberikan sedekah, dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksama berarti tahan sabar dan suka mengampuni; itulah brata Sang Brahmana (Kajeng 1999 : 46-48).
               Menurut Agastya Parwa,… bagi yang meraga Siva ini,  memiliki  kewajiban untuk  mewartakan  ajaran kebenaran,”… tinut sang guru maweh tattva i sang sisya,” (… diteruskan kemudian,  mengikuti  jejak  guru  mewartakan  ajaran tattva/kebenaran  kepada murid). Untuk dapat mewartakan atau mengatakan kebenaran tersebut, seorang Pandita wajib mengetahui wujud dan hakekat kebenaran itu.  Kebenaran dalam paham Saiva Siddhanta disebut dengan Tattva. Untuk itu bagi seorang Pandita Mpu wajib menguasai Sarvavidyavadata, yakni tahu banyak pengetahuan agama, memahami pustaka suci Veda  Brahmana, Upanisad selain ajaran Sivatattva, yang banyak tersurat dalam pustaka lontar, seperti Bhuana Kosa, Bhuana Mabah, Wrhaspati Tattva, Ganapati Tattva, Tattva Jnana, Sanghyang Maha Jnana, Jnana Siddhanta, serta yang tidak kalah pentingnya adalah wajib memahami ajaran Vedanta, yang merupakan intisari ajaran Catur Veda dan asal usul para deva, tujuan para deva, aturan–aturan Sodasatattva, Navatattva, Vidyatattwa, Pradanatattva, Kalatattva, Pranatattva dan segala macam Tattva.

Pandita Patut Mempunyai Sifat Yang Baik
Para Pandita sebagai Orang Suci patut menjaga dan memelihara sifat-sifat yang baik seperti berikut. Dirgahahayusa artinya langgeng dan tetap pendirian.
a. Mutikrti artinya mampu memenuhi dan melaksanakan keyakinannya.
b. Siddha Iswarya artinya baik dan sempurna sejak masih berada dalam kandungan.
c. Diwya Caksu artinya mampu mengetahui hal-hal yang jauh maupun dekat, bahkan tahu mengenai yang akan datang.
d. Pratyaka Dharmanah artinya mempunyai kemauan yang baik.
e. Gotraprawartaka artinya mempunyai keturunan.
f. Satkarmanirala artinya tidak ada halangan untuk melakukan yadnya.
g. Silinah artinya berpegang teguh kepada etika, moral dan kesusilaan.
h. Cramedhinah artinya  gemar melaksanakan tugas rumah tangga dan tidak takut kepada makanan yang sederhana.
Dengan memiliki dan tetap memelihara sifat-sifat baik seperti itu, maka para Pandita akan dapat mempertahankan kesucian dirinya, sehingga secara terus-menerus akan dikenal sebagai Orang Suci.
Pandita Patut Melaksanakan Brata 
Pandita wajib melaksanakan brata atau pantangan, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Sarasamuscaya 4 – 57 berikut ini :
Dharmasca satyam ca tapo damasca vimatsaritvam hristitiksanasuya, yajnacca danam sa dhrtih ksama ca mahavratani dvadasa vai brahmanasya.
Nyang brata sanga brahmana, rwa welas kwehnya, pratyeknaya, dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titksa, anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama, nahan pratyekanyan rwa welas, dharma, satya, pagwanya, tapa ngaranya sarira sang sosana, kapanasaning sarira, piharan, kurangana wisaya, dama ngaranya upasama dening tuturnya, wamatsaritwa ngarani haywa irsya, hrih ngaraning irang, wruha ring irang wih, titiksa ngaraning haywa gong krodha, anasuya ngaraning haywa dosagrahi, yajna magelem amuja, dana, maweha dana punya dhrti ngaraning maneb, ahning, ksama ngaraning kelan, nahanbrata sang brahmana.
Artinya :
Inilah brata sang brahmana (Pandita), dua belas banyaknya. Perinciannya adalah dharma, satya, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa anusaya, yajna, dana, dhrti, ksama. Dharma dari satyalah sumbernya, tapa artinya sarira sang cosana  yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu, dama artinya tenang dan sabar, tahu menasihati dirinya sendiri, wimatsaritwa artinya tidak dengki atau irihati, hrih berarti tahu malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya tidak pernah gusar, anasuya berarti tidak mau berbuat dosa, yajna artinya mempunyai kemauan mengadakan persembahan, dana berarti memberi sedekah, dhrti artinya menenangkan dan menyucikan pikiran, ksama berarti sabar dan suka memaafkan. Itulah brata Sang Brahmana/Pandita (Kajeng, 2005: 47 – 48).
Untuk mendapat pengertian yang baik mengenai ke dua belas macam brata yakni tindakan dan pantangan bagi para Pandita:
a. Dharma artinya patuh pada aturan perundang-undangan, baik hukum agama maupun hukum negara dan selalu berbuat baik.
b. Satya artinya jujur dalam ucapan dan perbuatan, satunya kata dan perbuatan adalah ciri utama dari seorang satyawan.
c. Tapa artinya menyucikan diri lahir dan bathin dengan mengendalikan panca indria, rokhani dan jasmani dengan mengendalikan nafsu.
d. Dama artinya tenang dan sabar serta tahu dan mampu menasehati diri sendiri dengan introspeksi dan retrospeksi.
e. Wimatsaritwa artinya tidak dengki maupun irihati terhadap orang lain melainkan tetap puas kepada apa yang ada pada dirinya sendiri.
f. Hrih artinya mempunyai rasa malu, tidak sombong dan besar kepala.
g. Anasuya artinya tidak melakukan perbuatan-perbuatan dosa.
i. Yajna artinya melakukan kurban atau persembahan dan upacara keagamaan untuk diri sendiri maupun orang lain.
j. Dana artinya memberi derma, sedekah atau dana baik untuk kepentingan agama maupun sosial.
k. Dhrti artinya menenteramkan dan menyucikan pikiran.
l. Ksama artinya sabar dan suka memberi maaf terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang lain.
Ke dua belas jenis brata termaksud merupakan ciri-ciri dari seorang Pandita berdasarkan Kitab Sarasamucaya yang ternyata sama dengan ciri-ciri seorang Samnyasin menurut Kitab Manava Dharmasastra.
Sarasamuscaya 40 menyuratkan, apa yang diajarkan dalam Sruti, Smrti dan perilaku orang Sista disebut Dharma dan ini patut diingat-ingat sebagaimana bunyi sloka berikut: 
Srutyuktah paramo dharmastatha 
Smrti gato ‘parah
Sistacarah parah proktastrayo
Dharmah sanatanah
Kunang kengetakena, sasing kajar de sang hyang sruti dharma ngaranika, sakarar de sang hyang smrti kuneng dharma ta ngaranika, sistacara kunang, acaranika sang sista, dharma tangaranika, sista ngaran sang hyang satyawadi, sang apta, sang patirthan, sang panadahan upadesa sangksepa ika katiga, dharma ngaranira.
Artinya :
Adapun yang patut diingat-ingat, semua apa yang diajarkan oleh Sruti disebut Dharma, semua yang diajarkan oleh Smrti pun Dharma namanya. Demikian pula tingkah laku orang Sista disebut  juga Dharma. Yang disebut Sista adalah orang yang sempurna, yakni yang berkata-kata benar, yang dapat dipercaya, yang menjadi tempa penyucian, yang menjadi tempat menerima ajaran kerokhanian, singkatnya itulah Dharma namanya.
Pandita Patut Tetap Suci dan Bersih 
Suci dan bersih pengertiannya berbeda. Tetapi dari sudut agama, suci itu artinya bersih. Orang yang dipandangan suci atau Pandita adalah orang yang memiliki nilai-nilai kesucian itu. Ini berarti bahwa mereka harus bebas dari noda-noda pikiran, perkataan dan perbuatan, seperti berbuat bejat/jahat, berbohong, berkhianat, kasar dan perbuatan-perbuatan lain yang sejenis. Mereka haruslah seorang dharmika yaitu orang yang merealisasikan Dharma dalam hidupnya. Agama Hindu banyak memberikan ajaran yang mengantarkan orang kepada kesucian, seperti Tri Kaya Parisuda, Yama-Niyama Brata dan lain-lain. Di samping itu Agama Hindu juga menunjukkan jalan yang patut ditempuh menuju kesucian, seperti Jnana Marga, Karma Marga dan Bhakti Marga. Dengan demikian kesucian seseorang tidak ditentukan oleh atribute luar seperti berpakaian putih, berjanggut panjang dan membawa tongkat. Kesucian itu ditentukan oleh faktor batin, faktor di dalam diri seseorang. Walaupun demikian orang yang disebut suci tidak boleh mengabaikan kebersihan. Ia harus suci lahir batin. Seorang Pandita adalah orang yang disucikan. Beliau selain memperhatikan kesucian, harus juga melaksanakan tindakan-tindakan kesucian, seperti yang dinyatakan dalam Siwasasana, Wratisasana dan sebagainya. Para Pandita setiap hari harus Nyurya Sewana, memuja surya, menyucikan diri dengan puja dan tirtha. Berhasil atau tidaknya Pandita mencapai kesucian tergantung dari kepribadian masing-masing.
