Rabu, 15 Januari 2020

MAKNA KEBERADAAN PETILASAN TRAH KYAYI I GUSTI AGUNG JRO KETUT DALANG TANGSUB(DALEM TANGSUB)KI YAI I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL AAN MANUABA BANGKASA

MAKNA KEBERADAAN 
PETILASAN TRAH KYAYI I GUSTI AGUNG JRO KETUT DALANG TANGSUB
(DALEM TANGSUB)
KI YAI I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL AAN MANUABA BANGKASA

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba (Tubaba)
Griyang Bang 
Rangdilangit



RANGDILANGIT/BANGKASA

Menyambut Piodalan Petilasan Kyayi I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tagsub (DALEM TANGSUB) yang kali ini jatuh pada tanggal 26 September 2018, atau pada hari Buda Cemeng Kelawu, ada hal penting yang mengetuk hati penulis untuk mengungkap makna keberadaan petilasan ini dari sisi “Bhakti pada Leluhur”
Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub melalui purana Pasek Bangkasa dan sejak diterimanya petunjuk oleh Ida Bhatara Hyang Sinuhun (Almarhum), yang diceritakan pada penulis dan pengembangan selanjutnya yang dipelopori Ida Pandita Mpu Nabe Siwa Putra Prama Daksa Manuaba (Dipugar secara besar th. 2012 akhir).
Petilasan ini sendiri berada di Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung Propinsi Bali. Merupakan sebuah desa kecil di wilayah hutan Teguhwana. Nama “RS Tagsub” adalah nama  kediaman beliau yang sudah dipakai sejak dulu. Nama ini relevan dengan Kyayi I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub sendiri yang merupakan “Trah Pasek Manuaba Pinaka Warih Brahmana Manuaba” merupakan sanak keturunannya dikenal dengan “Warga Pasek “ (Pasek, Bendesa,Tangkas). 
untuk lebih jelas baca KISAH KI DALANG TANGSUB (DALEM TANGSUB) sebagai pencetus desa Bongkasa (rangdilangit/bangkasa di teguhwana)

Dapatlah diceritakan bahwa Ki Dalang Tangsub atau lebih dikenal dengan nama Ketut Tangsub atau Ketut Bongkling. Beliau adalah seorang Pujangga, yang merupakan anak keempat dari I Gede Bawa, lahir di Br. Tengah Desa Manuaba Tegalalang Kabupaten Gianyar. Pada masa hidupnya I Gede Bawa bersama anaknya I Ketut Tangsub tekun, giat bekerja dan belajar, sehingga memiliki kepintaran dan kesaktian yang luar biasa, oleh sebab itulah  Ida Pedanda Sakti Manuaba memanggil I Ketut Tangsub dan diberikan kepercayaan penuh untuk mendampingi Ida Bhatara Sakti kemana saja. I Ketut Tangsub juga diperbolehkan  untuk memperlajari Weda, Tattwa Kediatmikan, Usada dan Darma Pawayangan.
Lebih kurang pada tahun 1825 M, I Ketut Tangsub disiasati oleh anak-anak Ida Pedanda Sakti yang iri melihat kedekatan I Ketut Tangsub dengan berbagai  anugrah yang diberikan oleh Ida Pedanda Sakti. Agar tidak lagi dekat bersama Ida Pedanda Sakti, anak-anak dari Ida Pedanda Sakti menyuruh Ki Ngurah Batulepang untuk menyerang I Ketut Tangsub. Desa Manuaba diduduki. Ida Peranda Sakti bersama I Ketut Tangsub mengungsi ke Desa Kuum Sembung dibawah Kerajaan Mengwi. Mengetahui semua itu ulah para anak-anak Ida Pedanda Sakti, maka dari itu beliau (Ida Pedanda Sakti) dari saat itu beliau mengutuk semua anak-anakNya sampai ke anak cucunya kelak.
Di Kisahkan I Ketut Tangsub selama ada di Desa Kuum Sembung mempunyai kebiasaan jalan-jalan di samping juga memiliki pemikiran-pemikiran yang kritis, cerdas dan tampan, beliau juga sangat lincah serta gesit dalam segala hal pekerjaan. Pada suatu ketika I Ketut Tangsub diberi kesempatan oleh Ida Peranda Sakti untuk menguji kemampuan untuk mengobati istri raja mengwi, yang konon terkena sakit yang tidak dapat disembuhkan. Diperjalanan I Ketut Tangsub bertemu dengan I Dewa Wayan Senggu. I Ketut Tangsub di suruh pulang dan jangan harap mampu mengobati Prami Sang Raja. I Ketut Tangsub bersedia pulang asal I Dewa Wayan Senggu bisa menjawab pertanyaan I Ketut Tangsub. Inilah salah satu isi pertanyaan I Ketut Tangsub “bagaimana tulisan  suara angin yang bertiup kencang dan suara burung sawah hujan”?, kepada I Dewa Wayan Senggu. Senggu itupun tidak bisa memenuhi permintaan I Ketut Tangsub. Kepada Dewa Wayan Senggu, I Ketut Tangsub menghaturkan bahwa dirumahnya ada sebuah pustaka yang banyak mengandung ajaran etika, filsafat dan tattwa. Dengan demikian I Ketut Tangsub menyarankan agar kita tidak mengaku diri pandai sebelum bisa membuktikan yang sebenarnya. Uraian tersebut dapat dilihat dalam salah satu bait yang terdapat pada Kidung Perembon karya Ki Dalang Tangsub, alih aksara oleh W.Simpen AB.