Pandita wajib Mempelajari, Merapalkan, Memahami Mantra, Japa, Yantra dan Mudra
               Dalam fungsinya  sebagai  orang  suci  yang  berwenang  membuat  air suci, seorang Pandita di samping memiliki daya siddhi (sebagai pemberi daya kekuatan magis pada tirtha), telah pula memiliki hak penuh sebagai Pandita Mpu Pala Sraya. Untuk memiliki hak Pandita Mpu Pala Sraya ini secara umum, seorang Pandita wajib menguasai dan memahami Mantra, Yantra dan Mudra dengan segala suplemenya. Dalam pelaksanaan Yajna, urutan penghargaan dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah Arcana, mudra, mantra, kuta mantra,dan pranawa, merupakan sebuah kesatuan. Hal ini wajib dikuasai dan difahami bagi seorang Pandita. Arcana adalah berbagai bentuk simbol–simbol keagamaan, seperti upakara (bebanten)  dan juga yantra, yakni benda–benda yang disucikan kemudian dijadikan alat konsentrasi dan secara spiritual dijadikan sthana turunnya para dewa yang dipuja. Mudra artinya sikap–sikap ketika memuja, dilakukan dengan posisi di tangan dan jari–jari. Tujuan dari pada mudra ini adalah menyenangkan devata. Disamping itu, mudra diyakini memberikan siddhi dan pelaksanaannya dapat memberikan keuntungan bagi tubuh seperti kestabilan kekuatan dan penyembuhan penyakit. Mudra sangat penting bagi para Pandita  dalam melaksanakan yajna. Kemudian mantra disusun dengan aksara–aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan aksara–aksara itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. Nama lain mantra adalah stawa atau stuti. Bagi seorang Pandita, penguasaan terhadap mantra ini adalah wajib, lebih–lebih dalam pembuatan air suci. Seorang Pandita harus mampu menghafal dan merafalkan dengan benar stawa–stawa yang ada dalam lontar  Argha Patra.. Dalam fungsinya sebagai Pemuput Yajna, seorang Pandita wajib hafal stawa–stawa sesuai dengan jenis yajna yang dipimpin.
Dalam memberikan layanan muput (Ngeloka Pala Sraya ) kepada umat sesuai jenis dan tingkatan yajna, seorang Pandita dalam kaitan pembuatan air suci  wajib menguasai semua jenis puja atau stuti,  seperti berbagai puja panglukatan dari tingkatan Nista sampai Uttama, berbagai puja Gemana  sesuai ucap lontar Soda Siwi kerama, serta puja khusus lainnya.
Setelah mantra adalah Kuta Mantra  atau wija mantra seperti hrang, hring sah, tidak mempunyai arti  dalam  bahasa  sehari–hari.  Tetapi  bagi  mereka yang telah menerima diksa mantra, mengetahui bahwa artinya terkandung dalam perwujudannya itu sendiri (swarupa) yang adalah perwujudan dewata yang dipuja. Kemudian Pranawa adalah OM, yang merupakan intisari semua mantra dan wajib diketahui oleh para Pandita, seperti yang disebutkan dalam kitab Jnana Siddhanta sebagai ‘…patemuning Tryaksara, ya matemahan OMkara. Kinavruhan sang Saadhaka,’  (luluhnya triaksara ini, MA, A, U harus diketahui oleh para Pandita). 
Pandita Tidak Boleh Melanggar  dari Ajaran Susila
Kitab Manawa Dharmasastra juga mengajarkan bahwa Brahmana atau Pandita umurnya akan diperpendek jika melupakan ajaran Veda, menyimpang dari ajaran tingkah laku, teledor melaksanakan tugas kewajiban, makan-makanan terlarang. Kitab Manava Dharmasastra V.4:
Anabhyasena vedanam acarsya ca varjanat 
Alasyadan nadoscca mrityur vipranjighamsati
Artinya :
Karena melupakan ajaran Veda, menyeleweng dari peraturan tingkah laku, teledor dalam melakukan tugas-tugas, salah dalam makan-makanan terlarang, maka kematian itu berhak memperpendek hidup para Brahmana.
Menurut Lontar Resi Sasana, ada beberapa larangan yang perlu diperhatikan oleh Pandita, yakni
a. Ketentuan mengenai berguru antara lain ditetapkan : jangan membohongi Guru, jangan mengitari api tanpa menyembah Guru, jangan membolak balikkan perintah Guru, jangan menuding Guru, jangan bersikap angkuh kepada Guru, jangan memijat Guru, jangan menuding Guru, jangan menduduki tempat duduk Guru.
b. Ketentuan mengenai panca siksa atau lima larangan dalam belajar adalah jangan suka membunuh segala makhluk hidup bukan untuk kepentingan agama (Ahimsa), tekun menuntut pengetahuan tanpa melakukan perkawinan artinya jangan menikah selama masa belajar (Brahmacari), jangan hidup bermewah-mewahan (awyawahara), jangan suka mencuri (asteya) dan jangan suka marah (akroda).
c. Ketentuan mengenai pengabdian terhadap hakekat kebenaran agama antara lain : jangan berlaku tidak bersungguh-sungguh terhadap Guru Suci, jangan bersulit (menggunakan tusuk gigi), jangan bersisir, jangan memotong kuku dihadapan Guru, jangan berbedak atau berhias dideapan Guru.

Berbagai Pantangan Lain Bagi Pandita 
Di bawah ini adalah berbagai macam pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh Pandita, yaitu :
a. Pandita tidak boleh membunuh atau menyakiti atau melukai siapapun juga.
b. Pandita tidak boleh berdusta.
c. Pandita tidak boleh bertengkar.
d. Pandita tidak boleh memamerkan kepandaiannya.
e. Pandita tidak boleh mencuri atau mengambil milik orang lain.
f. Pandita tidak boleh berkata-kata yang tidak patut.
g. Pandita tidak boleh berniat jahat terhadap orang lain.
h. Pandita tidak boleh mengadakan hubungan sex dengan wanita yang bukan isterinya.
i. Pandita tidak boleh mengucapkan kata-kata yang kotor.
j. Pandita tidak boleh berkata-kata yang kasar atau pedas.
k. Pandita tidak boleh memaki-maki orang lain.
l. Pandita  tidak boleh melakukan jual beli atau berdagang.
m. Pandita tidak boleh terlibat hutang piutang.
n. Pandita tidak boleh berusaha dengan maksud mencari untung.
o. Pandita tidak boleh mencopet atau merampok.
p. Pandita tidak boleh marah.
q. Pandita tidak boleh ingkar janji atau mengabaikan kewajiban.
r. Pandita tidak boleh mementingkan diri sendiri.
s. Pandita tidak boleh menginginkan sesuatu yang tidak halal.
t. Pandita tidak boleh berpikiran buruk terhadap orang lain.
u. Pandita tidak boleh mengingkari karmapala.
v. Pandita tidak boleh memfitnah.
w. Pandita tidak boleh berzinah.
x. Pandita tidak boleh menampung, menolong, memberi makan, menyembunyikan, berkenalan atau bersahabat dengan pencuri.
y. Pandita tidak boleh melayat orang meninggal jika tidak diundang
z. Pandita tidak boleh terlibat dalam perkara pidana.
aa. Pandita tidak boleh menjadi saksi di Pengadilan.
bb. Pandita tidak boleh memikul atau menjunjung barang bawaan.
cc. Pandita tidak boleh memasuki taring ayam perjudian (tajen).
dd. Pandita tidak boleh memasuki tempat perjudian.
ee. Pandita tidak boleh berjudi.
ff. Pandita tidak boleh memasuki rumah pelacur.
gg. Pandita tidak boleh bersahabat dengan orang jahat.
hh. Pandita tidak boleh mecor (anayub cor).

TERJEMAHAN VRATISASANA

1b. Semoga tiada rintangan. Om hormat kepada Bhatara Siwa.
Pranamya bhaskaram  devam  bhukti mukti varapradam,
sarvaloka  hitarathaya pravaksye bratisasanam 
Bhatara Siwaditya, Beliaulah yang hamba sembah. Beliau adalah dewa yang nyata yang menganugrahkan bhukti dan mukti, yang disebut bhukti ialah kebahagiaan duniawi, mukti adalah kebahagiaan tertinggi. Apa tujuan hamba menyembah beliau? Pratisasanam pravaksye, hamba menguraikan sasana sang wiku, sarvalokahitarthaya, dengan tujuan kebahagiaan masyarakat, manakah itu? Inilah.
Yamamsca niyamamsceva yada raksennu panditah,
tesam sangraksitenaiva buddhirasya na calyate
Sang pandita, yamabrata dan niyamabrata yang beliau pegang, sebab bila yama dan niyama brata telah dapat dipegang, pikiran beliau tidak akan goyah. Manakah yamabrata itu?

Ahimsa brahmacaryanca atyamavyavaharikam
astainyam iti pancaite yama rudrena bhasitah
 Ahingsa artinya tidak melakukan pembunuhan, brahmacarya artinya tidak pernah menyentuh perempuan sejak kecil, dan memahami man-
2a.tra kabrahmacaryan, satya artinya berkata jujur, awyawaharika artinya tidak bertengkar, astainya artinya tidak berniat jahat kepada milik orang lain, yang lima itu yama brata namanya, sabda Bhatara Rudra.
Akrodho gurususrusa saucam aharalaghavam 
Apramadasca pancaite niyamah parikirtitah
Akrodha artinya tidak disusupi marah, Gurususrusa artinya tak henti-hentinya mengusahakan selesainya tugas-tugas terhadap guru, yang demikian itu sesungguhnya adalah guru bhakti yaitu bakti kepada guru, agar supaya ia bersedia menyampaikan ajaran-ajaran yang dirahasiakannya, sauca artinya selalu menyucikan diri, memuja surya, menyembah Bhatara, aharalaghawa artinya tidak makan sembarang makanan, apramada artinya ogah-ogahan mengulang-ulang mempelajari ajaran kabhu¬janggan, itulah yama niyama brata yang lima banyaknya, sabda Bhatara Siwa.
Yama niyama brata itulah yang selalu dipegang oleh sang wiku dengan tujuan agar kokohnya bratanya (oleh Sanghyang Brata), sebab bila tidak dipegang salah satu dari padanya tentu pikirannya akan menjadi goyah itulah yang menyebabkan ia menyimpang dari kedudukannya sebagai wiku yang mengakibatkan ia 
2b. makan sembarangan, minum minuman terlarang, melakukan agamya¬gamana semua itu me¬ngakibatkan panten.
Apabila tidak dipegang tentu ahingsa, karena marah, bingung, mabuk, congkak, iri hati, lebih-¬lebih karena dikuasai hawa nafsu, maka semua itu dapat menyebabkan panten, adapun hingsaka dengan tujuan untuk dharma, itu tidak berdosa, manakah hingsaka yang bertujuan untuk dharma? membunuh bangsa binatang dengan tujuan dijadikan caru pada dewa puja, pitra puja, atithi puja, balikrama, yang demikian itu tidak mengakibatkan ia berdosa, sementara itu binatang ternak yang dibunuh seperti itik, angsa, ayam, apalagi kambing, babi, kerbau, hal itu tidak menyebabkan ia hingsaka, ia menyuruh orang lain untuk hal itu.
Adapun binatang yang boleh dibunuh ialah segala jenis binatang liar, burung, segala macam ikan, apalagi belalang, capung dan sebagainya, sang wiku tidak bcrdosa membunuh yang demikian itu, kalau tujuannya untuk dimakan, dan yang boleh dibunuh, ialah segala binatang yang mengganggu dharma, dan yang mengganggu yoga, yang dipandang menyebabkan cacat badan, manakah jenis itu? 
3a. tuma, kutu busuk, nyamuk dan sebagainya, yaitu segala yang gigitannya dan persembunyiannya menyebabkan sakit wajib itu dibunuh, dan membunuh yang membuat badan cacat, yang mengganggu dharma, sangat penting sang wiku boleh membunuh pencuri yang masuk ke rumahnya, rumah anaknya, rumah sanak saudaranya, rumah temannya apalagi ke rumah guru, rumah putra guru, dalam hal itu sang wiku tidak berdosa membunuh, ada pengganggu di tengah jalan yaitu orang yang mencopet, merampas, mengamuk, merampok yang mengikutinya, sang wiku tidak berdosa membunuhnya, karena tujuannya untuk melindungi nyawa.
Ada orang jahat dan yang sejenis dengan itu ditangkap olehnya sang wiku tidak boleh membunuhnya, karena tidak ada bahayanya orang yang telah diikat, sang wiku akan panten bila membunuh orang yang telah diikat dan ditangkap orang lainlah yang patut disuruh membunuhnya.
Ada orang yang merencanakan kematian sang wiku, istrinya dan anaknya, dan benar-benar ia merencanakan kematiannya itu, tidak dapat dicegah niat buruknya itu, maka sang wiku menyuruh orang lain membunuhnya, bukan ia sendiri membunuhnya, bila sendiri membunuhnya ia panten, bila yang merencanakan kemati¬annya itu datang langsung dengan gerak-gerik yang berbahaya, la tidak berdosa membunuhnya, dan bila istrinya, putrinya, berlaku buruk, ia harus menyuruh orang lain membunuhnya, bila pelayan istrinya yang berlaku jahat, bukan ia yang harus membunuhnya, bila ia yang membunuhnya ia panten.
Bila ia kedapatan sedang berbuat demikian, dengan tiba-tiba bangkit gusarnya dan dengan sengaja membunuhnya, membunuh istrinya, sang wiku tidak berdosa bila demikian, bila ia membunuh karena bertengkar, dan sang wiku mendahuluinya, maka dalam hal yang demikian sang wiku panten, bila ia didahului, tidak gentar ia diserang, diserang dengan kata¬-kata dan tangan, diserang dengan keris, maka membalaslah sang wiku, dalam hal yang demikian ia tidak berdosa, karena menjaga diri dari bahaya namanya yang demikian itu, apakah tujuan pembalasannya, dalam wujud pertengkaran? ia didahului hendak dibunuh, ia membalas (sang wiku yang demikian) patut disucikan lagi, bila sang wiku mendahului pertengkaran, berakhir dengan membunuh, karena kata-kata yang amat tidak patut didengar, dan 
4a. ia amat lancang membalas membunuh, maka dalam hal yang demikian itu ia panten, tidak patut disucikan, karena tidak ada upacara penyucian bagi orang yang panten, itulah sebabnya sang wiku harus hati-hati dalam memegang brata ahingsa. Adapun sang brahmacaryya, yang tidak pernah menyentuh wanita, manakah jenisnya? inilah sukla bramacari kresna brahmacari, sawala brahmacari, sukla brahmacari artinya tidak beristri dari anak-anak sampai datang ajalnya, kresna brahmacari artinya tidak menyentuh wanita selama mengabdi pada guru, karena takut dipecat, melaksanakan kagurususrusan, bhakti kepada guru, berhasrat memahami ajaran kependetaan dan mengusahakan sampai selesai¬nya semua pengetahuan, maka sang wiku menguasai ilmu logika, tata bahasa, ilmu perbintangan, segala macam perintah agama, setelah dewasa menyiapkan diri untuk hidup berkeluarga, ia hanya beristri satu, tidak beristri lagi bila istrinya meninggal, yang demikian itulah kresna brahmacari namanya.
Adapun sawala brahmacari, ialah tidak beristri waktu masih berguru, ketika sudah hidup berumah tangga, ia beristri lagi sekehendak hatinya tujuannya ialah supaya banyak mempunyai anak, ia memahami puja 
4b. senggama dan pertimbangan waktu dan tempat, dan tahu istri yang layak sebagai yang menyertainya mengembangkan anak-anak sebagai keturunan¬nya, dan iapun mempunyai selir yang menyertainya untuk mendapatkan anak, bila istrinya pendampingnya itu bertingkah laku yang baik tanda ia benar-¬benar tahu menyertai pada waktu melakukan senggama dan pada waktu menghindari senggama ia tidak tenggelam dalam senggama, sebab ia memahami bahayanya diperbudak oleh nafsu, karena bila sampai dikuasai kemelekatan pada istri akan mengakibatkan kamadosa, dosa karena nafsu.
Dari nafsu muncul amarah, dari amarah muncul loba, dari loba muncul bingung, dari bingung muncul mabuk, dari mabuk muncul irihati, dari irihati lalu membunuh, itulah sebabnya, dikendalikannya nafsu itu, terlebih-lebih nafsu kepada  wanita, tidak diturutinya nafsu kemelekatan kepada wanita, seperti agamyagamana, bila demikian pikiran akan tenggelam dalam kenikmatan yang mengakibatkan paradara, bisa-¬bisa agamya gamana, bisa-bisa mengawini istri guru. Agamya gamana artinya memperistri yang tidak boleh dijadikan istrinya seperti ibu, anak, cucu, kemenakan, dan sanak saudara dan besan, itulah yang dijadikan istri oleh orang yang agamya gamana.
Paradara artinya memperistri istri orang lain. Bila-
5a. Sang pandita/wiku demikian, tidak urung sang pandita/wiku akan menuju neraka loka, dimasak oleh laskarnya Bhatara Yama. Demikian juga agamya gamana lebih besar dosanya, lama menjadi penghuni neraka, dihukum oleh Sanghyang Yama. Bila mana ia lepas dari neraka ia menjelma menjadi suatu yang menjijikkan orang seperti tetek, lintah, iris-iris poh, cacing, pelus, pacet, kuricak, setiap yang tidak disenangi orang saja penjelmaannya. Besar sekali dosa sang wiku yang gurwanggana gamana yaitu memperistri istri guru, selir guru. Sang pandita/wiku akan panten bila demikian.
Bila sang wiku agamya gamana, patita (jatuh) namanya, masuk ke dalam panten. Itulah sebabnya sang pandita/wiku berhati-hati mengemban brata brahmacarya. Demikianlah yamabrata yang kedua.
Adapun satya artinya jujur, jujur sang pandita/wiku dalam berkata, membatasi kata-katanya, takut kalau-kalau kata-katanya tidak benar, sebab lebih banyak kata¬-kata daripada pelaksanaan dari kata-kata itu. Dan jangan berkata-kata kasar, kata-kata yang baik saja hendaknya ucapkan, tidak mengeluarkan kata-kata yang ketus. Janganlah mengucapkan kata-kata bercampur marah, apalagi diiringi dengan kutukan, umpatan, karena kutukan, umpatan itu adalah kata-kata dusta. Dan ia benar dalam perbuatan, patuh pada brata, karena sang wiku bila tidak patuh ada brata, ia akan panten, seperti halnya orang yang melaksanakan brata siddhanta, bila ia menyantap makanan yang dilarang untuk orang yang melaksanakan brata siddhanta, ia panten bila demikian. Manakah yang tidak disantap olehnya ? Inilah! 
Narawanara go vyaghra gajasva svana gardabhah
Kuk kuta sukara simbah sarvam acoksa mamsakam 
Seperti daging manusia, daging kera, daging sapi, daging harimau, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging keledai, daging ayam rumah, daging babi rumah, daging singa, Semuanya itu dikatakan daging yang tidak suci.
Grahasca kumbhiro nakro marjaro musikas tatha
Nakulo manduko vyalah sarvam acoksa mamsaka
Dan lagi daging buaya, daging ikan paus, daging kuluyu (sejenis hiu), daging pusa (?) daging tikus, segala jenis tikus, daging garang-garangan (sejenis rubah kecil) daging kucing liar, daging kodok, segala jenis kodok, daging ular, segala jenis ular, semuanya itu dikatakan daging yang tidak suci.

6a. Bhukrimi bhukita mamsam sarva lokavahelitam
Praninam rupa bhedasca sarva kanisthamamsakam
Dan bangsa cacing yaitu bhuh kremi yaitu cacing yang hidup di tanah, bhukita yaitu semut yang tinggal di tanah, dan semua jenis binatang yang menjijikkan, dibenci oleh orang banyak, binatang yang bentuknya aneh seperti lintah, cacing, kuricak, iris-iris poh, ulat, yang ditakuti orang dan sebagainya, tidak disenangi oleh orang yang melihatnya, semua itu dipandang daging yang nista. Dan lagi binatang yang dipandang tidak suci oleh penganut siddhanta yang melaksanakan brata yang suci, ialah musang, wingsang, langkap, kendo, wantirah, babi, wirog, ruti (sebangsa biawak), kalajengking, huwa-huwa, orang hutan, kadal, klarap (sejenis kadal terbang) kelelawar, tokek, cecak, tilap, tunggelit, semua itu tidak boleh disantap oleh penganut siddhanta yang melaksanakan brata yang suci.