PUPUH GINADA
Eda ngaden awak bisa,
Depang anake ngadanin,
Geginanne buka nyampat,
Anak sai tumbuh luhu,
Ilang luhu buke katah,
Yadin ririh, 
Enu liyu pelajahan.

Dalam kisah perjalanan I Ketut Tangsub berhasil menyembuhkan istri Raja Mengwi dan mulai saat itulah I Ketut Tangsub diberi gelar Kiyai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub serta di beri suatu permintaan untuk keberhasilan beliau itu. I Ketut Tangsub hanya meminta “genah galang apadang”. Mendengar hal tersebut, Raja pun menyuruh I Ketut Tangsub untuk memilih salah satu daerah kekuasaan Raja Mengwi. Dengan rendah hati I Ketut Tangsub mengeluarkan busur serambi menarik anak panahnya keatas dan muncul sinar merah diangkasa. I Ketut Tangsub menyebut daerah itu sebagai Bangkasa yang tepatnya berada di hutan Tegehwana daerah kekuasaan Mengwi raja.   Setelah menerima pemberian dari Raja Mengwi, I Ketut Tangsub beserta Ida Betara Sakti Manuaba menuju alas Tegeh Wana yang dilakukan berulang kali maka sekitar tahun 1843 M, hutan Tegeh Wana diberi nama Banjar Teguan dan wilayah hutan itu disebut dengan Desa Bongkasa. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Pupuh Ginada di bawah ini :

 
a. Ada kidung anyar teka
Mijil saking Bang di langit
Kawi muda kapupungan
Sira layua mintar kidung
Iseng-iseng matembang
Anggen sarwi
Ati ibuk ban lacuran

b. Kawi kidung ring Bangkasa
Kocap I Ketut Bongkling
Pianak I Gede Bawa
Mawit saking desa Manu
Jantos kelih di pasraman
Ida Sakti
Ento krana ia pradnyan 
Karya-karya Ki Dalang Tangsub, seperti Geguritan Basur, Ketut Bungkling, Ketut Bagus, Cawak; adalah karya-karya yang membuktikan begitu orisinil jagat geguritan Bali. Karya-karya ini menunjukkan bahwa geguritan tidak terbebani oleh ideologi tertentu, ia bahkan mendobrak kebekuan ''ideologi'' yang mengungkung. 
Mendekontruksi hegemoni. Sebagai seorang pelarian, yang hendak dihukum oleh Raja Gianyar I Dewa Manggis sekitar tahun 1825, Dalang Tangsub melakukan ''pemberontakan'' lewat geguritan. Geguritan di tangannya menjadi senjata ampuh gerilia ide-ide, melawan kekuatan palsu yang mengungkungi alam pikir, membongkar motis dan ''narasi besar'' penguasa. Ia membombandir dengan peluru kata-kata. Membongkar narasi besar dengan jenaka. Mencampur aduk realita dan imaji. 
Membaca karya Kidung Perembon, yang merupakan ''kompilasi'' geguritan Ki Dalang Tangsub, saya menemukan semacam campuran semangat Frienderich Neitzsche (1844-1900) dan Jorge Luis Borges (1899-1986) bercampur menjadi api dan spirit karyanya tersebut. (Tentu saja Dalang Tangsub tak pernah mengenal kedua dua sastrawan tersebut. Sebelum dua sastrawan tersebut dilahirkan, sekitar tahun 1825, Tangsub sudah menjadi pelarian. Berlari dari desanya Sukawati - Gianyar ke Desa Nuaba, lalu ke Desa Kuum Sembung-Mengwi, lalu bermukim di Bongkasa – Abiansemal, seperti yang tersirat dalam pupuh diatas). 
Semangat pemberontakan Dalang Tangsub dan kekuatan perceritaannya yang ''berlapis-lapis'', berpadu dengan kekuatannya menyusun argumen. Bahasanya tak pernah lelah untuk menggugat. Lewat karya itu, ia merumuskan ''bungkling-ology'': sebuah seni debat yang konsisten membongkar mitos dan wacana, yang tak mengutamakan sopan-santun atau ewuh pakewuh, tapi berdasar pada kekuatan gugatan yang bersandar pada ''logika dekontruksi'' dan ''rasa humor''. Dalam kakawin, tak pernah saya membaca pemikiran ''nyeleneh'' seperti yang Dalang Tangsub tawarkan. Dalang Tangsub, lewat tokoh-tokoh, menjadikan dirinya seorang Dalang Tamak di masyarakat Bali yang ''penurut'' dan patuh.
Demikianlah dapat diuraikan kisah hidup I Ketut Tangsub, sudah barang tentu ada beberapa kisah yang belum dapat diungkap. Pada masa hidupnya Ki Dalang Tangsub banyak mengisahkan peristiwa-peristiwa penting dan penuh makna yang diceritakan dalam bentuk geguritan Ginada Bongkling, Ginada Basur, dan Pupuh Sinom serta karena keagungan-Nya pretisentana beliau tersebar di pelosok Bali. 