Kakoluka grdhra syena kangka kokila sucikah
Kira sukasca sarikahsarvam acoksa mamsakam
Seperti burung-burung buas: gagak, dok (sebangsa burung hantu) ayam bakikuk, ulung, trilaklak, kak, tuwu-tuwu, domadoman, atat,
6b. siung, nori, cod, gagandyan, alap-alap, bibido, daryas, manuk widu, tidak boleh disantap oleh sang siddhanta. Dan burung hitam, burung yang suaranya seperti suara manusia: koci, cangkilung, dedekcu, tikus-tikusan, jalak, segala jenis jalak, tetek, sulindit, tidak disantap oleh sang pandita. Dan semua binatang yang berkuku lima, tidak boleh disantap. Adapun yang berkuku lima yang dibenarkan untuk disantap ialah warak, landak, wayawak, kunna, bulus, baning, penyu, segala jenis penyu. Dan lagi yang boleh disantap ialah babi hutan, ayam hutan, kerbau, kambing, banyak, itik, burung merpati. Dan lagi binatang yang boleh disantap ialah trenggiling, kijang, menjangan, kancil, burung-burung yang lain dari yang dilarang untuk disantap tadi, seperti merak, adawa, hijowan, wuru-wuru, perkutut, traguku.
Dan lagi yang boleh disantap burung belibis, kalong. Inilah yang pertama boleh disantap: ikan sungai dan ikan laut itu semua boleh disantap, tetapi tidak ikut buaya dan ikan¬-ikan yang amat besar, yang rupanya amat menakutkan.
7a. Dan lagi yang disantap oleh sang siddhanta yang melaksanakan brata yang suci ialah kalau (santapan itu) sedang dikerjakan dihinggapi oleh lalat, nyamuk, kutu busuk, agas, tuma, kapinjal, catak-catak, limpit, tengu, yang demikian itu cemar adanya, tidak benar itu disantap.
Dan lagi sang siddhanta janganlah menyantap surudan, segala jenis caru, serta tidak menyantap sesuatu yang ditutupi oleh segala sesuatu yang cemar, pun pula yang disentuh oleh sesuatu yang kotor, dan juga yang telah dimakan anjing, dimakan ayam, pun pula dibawa terbang, yang dimakan babi, dan jangan menyantap segala yang diragukan akan kecemaran atau kesuciannya.
Janganlah mengawali menyantap seperti menyantap sisa-sisa makanan orang sudra, segala macam orang yang dipandang hina. Itu dilarang. Adapun kalau menyantap apa yang dilarang oleh ajaran Wratisasana, sang pandita yang demikian itu adalah panten, tidak dianggap pendeta, bila menyantap sembarangan dan apeya-peya. Apeya-peya artinya minum minuman yang terlarang seperti nira, waragang, badyag, nira aren, nira budur, itu semua tidak diminum oleh sang siddhanta yang melaksanakan brata yang suci.
7b. Adapun minumannya yaitu yang boleh diminum oleh sang siddhanta yang melaksanakan brata ialah berem, kilang, madu, tampo, berem cina. Itu semua boleh ia minum, tetapi kalau bejananya kotor, bekas dijadikan tempat nira, tidak boleh ia minum, karena telah bersentuhan dengan yang cemar. Yang akhirnya ia mengetahui bahwa itu cemar, maka kemudian ia melaksanakan prayascitta, memohon prayascitta pada gurunya. Kalau ia enggan melaksanakan prayascitta, maka yang demikian itu ia adalah panten.
Kalau karena bingung, congkak, mabuk ia menyantap yang cemar, tidak karena tidak tahunya, maka ia adalah panten. Itu tidak boleh akan ditinggalkan oleh sang pandita, lebih-lebih diajak bercakap-cakap oleh sesama (pandita). Karena itu sang pandita hendaknya berhati-¬hati mengemban aturan siddhanta supaya satya bratanya menjadi tangguh. Ia akan berpulang ke alam tertinggi bila kokoh dalam langkah itu, itulah yamabrata yang ketiga.
Sikha jihva sivadvaram strisutaih sudra balakaih
Savakavyam na bhaksyam ca savasangsparsanam bhavet
8a. Dan lagi sang siddhanta yang sangat pandai mengendalikan diri yang melaksanakan brata yang suci, prucut dan lidahnya dan ubun-ubunnya janganlah dibawahi oleh apapun yang dipandang tidak suci, digapai oleh wanita sedang datang bulan, dan orang kelahiran sudra, seperti orang candala karena yang tiga itu semua tanda yang utama bagi orang siddhanta yang melaksanakan brata yang suci. Dan janganlah ia menyantap caru orang meninggal, dan segala macam sesajen orang meninggal. Ia tidak boleh didekati orang meninggal, apalagi kalau dibenturkan pada segala perlengkapan jenazah, janganlah sang siddhanta demikian.
Misalnya pula bila menemukan kain sesajen pada jenazah dan bekalnya, campuran perlengkapan (?) orang mati, semuanya itu ia tidak boleh memakai. Dan lagi, demikian buku menyebutkan, ia tidak boleh berurusan dengan proses hukum. Tetapi ia boleh juga berurusan dengan proses hukum, apa tujuannya berurusan dengan proses hukum? Bila bertujuan untuk mempertahankan hak milik dari leluhur dahulu, hak milik berupa warisan tanah, tetapi dalam hal yang demikian itu hendaknya berdasarkan petunjuk kearifan kejujuran, maka sang wiku boleh berurusan dengan proses hukum.
Janganlah berprilaku dusta sebab kalau ia diam sama sekali terhadap serangan orang yang dengan kasar mengambil hak milik 
8b. warisan dari orang tuanya, tentu akan hilang diambil orang lain hak milik warisannya itu, itulah sebabnya ia boleh berurusan dengan proses hukum. Dan lagi bila bertujuan melindungi istrinya, putranya segala miliknya, untuk penjagaan upacaranya, dan milik gurunya, penjagaan istri dan rumah tangga guru sampai pada putra-putrinya, berurusanlah ia dengan proses hukum, jujur berkata sebagaimana adanya tugas-tugas yang mendatangkan kerahayuan, maka la boleh berurusan dengan proses hukum.
Sang wiku berurusan dengan hukum karena pihutang dagangan, maka hal itu bukanlah pekerjaannya, karena bukan pekerjaan sang wiku berjual beli itu.
Berpihutanglah ia berjual beli pekerjaannya maka ia harus berhati-hati, tidak boleh membungakan uang, melipatgandakan bungan uang, mengetahui tentang proses berjual beli dan hal ikhwal pihutang, sehingga ia tidak bingung, akan usaha berjual beli dan  berhutang karena susah orang yang dapat diberi pihutang olehnya.
Karena itu hendaknya diingat janganlah sang wiku melaksanakan pekerjaan
 9a. berhutang- pihutang, janganlah berjual- beli, apalagi mencuri, mencopet, mencuri pada siang hari, merampok pada malam hari, merampok segala jenis pekerjaan yang tidak luhur, ia penten kalau demikian.
Jika sekiranya ia mencuri kerbau, sapi, babi, anjing, kambing, banyak, itik, ayam, segala jenis binatang ternak dicuri olehnya pada waktu siang hari hendaknya ia disangaskara lagi.
hendaknya hentikanlah sifatmu yang demikian itu.
Adapun bila tidak meng¬hentikannya panten, hilang kapanditannya.
Adapun usaha sang wiku, bila ia kekurangan dalam perjalanannya ke tempat jauh, ia tidak berdosa, mentimun 20, baligo 1, padi samusti graha yaitu segenggam untaian bulirnya, sayur mayur sepantasnya, nangka 1, timbul 5, demikian pula sentul, semua buah-buahan yang dipetiknya, jangan banyak-banyak. Bila pondok jauh tempatnya, rumah tidak tempat tinggal orang yang menanam padi gaga dan bersawah, bolehlah ia makan seperlunya saja, yang demikian itu ia tidak dikatakan orang mencuri.
Adapun kalau membawa sampai berat yang demikian itu mencuri namanya, patut direbut kembali oleh yang memiliki- 
9b. tanam¬-tanaman itu, janganlah sang pandita/wiku mengambil sesuatu bila tidak berjanji dengan pemilik tanam tanaman itu, bila tidak ada ijin, tentu papa yang akan didapatinya, lebih baik kalau merebut kembali sehingga hilang papanya.
Tetapi bila ada orang yang menunggui pondok itu, apakah dekat atau jauh, sepatutnya meminta kepada yang memilikinya, seberapapun pemberiannya hendaknya ia terima dengan tulus hati jangan marah, tentu tidak akan mendapatkan papa, sehingga dikuasailah asteya brata, brata kelima yamabrata.
Adapun yang disebut krodha akan diuraikan sekarang, karena tidak ada musuh seperti krodha itu. Ada slokanya, demikian bunyinya.
Nasti vidya samam mitram nasty krodha samo ripu
 Na capatya samah sneho na ca daivat param balam
 Nasti vidya samam mitram
Artinya, tidak sahabat menyamai pengetahuan, karena selalu menjadi sahabat apa yang diajarkan oleh pengetahuan itu, karena pengetahuan itu tidak pernah usang, yang mengingatkan orang agar benar-benar ia diulang-ulang untuk dikuasai. Nasti krodha samo ripuh, tidak musuh seperti marah, karena yang disebut musuh bila galak harus dijauhi, dan kalau gusar, bagaimanapun caranya menjauhinya, karena
10a. berada di dalam hati, setiap usaha akan digagalkan olehnya, kalau tidak dikendalikan oleh dia yang tahu menghindarinya. Apa bahayanya? Kesejahteraan akan menghilang, masa muda lenyap olehnya. Nasti apatya samah snehah, tidak ada kasih sayang seperti kasih sayang terhadap anak. Na ca daivat pararm balam, tidak ada kekuatan selain nasib, sebab nasib yang unggul.