Jika kita berbalik kebelakang pada masa “Sang Panca Tirta” (Mpu Gnijaya, Mpu Ghana, Mpu Semeru, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah), dimana kecuali Mpu Bharadah, keempat beliau ini ke Bali menjadi Purohita pada pemerintahan “Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa (988-1011 Masehi). Keturunan Mpu Gnijaya (Tertua dari Panca Tirta), adalah Sang Sapta Pandita. Beliau ini memiliki wawasan yang jauh kedepan dalam rentang kurun waktu ratusan tahun. Ini dibuktikan oleh apa yang dilakukan beliau-beliau terhadap sanak keturunannya dimana mempunyai makna “Penyiapan diri untuk bhakti pada leluhur sesuai dengan jati-diri trah Sapta Pandita”. Penyiapan diri yang juga mengandung kewaspadaan terhadap sanak keturunannya bisa disampaikan sebagai berikut. Untuk mengikat sanak-keturunannya, maka dikeluarkan “Bhisama” (Pesan sakral dari leluhur) yang intisarinya :
• Keturunan Sapta Pandita tidak boleh menganggap satu sama-lain lebih jauh dari sepupu.
• Keturunan Sapta Pandita wajib bhakti pada Leluhur dan merawat “Parhyangan” leluhurnya dimanapun berada.
Jika sanak keturunannya melanggar hal itu, maka akan membawa sengsara dalam kehidupan, baik dari sisi ekonomi dan keharmonisan rumah-tangga, ada juga yang tidak sadar akan dirinya dan bangga menyebut diri “Parekan (Abdi)” padahal mereka adalah Trah Mpu Gnijaya Sang Brahmana-Jati. Tetapi sebaliknya jika bhakti pada leluhur akan memperoleh keharmonisan di keluarga dan dimasyarakat. Untuk tidak menghilangkan jati diri sanak keturunannya, maka keturunan Sapta Pandita di didik untuk menuliskan dalam rontal secara terus menerus, sambung menyambung dan menurunkan serta membuat lagi untuk sanak-keturunannya yang lain. 
Jika dijaman sekarang ini dalam IT (information Tecnology) dengan media Computer, beliau sudah mengaplikasikan “Program Visio”. Sehingga dibeberapa keluarga besar Warga Sapta Pandita memiliki Prasasti (Rontal) yang isinya sama tentang keleluhuran dengan Warga Sapta Pandita yang lain. 
Hal yang diwaspadai oleh Sang Sapta Pandita terbukti, beberapa ratus tahun kemudian yaitu sekitar abad 14-15 Masehi dan sudah mulai sebelumnya, terjadi cobaan terhadap Trah Sapta Pandita. “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” yang menjadi Raja Bali (Gelgel-Klungkung) , akhirnya tidak bisa meneruskan Tampuk kerajaan pada keturunannya, bahkan dengan 6 (enam) putranya yang masih kecil beliau kemudian meninggalkan kerajaan Gelgel. Dikemudian hari 6 (enam) putranya ini tersebar di enam tempat, seperti : Mandwang, Sangkanbuana, Songan, Pegatepan, dll. selanjutnya menurunkan Warga Pasek Gelgel dan Bendesa . Pasek Gelgel sendiri merupakan keturunan dari “Mpu Withadarma” (saudara ke-empat dari Sapta Pandita). Sesudah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel meninggalkan kerajaan, maka mulainya Era “Dalem” yang memimpin kerajaan Gelgel. 