Demikianlah arti ucapan sloka itu. Kembali pada krodha yang disebutkan tadi, tentang sang pandita/wiku yang mengetahui bahaya, marahmu, yang tidak dihilangkan, menyebabkan tidak didapat brata akrodha, itulah niyamabrata yang pertama. Adapun gurususrusa hendak dibicarakan sekarang: yaitu selalu tidak jauh dari kaki sang guru, agar supaya ia berkenan mengajarkan aturan pandita/sang wiku, agar tidak menemukan jalan samping, karena kalau kurang pelajaran sang pandita/sang wiku dari Guru Nabe, tidak memuaskan pengetahuan¬nya, tentang apa yang harus dihindari yang harus dikerjakan, tentang pancasiksa, dasasila, lebih-lebih tentang makna petunjuk untuk berbuat, jalan menuju kebahagiaan dunia dan kebahagiaan tertinggi, itulah sebabnya laksanakan kagurususrusan itu oleh sang pandita/wiku, demikianlah dari Sanghyang Niyamabrata yang kedua.
10b. Adapun sauca itu ialah selalu memuja Bhatara Siwa, entah apa jenis pemujaan kesucian mukamu terhadap Bhatara Siwaditya/Sanghyang Rawi, melaksanakan kebhaktian terhadap Bhatara Surya, melaksanakan pemusatan pikiran kepada Bhatara Siwa, memakai abu suci melaksanakan japa, syukur kalau mengetahui tata pelaksanaan bersuci.
Demikianlah dari Sanghyang Niyamabrata yang ketiga.
Aharalaghawa artinya puas dengan segala yang dimakan, sebab kalau hanya bernafsu saja sang pandita/wiku pada makanan, asyik pada rasa enak, menyerah pada kehendak hati, tentu akan berakhir dengan memilih-milih makan yang tidak pantas di makan.
Itulah sebabnya usahakan memanfaatkan Aharalaghawa itu, demikian niyamabrata yang keempat.
Apramada artinya tidak lalai, ingat akan nasehat sang guru nabe yang patut dilaksanakan. Apa misalnya? Inilah! Siwarccana, adhyaya, adhyapaka, swadhyaya, brata dhyana, yoga. Siwarccana artinya orang yang tahu pranawa yang terang yang tidak menyimpang dalam pemujaan terhadap bhatara. Adhyaya artinya orang yang mempelajari bermacam-macam pengetahuan. Adhyapaka artinya orang yang mengajar sisyanya/nanaknya mempelajari semua bermacam-¬macam pengetahuan. Swadhyaya artinya merafalkan bermacam-
11a. macam pengetahuan yang didapatinya dari belajar pada guru nabe. Brata artinya melaksanakan brata berpuasa dan sejenisnya. Dhyana artinya orang yang membayangkan bhatara yaitu dewa yang gaib diproses dalam pikiran dan dipuja. Yoga artinya pengatur prana melaksanakan samadhi dan paham akan tuntunan suci sebagai jalan untuk menemukan kelepasan tujuannya, itulah sebabnya hal itu dilakukan oleh sang pandita/wiku.
Ada orang yang ingin agar dianggap pandita/wiku melaksanakan penyucian diri, enggan menulis, enggan membaca, enggan belajar, enggan mengajar, enggan bertanya, tidak ada kesangsian hatinya pada bermacam-macam pengetahuan, lalinya luar biasa pada realisasi dharma.
Dan bila bepergian setiap tujuan yang ia datangi tidak mendatangi rumah orang memotong hewan, mencuri, amorong-morong (?), bondan, dubak, setiap yang dilarang untuk tidak didatangi rumahnya.
Dan.lagi tidak duduk di tempat judi, walaupun tidak ada penjudi, tidak didatangi juga oleh sang pandita/wiku, jika ditimpa hujan, bila kepanasan, panten ia, bila datang ke sana.

11b. Adapun bila ada balai tempat berjudi, tidak ada arena dan tikarnya, sebenarnya tidak sungguh-sungguh tempat berjudi, tidak tetap dipakai tempat berjudi, ia tidak berdosa bila berteduh di sana, bila tidak dapat menghindari hujan dan panas.
Adapun kalau ada arena dan tikarnya, ia akan panten bila datang ke sana, lebih-lebih bila di sana ada penjudi.
Dan lagi, janganlah sang pandita/wiku berteduh di tempat berjualan setiap tempat berjualan. Dan kalau tempat berjualan orang kelahiran candala, di sana ia memanfaatkan waktu ketika hujan, kepanasan, ia tidak boleh berhenti di sana. Demikianlah ucapan sastra ini slokanya.
Surasut krmidabasca pranaghnah kumbhakaraka
Dhatudagdha ca pancaite candalah parikirttitah 
Dan lagi terutama candala, lima banyaknya, tidak patut didatangi tempatnya berjualan dan berhenti di sana.
Manakah candala yang lima itu? Orang yang menjual tuak, tukang cuci, jagal, orang yang membuat periuk, orang yang menjadi pandai emas, itulah yang lima hendaknya tempatnya berjualan, 
12a. lebih-lebih rumahnya supaya sang pandita/wiku tidak berhenti di sana, karena itu lebih unggul dari delapan belas candala, dan tidak membalas kata-katanya kalau kasar, sebaiknya jauhkan saja bila ia marah, maka itu hendaknya sang pandita/wiku ingat akan apa yang harus dihindari dan apa yang harus dikerjakan, itulah apramada namanya, dari Sanghyang Niyamabrata yang kelima.
Ada pandita/wiku yang merenungkan intisari yama-niyamabrata dengan baik dari kecil tidak menyimpang dari prilaku yang benar, sopan santun yang baik, selalu dekat pada kaki nabe/guru kerokhanian, telah selesai menerima pelajaran, tidak ada prilakunya melanggar kesusilaan, tetapi terus-menerus menyiapkan kelepasan, berpegang pada petunjuk¬-petunjuk nabe/guru pengajar kerokhanian, tekun melatih berulang-ulang pengajaran nabe/guru kerohanian, petunjuk¬petunjuk umum (?) dan lain-¬lainnya, yang tak pernah putus¬-putus melaksanakan surya sewana, memuja Bhatara dan tekun pada pekerjaan, terutama pemusatan pikiran pada Bhatara Siwa, tata tertib pemujaan yang benar, pemujaan lingga, pancabalikarma, homa widhi, upacara untuk jenazah, tila murti (konsep tri  murti?), tata tertib diksa, makna petunjuk-petunjuk yang utama, yang hendak dicapai oleh sang Mahayogi/Mahapandita, ia yang demikian itu mampu menghilangkan cemarnya orang banyak, apalagi cemarnya keluarga, ia itulah patut dijadikan guru nabe, boleh- 
12b melaksanakan diksa walaupun umurnya belum genap enam puluh tahun.
Ada orang tidak memperhatikan pelaksanaan petunjuk-petunjuk guru nabe, bingung karena perbuatannya demikian, maka ia tidak patut didiksa, walaupun umurnya sudah cukup, karena tidak boleh menggampangkan pelaksanaan tata-tertib diksa, sebab kalau sang pandita/wiku tidak berhati-hati pada pelaksanaan tata-tertib diksa, tidak akan bagus pengetahuannya tentang inti sarinya, lawo-lawo (?) lebih-lebih salah menanggapi, tidak mengerti tentang masalah tata-tertib diksa, tidak tahu jalan terakhir, dan yang hendak dituju oleh Mahayogi yang agung, ia (yang demikian itu) lalu melaksanakan diksa, karena inginnya dipandang hebat, dan inginnya supaya, disanjung orang, maka ia yang demikian itu adalah dalam kesesatan untuk mendapatkan kehebatan dan sanjungan orang.
Janganlah sang pandita/wiku demikian itu, (karena hal itu) sebaliknya jalanmu untuk dihina, lalu mendapatkan petaka yang besar, karena menyimpan dari prilaku  yang tepat. Adapun yang harus dilaksanakan oleh orang yang pantas mediksa orang, ialah ia benar-benar mengetahui peraturan diksa, dikuasai olehnya persiapan mengenai jalan terakhir, dan banyak pengetahuannya tentang upadesa (tuntunan hidup) dari Sanghyang Upadesa. Tak henti¬-hentinya melatih penerapan nyasa,
 
13a. benar-benar tekun akan puja, japa, homa, yoga, samadhi, tidak pernah terhalang melaksanakan surya sewana, selalu melaksanakan anusthana, paham akan yama-niyamabrata, tidak meremehkan diri pada murid, tidak kurang mengajar, tidak membiarkan kehendak hatinya, sebab kalau murid dibiarkan berlaku sekehendak hatinya, tentu murid itu akan menyimpang dari sikap sopan yang benar. Ada ucapan demikian.
Lalanad bahavo dosas tadanad bahavo gunah
Tasmad putresu sisyesu tadanam kurute Buddha
 Artinya: banyak dosa kalau lalanakna budi itu, lalana artinya mengikuti kehendak pikiran, tetapi bila menyebabkan disiplin tentu hal itu banyak gunanya, itulah sebabnya usahakan pembatasan-¬pembatasan berupa pengawasan pada nanak/murid oleh sang pandita agar semakin meningkat kecakapan dan kebajikan nanak/ murid itu, hendaknya janganlah sang pandita mengasihi yang menyebabkan lalis, mengasihi yang menyebabkan lalis artinya enggan menghukum karena sayang, karena takut tidak sesuai dengan kehendak nanak/murid, “bila hidup saja” demikian pendapat orang yang demikian, tentu akan menyengsarakan nanak.
Tatha hi kecchisavo prasksitah pituh pramada ta-
13b. thavati sauhrdat 
Vimarggayah sarvajanair vivarjita nayanti dosam pitur diryaso mahat
Artinya, anak itu, seutuhnya na siksitah tidak dilatih dari awal, pituh pramadat, karena kelalian ayah, athavati sauhrdat, atau ayah dan kakeknya terlalu berlebih-lebihan yang menyebabkan kasih sayang ayah melampaui batas, maka bila demikian telah menyimpang dari jalan yang benar, tentu saja hal itu akan membawa sengsara, karena meninggalkan prilaku yang benar, sarvajanair vivarjita, itulah sebabnya ditinggalkan oleh orang banyak, karena berprilaku tidak baik, mahat pitur diryaso nayanti, ia memikul aib ayahnya, itulah dosanya apakah dosanya maka demikian ? sebab besarnya dosa perbuatan buruk saja, ternyata dampak sifat anak ditulari oleh sifat orang tua. itulah kasih sayang yang menyebab lalis dari ayah yang demikian, ada ucapan sastra yang lain. 
Tathapi kecicehisyah parisiksitah
Pituh prayatnadathavatisauhrdat
Susilinah sarwajananghasainstutah
Gunair na yantyeva pituryaso mahat

14a. Artinya: meskipun demikian anak itu sendiri. parisiksitah, latihlah ia dari kecil, pituh prayamat, melalui kegiatan ayah mendidik anaknva, atau melalui kasih sayang ayah yang besar bila demikian anak itu, susilinah, ia akan memiliki tingkah laku yang baik, sarvajanaugha samstutah, dipuji oleh semua orang, pituryaso nayanti, dibawanya keharuman nama ayahnya, rayavastu (?) gunaih, melalui kualitas diri yang baik, demikian sesungguhnya bila demikian, itulah sebabnya janganlah sang pandita/wiku tidak membatasi dengan pengawasan dalam menjaga nanak dan murid-muridnya, agar supaya mereka tidak mendapatkan petaka, sebab bila anak sengsara karena tingkah lakunya yang buruk, lebih-lebih setelah selesai ditasbihkan yang berakhir dengan panten, tentu sang nabe akan masuk neraka bila demikian direbus di dalam kawah oleh anak buah Bhatara Yama, disebabkan oleh dosa anak, demikian pula guru nabe dalam upacara terhadap murid, lebih-¬lebih bila panten, ia akan masuk yamaloka, itulah sebabnya janganlah, sang wiku tidak berhati-hati pada setiap upacara sangaskara, amat-amatilah selama empat tahun tindak¬ tanduknya,
14b. dan tingkah lakunya, kemampuannya melaksanakan brata ‘dari’ Sanghyang Brata, dan ditunjukkan olehnya benar-benar mampu melaksanakan tugas-tugas kapanditan, dan keturunannya, janganlah tidak putra wiku, janganlah anak orang yang panten, apalagi kalau orang panten, yang ia beri sangaskara/disucikan/diksa, ia harus dihukum dari kedudukannya orang yang memberikan sangaskara/diksa demikian, jangan diijinkan bertempat tinggal di pulau Jawa, bila demikian, itulah sebabnya hati-hatilah sang wiku dalam hal yang patut untuk disangaskara/diksa olehnya, agar mendapatkan tempat yang mulia.  Bila ia memberikan sangskara pada anak, cucu, buyut, namun mereka tidak mempunyai kemampuan yang cukup dalam melaksanakan brata, apaagi tampak tidak memiliki prilaku yang baik, tetapi yang demikian disangaskara/didiksa olehnya, karena kasih sayangnya, maka yang demikian harus dijatuhi hukuman, su. (suwarna) 6, ma (masaka) 4, oleh para pandita murid Bhatara Guru, dan lagi prilaku sang pandita/wiku pada muridnya, ketika selesai oleh mengamat-amati dia yang patut disangaskara/diksa olehnya, karena sulitnya penampilan, tindak¬ tanduk dan eskspresi orang itu, kemudian yang disangaskara/diksa itu bertingkah-laku tidak benar, karena penipuan menjadi pandita/wiku, berbuat tidak benar murid itu, maka janganlah asal mengampuni, janganlah asal memecat, ingat-ingatlah sebagai guru nabe, ingat-ingatlah-
15a. sebagai istri guru, ingat-ingatlah sebagai putra guru, mengampuni yang tidak patut diampuni, janganlah demikian tidak memihak agar tidak menyimpang dari sasana yang benar, berlandaskan sastra agama, janganlah diliputi kasih sayang bila mengampuni murid, jangan diliputi oleh kegusaran, kalau memecat murid, ukurannya ialah ingat selalu pada kedudukannya sebagai pandita saja, segala tindakannya artinya selalu berpegang pada bathin yang suci.
Manakah yang tidak diampuni? mabuk dalam hidupnya, yang dipastikan panten, seperti: penganut siddhanta, minum tuak, makan-makanan yang cemar, pandita/wiku membunuh pandita/brahmana, tidur di tempat tidur guru suami istri (?) brahmahatya namanya, demikian ajaran Sanghyang Sastra, sastra suci.
Balah stri garbini gausca brahmani brahmano nrpah.
Acaryo yajamanasca tan vadhan bhrunaha smrtah
Artinya, orang yang membunuh bayi, dan bayi dalam kandungan, membunuh orang yang sedang mengandung, membunuh sapi, membunuh brahmani dan brahmana, membunuh raja terutama bekas raja, membunuh acarya diksita/pandita guru nabe, membunuh yajamana yaitu pandita kelompok pemuja, semua itu brahmahatya, membunuh brahmana pandita namanya.
15b. Adapun yang disebut bhrunahatya ialah orang yang membunuh bayi dalam kandungan, itu disebut bhrunahatya, orang yang melakukan brahmahatya akan mendapatkan pataka yang berat, amat berbahaya, hendaknya diingat oleh sang pandita/wiku, kesimpulannya janganlah sang pandita/wiku membunuh-bunuh jika terhadap orang janganlah sesama manusia, bila tidak berdosa. Patitwa artinya mengawini ibu, nenek, bibi, saudara, kemenakan, menantu, kewalon, ipar, istri paman, istri ayah mertua, istri dari saudara istri (?), besan, ibu mertua, istri kemenakan, istri menantu, istri saudara, itu semua patitwa namanya menurut ajaran agama. Guru talpaka artinya melawan istri guru, selir guru, saudara guru, keluarga guru, pun pula pelayan perempuannya, seperti menyerang, dan merampas miliknya, walaupun jauh dari guru, bila merampas milik istri dan milik guru, seperti telah diajarkan, pada saat yang demikian, tidak boleh sang guru diam saja pada tingkah laku muridnya yang salah itu, tidak dapat diampuni oleh sang guru, hendaknya dipecat olehnya, berdosa sang guru bila-
16.a  mengampuni murid yang demikian itu.
Ada wanita yang dilindungi oleh sang guru, apakah itu saudara, anak, kemenakan, keluarga, abdi perempuan, bila ada perkenan sang guru pada muridnya, diberikan pada muridnya sebagai anugerah guru, guru dan murid sama-sama setuju, murid berhak untuk menerima anugerah itu, tidak disebut guru talpaka, bila demikian prosesnya.
Ada murid salah tingkah lakunya tidak karena sengaja, tetapi karena kebodohannya, tidak terlalu besar dosanya apalagi bimbingan dari guru nabe tidak memadai, maka salah tingkah lakunya, janganlah disamakan pantennya dengan sisya/murid yang amat bejat moralnya. Murid yang demikian itu, amat keras keinginannya akan mengubah perilakunya yang salah sebelumnya, maka tak patut sang guru nabe tidak mengampuni.
Maka (murid) hendaknya menyampaikan kepuasan hatinya pada sang guru menghamparkan sepatu guru (?) dengan saksi puja widhiwidhana. Bila ia tidak menghiraukan dosanya, lebih-lebih menghina gurunya, pecatlah yang demikian itu, sempurna pantennya. Itulah yang disebut guru talpaka.

16b. Steya artinya menjadi pencuri, mencuri pada siang hari, mencopet, mengambil dengan kekerasan, merampok, merampok pada malam hari, merampas istri orang lain, menyamun, berzina, semua itu mencuri namanya.
Adapun tentang sad atatayi, enam jenisnya. Manakah itu? Inilah: menyihir dengan ilmu hitam, mengamuk, menyerang, membakar, memfitnah raja, semuanya itu sad atatayi namanya.
Semuanya itu tidak dapat diampuni oleh sang guru nabe, tidak ada prayascitta (penyucian) lagi untuk itu. Pandita yang demikian itu, gugur bratanya, menurut ajaran agama, karena dosanya hendaknya ia diikat dengan tali rotan oleh sang prabhu, karena membuat negara rusak, sang pandita/wiku yang demikian itu, bukan kelakuan sang pandita yang demikian itu. Karena itu sang guru nabe harus membimbing sisyanya/muridnya menegakkan tingkah laku yang benar, agar supaya mendapatkan keselamatan lahir batin, dengan tujuan mendapatkan alam tertinggi, berdasarkan  rahasia tertinggi pengetahuan itu.
Demikianlah prilaku sang pandita/wiku, dan juga janganlah tidak mengusahakan penyucian diri, karena demikianlah apa yang diajarkan oleh agama.
Agneyam varunam caiva brahmyam vayavyam eva ca
Manasam partthivam caiva sadvidham snanam ucyate
17a. Enam banyaknya yang disebut penyucian, menurut ajaran sang pandita, jenisnya ialah: agneya, varuna,,brahmya, vagavya, manasa, partthiva, demikianlah yang enam itu supaya diperhatikan.
Agneyam bhasmana snanain jale gahanam tu varunam
brahmyam vai mantratah snanam vayavyam tu gavam rajah
Agneya ialah penyucian dengan sarana abu suci, adapun waruna adalah (penyucian) dengan cara menyelam dalam air. Brahmya ialah penyucian dengan sarana mantra. Adapun wayawya adalah penyucian dengan sarana dengan membenamkan diri dalam air sampai kepala, karena kena pusaran debu; dari kaki sapi, yang di dapat di tanah yang suci.
Yapyam tu manasah snanam trisandhyopasanam bhaveet
purna titham rdam sparsah parthivam snanam ucyate
Adapun manasa ialah penyucian dengan sarana japa mantra, pada waktu melaksanakan puja trisandhya, adapun penyucian tanah ialah berdasarkan atas mencium tanah ditempat pemandian yang suci. Demikianlah sat snana, enam penyucian dicontohkan oleh sang pandita/wiku.