Cobaan lainnya adalah dengan banyak dimusnahkannya prasasti sebagai lelintihan Trah Sapta Pandita, tapi seperti cerita Sesepuh Warga Sapta Pandita, dibakar satu kranjang masih ada dua kranjang, ini semua karena “Kewaspadaan” Sang Sapta Pandita” pada sanak keturunannya, dan ini adalah bukti cinta-kasihnya pada sanak keturunannya. Ada persiapan lainnya dari Sang Sapta Pandita untuk sanak-keturunannya khususnya yang ada di Tanah Jawa. Seperti diketahui jika “Sang Panca Tirta” (kecuali Mpu Bharadah) menetap di Bali, Sang Sapta Pandita justru di Jawa, yaitu di “Kuntuliku Desa” (diperkirakan sekitar Malang atau Kediri). Walaupun pada jamannya beliau sering pulang-pergi Jawa-Bali untuk bhakti pada parahyangan leluhurnya yang berada di Bali. Kenapa beliau menetap di Jawa , apa sebenarnya yang ingin beliau persiapkan terhadap sanak-keturunannya ?. 
Jika kita kembali ke Jaman Runtuhnya Kerajaan Majapahit. Raja terakhir Majapahit (Brawijaya) meninggalkan kerajaan dan pergi kesekitar Gunung Lawu – Karanganyar Jawa Tengah, karena putra beliau sebagai penerus kerajaan, telah dididik dengan faham lain di Sumatra. Prabu Brawijaya terakhir, kemudian dikenal dengan “Sunan Lawu”. Mahapatih Majapahit yang setia, Sabdapalon-Nayagenggong, kemudian melaksanakan “Upacara Agnihotra” dan bersumpah, bahwa kejayaan Majapahit akan kembali 500 tahun kemudian. Sekarang adalah saat dimana kejayaan itu kembali, yaitu “kembali ke jatidiri / kembali ke rohani”, Hal ini bukan berarti terjadinya penggantian faham secara besar-besaran, karena sesungguhnya semua agama adalah mengajarkan kebaikan, tetapi setiap penganutnya akan diuji kemapanannya akan keyakinan dirinya seperti yang terjadi pada jaman runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada saat seperti sekarang dimana manusia sudah jauh dari ajaran agamanya yang berarti jauh dari hati nurani sehingga sudah tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, bahkan tidak merasa berdosa menghilangkan nyawa orang lain. Pada saat seperti ini, maka perlu peran “Rohaniawan” untuk meluruskan hal itu agar manusia kembali ke jati-dirinya. 
Apa bentuk Bhakti Leluhur yang dipersiapkan oleh Sang Sapta Pandita apakah semua keturunannya harus jadi Pendeta ?. Rohaniawan adalah menjadikan rohani sebagai dasar perjuangannya apapun profesinya karena rohani akan mengajarkan “kebenaran”. Bagi sanak-keturunan yang bhakti pada leluhur, maka akan dilibatkan dalam meluruskan yang salah untuk kesejahtraan umat manusia. Sebagai Trah Sapta Pandita, maka mempunyai cirri-ciri : Cocok menjalani kehidupan rohani, tetapi juga pendebat yang keras. Untuk itu “Sangat penting untuk terlibat dalam kehidupan kesejahtraan masyarakat secara benar, sesuai dengan kemampuannya, sebagai tanda bakti pada leluhur”. 

Bertitik tolak pada masa Sang Panca Pandhita  sampai Sapta Padhita dengan konsep "Berbhakti pada Leluhur". Generasi ketujuh dari Kiayi I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub yaitu Ida Pandhita Mpu Nabe Sinuhun Perama Daksha (nama welakanya I Gede Japa Tangsub Putra) , merasa terpanggil untuk ngayah kepada Bhatara Kawitan menjadi seorang wiku/sulinggih, seperti yang tertuang dalam penggalan pupuh ginada sebagai berikut : 

Pitung katurunan kocap
Dalang Tangsub manyelehin
Ring Ida Prama Daksa
Ida wantah para wiku
Genah Ida ring Bongkasa
Sane mangkin
Ngelanturang puja sastra.
Sosok sesepuh sulinggih yang satu ini, tak menyurutkan kiprahnya melahirkan sulinggih-sulinggih yang sujati. Ida berbhiseka Ida Pandhita Mpu Nabe Sinuhun Parama Daksa dari Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan – Bongkasa.

BIODATA IDA SINUHUN
Bhiseka : Ida Pandhita Mpu Sinuhun Prama Daksa
Walaka : I Gede Japa Tangsub Putra
Kelahiran : Bongkasa, 1 Agustus 1914
Nama ayah : I Nyoman Geledus (alm)
Ibu : Ni Luh Wayan Kumplug (alm)
Istri : Ida Pandhita Mpu Sinuhun Istri Prama Daksa
Nabe : Ida Pedanda Anyar, Griya Punggul
Anak Welaka : 1. Ni Luh Putu Suwarni (kawin ke Griya Negara)
  2. I Made Suarta (menjadi sulinggih)
  3. Ni Nyoman Suarnadi (kawin ke Karangasem)
  4. Ni Luh Ketut Suariani (kawin ke Bindu)
  5. Ni Luh Gede Suasih (kawin ke Buleleng)
  6. I Putu Sucandra (menjadi mangku Dadia Agung Bangkasa)
  7. I Nyoman Gde Suastawa (menjadi mangku Griya Sakti Manuaba)
Karier : Pernah bergabung dengan pasukan Watukaru guna menumpas NICA (1948), bergabung dengan Badan Logistik, Gerakan Penumpas Gerakan G.30 S/PKI (1965), menjadi utusan AMHB ( Angkatam Muda Hindu Bali ) subak batur, Madwijati 1962, disahkan PHDI Pusat tahun 1970, menjadi guru GBH (1966-1968) prematur Desa mewakili subak Badung. Telah napak sulinggih 13 orang seluruh Bali. Juga dianugrahi penghargaan KRT oleh Keraton Solo.
Sulinggih kelahiran tahun 1914 telah mampu melahirkan putra dengan kemampuan jnananya. Kiprah beliau tidak hanya di situ, sejak welaka telah berjuang untuk kepentingan bangsa. Peranan Ida Sinuhun sudah nampak ketika masih muda dan selalu mendapat kepercayaan sebagai pemimpn. Ida Sinuhun kelahiran Rabu Umanis Prangbakat adalah satu-satunya sulinggih dari semeton Pasek Sanak Sapta Rsi yang bernabe Peranda yaitu Ida Pedanda Gede Griya Anyar Punggul. 
Sampai sekarang setelah mengembuskan nafas terakhir pada hari Jumat 20 Pembruari 2004 Ida Sinuhun masih dijuluki pejuang tanpa jasa. Pasalnya walau banyak berjuang pada zaman Belanda, namun tak pernah berniat untuk mendapatkan tanda jasa. Yadnya yang Beliau berikan kepada Nusa dan Bangsa dibiarkan harum guna sebagai karma mengikuti perjalanan Beliau ke alam “Amor ring Acintya”. Kini Beliau tiada, hanya tanda-tanda jasa perbuatan mautama Beliau yang masih dipajang di benak generasinya. 
Generasi ke delapan dari Ki Dalang Tangsub dengan bhiseka Ida Pandhita Mpu Nabe Siwa Putra Prama Daksa Manuaba juga mengabdikan sesa hidupnya sebagai seorang sulinggih.

BIODATA IDA NABE PUTRA
Bhiseka : Ida Pandhita Mpu Nabe Siwa Putra Prama Daksa Manuaba
Walaka : Drs. I Made Suarta
Kelahiran : Badung, 12-12-1958
Nama ayah : Ida Pandhita Mpu Sinuhun Prama Daksa
Ibu : Ida Pandhita Mpu Sinuhun Istri Prama Daksa 
Istri walaka : I Nyoman Gandu Ningsih
Bhiseka : Ida Pandhita Mpu Nabe Siwa Putri Prama Daksa Manuaba
Anak walaka : -    I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S dan
- Ni Luh Gede Sri Sugiarti Ningsih Manuaba.
Karier : Sebelum menjadi seorang Suinggih, Ida Pandhita Mpu Nabe Siwa Putra Prama Daksa aktif sebagai seorang PNS di lingkungan Universitas Udayana serta aktif di dalam berbagai organisasi kemasyarakatan.

Sekarang tibalah generasi yang ke sepuluh beliau Ki Dalang Tangsub telah berinkarnasi kembali pada cucu ke Tiga dari Ida Pandhita