Vidya snatah parah snatasca niyamairvratai
naiva snato pravarteta na snato yadi bhasmana
17b. Artinya, ada lagi yang tanpa penyucian, hanya ilmu pengetahuan saja, yang dijadikan penyucian, berdasarkan atas kesucian pengetahuan yang dikuasainya, yang telah mantap berada dalam hatinya. Dan yang lain, ada yang menjadikan niyama brata sebagai penyucian. Dan bhasma sajalah yang utama dari semua penyucian. 
Kesakitopa samarttam ajnanena yad bhuktam ca
Bhasma kimam vacasastram bojyam anindhyam muninam
Artinya, yang dimakan bila dicampur oleh kita dan kesa, kita ialah misalnya semut, ulat, lalat, rengit dan sebagainya yaitu binatang-binatang kecil yang kotor. Kesa artinya rambut, semuanya itu tidak diketahui bercampurnya pada semua makanan disebabkan karena kecilnya, tidak berdosa sang pandita/wiku menyantap yang dicampuri olehnya, yang ia tidak ketahui, karena kesucian abu, yang disentuh dimanfaatkan oleh sang pandita/wiku dan karena ia melaksana¬kan pranayamna setiap hari. Inilah sastranya.
Pranayamair dahet dosan dharanabhisca kilbasam
Visayan pratyaharena dhyanenanis varan gunan
18a. Karena pranayama itu membakar dosa, kecenderungan pada kejahatan dibakar oleh dharana, nafsu dibakar oleh pratyahara, dhyana melenyapkan kualitas yang tidak unggul, inilah yang hendaknya diketahui oleh sang pandita/wiku, demikian ajaran agama.
Dhrtih ksama damo steyam saucam indriyaningrahah
hrir vidya satyam akrodho dasakam dhama laksanam
Dhreti artinya sucinya pikiran, ksama artinya kesabaran, dama artinya teguh budi, asteya artinya tidak mencuri, sauca artinya membersihkan diri dengan bhasma, mandi dan sebagainya, indryanigraha artinya mengekang hawa nafsu, hri artinya malu, vidya artinya belajar, satya artinya tidak berbohong, akrodha artinya tidak disusupi kemarahan, semuanya itu dasa dharma namanya.
Saucam ijya tapo danam svadhyayopastha nigrahah
vratopavasa maunam ca snanam ca niyama dasa
Sauca artinya selalu bersuci membersihkan diri, ijya artinya selalu memuji, tapa artinya mengendalikan badan/indra, dana artinya memberi, swadhyaya artinya mengungkapkan segala yang didapat dari belajar, upasthanigraha artinya mengurangi nafsu asmara, brata artinya tidak makan daging dan sebagainya, upawasa-

18b. artinya tidak makan, mauna artinya tidak berkata-kata, snana artinya selalu membersihkan diri dengan mandi, semuanya itu sepuluh banyaknnya disebut dasa niyama. 
Anrsamsyam ksama satyam ahimsa dama arjavam
Dhyanam prasado madhuryam mrduta ca yama dasa
Anresangsya artinya tidak mengharapkan pujian, ksama artinya senang dan sabar, satya artinya tidak berbohong, ahingsa artinya tidak membunuh-bunuh, dama artinya kuatnya budi, sarjjawa artinya lurus hati, dhyana artinya membayangkan wujud bhatara, prasada artinya kasih sayang, madhuryya artinya berkata lembut dan berwajah manis, mreduta artinya menampakkan diri lemah lembut, itu semua sepuluh banyaknya, itulah yang disebut yama.
Dasa sthanani dharmasya ye pathanti dvijatayah
Adhityah canuvartante te yanti paramam gatim
Artinya, ada pandita yang meresapkan dalam hati, kedudukan sepuluh dharma itu, dipelajarinya, lalu diikutinya sepuluh dharma itu, maka ia menemukan jalan yang mulia untuk sampai pada Sanghyang Kabhujanggan ‘kepanditan’ demikianlah yang diajarkan oleh Bhatara Maheswara, patut dipahami.
19a. Satyam vratam tapo vapi tat sarvam nisprayojanam
Jnana tusta nihsprhesu santa jivita satmakam 
Artinya, brata yang patut dilaksanakan banyak jenisnya, setiap brata yang engkau kehendaki (seperti) puspasattwika yaitu tidak jemu-¬jemunya memuja, jagrasattwika yaitu senang tidak tidur, jnanasattwika yaitu tidak jemu jemunya mempersembahkan puji-pujian, apalagi kalau memahami kayogiswaran dan tapa, kasatyan (ketenangan) namanya tapa brata itu semua, janganlah hasilnya diharap-¬harapkan, senang hatinya saja usahakan waktu sedang melaksanakan tapa brata, selama hidupmu.
Adapun mereka yang mengingini hasil tapa bratanya, mereka yang demikian papa namanya, demikian ajaran Bhatara Maheswara, hendaknya diperhatikan dengan sungguh¬-sungguh. Ini ajaran Bhatara Sangkara supaya diingat.
Yatha bhaskara candrayoraho naktam samam dyutih
Tadvad gamanam bhiksosca hrdayam na vivarjitam
Artinya, sikap tidak memihak, itulah hendaknya sikapmu oh pandita/wiku, inilah engkau dapat saksikan: seperti halnya matahari dan bulan menyinari dunia ini semua, segala jenis tumbuh-tumbuhan, binatang, yang terkecil, menengah dan besar, baik buruk, suka-duka, suci cemar, busuk atau wangi, 

19b. semuanya disinari olehnya, disentuh badannya dengan tidak membeda-bedakan, seperti itulah sikapmu wahai pandita/wiku. Janganlah mengaku pandai, dan mengaku memiliki semua kualitas yang baik, janganlah dibuat lengah oleh triguna-mala yaitu sattwa, rajah, tamah. Demikianlah sabda Bhatara Sangkara, hendaknya diperhatikan sungguh-sungguh. Ini ajaran Bhatara Sambhu hendaknya diingat. 
Avahyam upakaranam klesam purisam evaca
bhasma suram ca bhaksyam ca tat (?) krtva yati (?) patakam
Artinya, janganlah tidak memperhatikan peralatan suci seperti bhasma (abu suci), daluwang (ketu ?), ganitri (tasbih) sangkha (terompet kulit kerang), ambulungan (sabuk). Janganlah peralatan suci itu dibawa waktu berak, waktu kencing atau di tempat minum tuak, agar tidak menyebabkan papa besar.
Demikian sabda Bhatara Sambhu, supaya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Ini ajaran bhatara Rudra hendaknya diperhatikan.
Ahimsa brahmacaryam ca satyam avyavaharikam
Astainyam iti pancaite yama rudrena bhasitah
Artinya, ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh semua makhluk, apalagi manusia, berkata yang tidak benar, bermaksud jahat pada orang lain, itu dilarang bila demikian yang demikian itu janganlah engkau lakukan wahai pandita/wiku.
Dan engkau brahmacarya, brahmacari-
20a. artinya tidak jemu-¬jemu merafalkan mantra Om Sa Ba Ta A I, inilah kebrahmacaryan namanya.
Tiga macamnya brahmacari itu, manakah?  kresna Brahmacari, sawala brahmacari, sukla brahmacari. Demikian jenisnya ada tiga. Kresna brahmacari artinya kawin sekali saja, istrinya meninggal, ia tidak pernah menyatakan kawin lagi, dilaksanakannya dhyana, yoga, japa, samadhi, itulah yang disebut kresna brahmacari. Sawala brahmacari artinya mempunyai anak, kawin dua kali, tiga kali, tetapi tidak melakukan hubungan seksual bila waktu bulan ketiga, kesembilan, dan parwani (sehari sebelum Tilem/bulam mati),
20b.  apalagi waktu istrinya datang bulan, hanya yoga, tapa, japa, samadhi yang ia lakukan pada waktu yang demikian, itulah yang disebut sawala brahmacari. Adapun yang disebut sukla brahmacari benar-benar tidak tersentuh wanita sejak kecil, bukan karena lemah syahwat (?) tidak mengalami ereksi (?) dan tidak berdua-duaan di tempat sepi dengan orang perempuan, meskipun ibu sekalipun dan saudara, pun pula teman, tidak memusatkan pandangan pada orang perempuan dan juga bersenda gurau, tetapi hanya dhyana, yoga, samadhi yang dilaksanakannya, itu sukla brahmacari namanya puncak kebrahmacaryyan itu. Satyam, hendaknya engkau jujur, tidak berbohong dalam pikiran, dalam kata-kata, dalam tindakan dalam brata, apa yang dinasehatkan oleh orang tua/guru nabe hendaknya dipatuhi. Avyavaharikam, hendaknya engkau tidak terlibat dalam perdagangan, demikianlah engkau wahai pandita/wiku, tidak berjual-beli. Berpribadi yang baik yang tidak berdosa.
Asteyam, hendaknya engkau tidak mencuri, inilah jenis pencuri.
Karta karayita bhokta nirdest sthanadesakah
Trata jnata ca astacauravidhah smrtah
Artinya, jenis pencuri itu banyaknya delapan yaitu mengambil, memberi petunjuk, memberikan makan, memberikan tempat tinggal, membantu, memberitahu pencuri, menyembunyikan, demikianlah yang disebut asta corah.
Itulah yang disebut yama brata, sabda Bhatara Rudra hendaknya diingat sungguh-sungguh. Ini ajaran Bhatara Siwa hendaknya diperhatikan.
Akrodho gurususrusa saucam aharalaghavam
Apramadasca pancaite niyamah siva bhasitah
Artinya, hendaknya engkau tidak marah, tidak menuruti nafsu galak dalam wajah, jangan lancang mulut, janganlah lancang tangan.
Gurususrusa artinya bhakti kepada guru, yang dinamakan guru, jenisnya. 
21a.Vayavrddhastapovrddho jnanavrddha iti smrtah
Manakah itu? vayovrddhah artinya orang tua karena umur seperti ayah ibu, guru, apalagi yang menyucikan, orang yang memberi petunjuk-petunjuk, tapovrddhah, artinya orang tua dalam tapa brata, jnanavrddha artinya orang tua dalam ilmu pengetahuan, kesimpulannya hendaknya hormat kepada orang yang disebut tua, dan engkau masih muda, yang demikian itu bhakti kepada guru namanya. Sauca artinya selalu menyucikan diri, senang mandi, selalu berhias, tidak jemu-jemunya memuja Bhatara Surya, memakai bhasma candana, dan air pembasuh yaitu air suci Siwa. mantra penyucian Om Sa Ba Ta A I.
Aharalaghava artinya makan dengan cepat tidak terlalu doyan pada yang enak-enak, janganlah asyik pada kenikmatan apa dimakan, yang didapat dari daging segala mahluk, tetapi hendaknya engkau selalu puas. Apramada artinya acuh tak acuh pada apa yang engkau kerjakan, lebih-lebih apa yang engkau diperintahkan oleh guru nabe. Demikianlah namanva niyama brata sabda Bhatara Siwa demikian. Yama niyama brata itu sepuluh jumlahnva. Itu kemudian dasasila namanya.
Yajnopavitam pratibandhakaram bhuvisyad bhasma pracan

21b. do da hano narake yathatra
 Sadyah ganitri ganane sata dosa dando yo yo hi gopayati paspatam na silam 
Artinya, pandita/wiku yang tidak memperhatikan pancasiksa, dasasila, apalagi perlengkapan suci Siwa, tentu menjatuhkan dirinya di kawah, manakah jenis perlengkapan suci Siwa yang dijadikan busana wiku itu? yajria sutra yaitu benang untuk selempang, abu suci, ganitri, ikat pinggang, benang untuk selempang akan menjadi dari rotan, pengikat badanmu di sana, di Yamaloka bila budi baik tidak dimiliki olehmu, namun bila budi baik engkau miliki akan merupakan jalanmu tiba di sorga Bhatara Isa, demikian juga abu suci sang pandita/wiku, akan menjadi api sebesar gunung membakar badanmu di Yamaloka, bila budi baik tidak engkau miliki, tetapi bila budi baik engkau miliki akan merupakan cahayamu selalu siang pada setiap perjalananmu, demikian pula genitri, sebagai genitri sang pandita/wiku menjadi kalakarta sebagai bagian dosamu, berapa lamanya dihitung berlaku? seratus tahun kalakarta pada setiap butir biji, kalau engkau tidak memiliki budi yang baik, tetapi bila budi baik yang engkau miliki, maka ia menjadi- 
22a permata sebesar gunung, mengeluarkan bermacam-macam pahala yang selalu dapat dinikmati.
Itulah alat perlengkapan sang wiku, yang menghasilkan sorga dan kelepasan,  bila budi baik engkau miliki, tetapi bila budi baik engkau tidak miliki, engkau akan menjelma menjadi sapi, kerbau, anjing, babi yang berbelang-belang para lehernya selalu dikurung dalam kurungan. Itulah sebabnya janganlah tidak mematuhi kata-kata sang guru nabe, karena sang guru nabe benar-benar memberikan ajaran yang tepat, Karena itu aku minta padamu mempersembahkan balas jasa pada guru nabe, agar supaya tidak serampangan pada tindakan sehingga engkau sejahtera dengan Aku.
Demikian sabda Bhatara Pasupati, perhatikan dengan sungguh-sungguh dan dengarkan ucapan sastra suci ini.
Krodho lobhasca mohasca rago dvesa iti smrtah
Samsthita ri pavah sarve svasarire tu pancamah
Artinya,  musuh yang berada pada diri orang lima banyaknya. Manakah jenisnya? Inilah urutan musuh yang lima itu: marah, loba, bingung, nafsu, benci, demikian jenis lima musuh dalam diri, hendaknya diingat wahai sang pandita/wiku, kemudian bertambah lagi sembilan, maka itu menjadi empat belas.
Kalusa dhurta murkhat krauryam ninda ca dambhasca
Mithya cersya ca himsa ca sarve panca caturdasa

22a. Artinya, bertambah sembilan maka menjadi empat belas. Manakah yang sembilan itu? Kalusa: tidak suci, dhurta: curang, murkha: sombong, krura: kejam, ninda: suka mencela, dambha: tamak, bohong, irsya: iri hati, hingsa: membunuh. Itulah genap empat belas, tidak jauh dari diri sendiri tempatnya, karena itu patut itu semua supaya ditinggalkan oleh sang pandita/wiku. Janganlah ia lengah menilai tingkah lakunya.
Ada ucap sastra suci hendaknya diingat oleh sang pandita/wiku.
Stri pana dyuta saktavam mrgayahvana saktata 
Nidra giri grha sunya asana jala saktata/
Strisakta artinya senang dengan sanggama, pana sakta artinya asyik minum tuak, dyuta sakta artinya senang pada taruhan semua jenis judi, mrgaya sakta artinya senang berburu, ahwana sakta artinva senang mengundang segala jenis tontonan, nidra sakta artinya senang tidur, giri sakta artinya senang pada keindahan gunung, grehasakta artinya senang pada keindahan rumah, sunya sakta artinya senang kenikmatan kesunyian, asana sakta artinya senang makan yang enak-enak, jala sakta artinya senang dengan keindahan air seperti sumber mata air, telaga, pancuran, sungai, Narmada, Gangga, Sarayu, laut, segala jenis sungai yang indah. semua itu dipandang musuh sang yogiswara, semua objek kesenangan-
23a. dunia. Itulah sebabnya janganlah sang pandita/wiku terpikat senang pada objek kesenangan agar memperoleh keyogiswaran dan lagi semua tingkah lakumu. Wahai pan dita/wiku, jika engkau ingin menemukan alam Sanghyang Isa, hendaknya itu berdasarkan pengetahuan, tentu akan engkau dapatkan alam Siwa, bila engkau mengerti dengan baik pengetahuan niskala.
Adapun bila tidak tercapai alam sunya olehmu, ketika engkau meninggal, maka pada waktu itu engkau akan menjelma menjadi manusia, bagaimana jenis penjelmaanmu menjadi manusia?
Bhuya satkulam rupam sila vibhvah sriman tapasvi puman
Vidyaparago meghavi subhamatih punyah ksama dhairyavan
Tyagi bhagyabhogi  dano krtayasa dharmah sa samraksakah
Yogi niskalo janmani trisamayad isa laya vyaptaye
Artinya, Sang Yogi bila alam Siwa tidak tercapai olehnya, tetapi walaupun demikian tidak boleh tidak berpahala yoganya, homanya dan sebagainya, menjelmalah ia disebabkan oleh pengetahuannya tentang trisamaya. Bagaimanakah penjelmaannya sebagai manusia? Perbhawanya besar di dunia, terutama keluarganya, dan berwajah baik, susila, diberkati dengan kebahagiaan, berwibawa, karena ia tapaswi, demikianlah keadaan sang purusa yakni orang unggul menguasai ilmu pengetahuan, tahu mengkaji semua sastra, medhavi, sadar, guna mati, baik budi, punya, penuh kebajikan, berpribadi suci, tidak memiliki kegoncangan, 
23b. ksama: bersifat sabar, shairya: amat pemberani, tyagi: tidak sayang pada milik dan jiwanya, bhagya: mendapatkan segala kebahagiaan di dunia, diberkahi kesenangan selama hidup. Dhani: ia itu kaya emas dan perak. Kretayasa: besar jasanya, dharma ia itu, tahu dharma yang baik, suraksa ia itu, menjaga masyarakat semua, sakhya, tahu menyikapi teman, tidak perlu disebut keluarga, dan bila ada orang yang demikian itu, dirinya bila meninggal akan kembali ke alam Rudra karena ia melaksanakan keyogiswaran, yang sebenarnya ia sungguh sungguh Sanghyang Rudra orang yang demikian itu. Ya itulah mahapurusa, manusia unggul namanya. 
Demikianlah Wratisasana janganlah tidak diketahui, oleh sang pandita/wiku yang mengharapkan mengetahui pancasiksa, dasasila. Demikianlah prilaku sang pandita/wiku: janganlah menyembah sembarangan, 
24a. janganlah memasuki sesuatu sembarangan, janganlah duduk sembarangan, janganlah selalu memahaminya sesuatu kalau sedang panas, janganlah selalu memahaminya sesuatu kalau sedang kehujanan, janganlah selalu memahaminya sesuatu waktu lapar, jangan selalu memahaminya sesuatu kalau sedang letih, pilih--pilihlah makanan itu, pilih-¬pilihlah minuman itu, pilih-¬pilihlah tempat duduk itu ketika berhenti untuk beristirahat, janganlah tidak tahu menaruh perhatian pada kesempatan yang baik. Demikianlah perilaku sang pandita/wiku, akan pengetahuannya kalau ia keturunan Brahmana, kemudian ada ucapan sastra.
Ye vyatitah svakarmabhyah parakarmo pajivinah
Dvijatvam avajananto viprah sudravadacaram
Artinya, orang yang mundur dari kewajibannya, mencari nafkah, makan dengan melakukan pekerjaan orang lain, seperti halnya sang brahmana, wujud brahmana sebagai kelahirannya, benar-benar dwijati, ia ikut pada pekerjaan sudra, sebagai sumber hidupnya, bila demikian, hilang kapanditaannya/kependetaannya. Bila ada pandita/wiku demikian sudravat sama ia dengan sudra yang hina karena berlaku seperti sudra. Hal itu janganlah tidak diketahui oleh orang yang hendak- 
24b. menasbihkan seorang pandita/wiku, ajarkanlah terlebih dahulu orang yang ingin didiksa. Bila tidak sanggup melaksanakan ajaran kelepasan Wratisasana yang suci itu, urungkanlah upacara diksa itu, Bila ada orang mendiksa orang yang demikian, ia akan didenda oleh sesama yang telah didiksa, sawarna 3 masaka, 2. Bila ia mengetahui Sanghyang Wratisasana yang suci itu, namun tidak disampaikan pada yang didiksa, ia denda suwarna 1, masaka 4. Setelah para panditaku semua mengetahui, hendaknya berhati- ¬hati. Demikianlah Wratisasana. Selesai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar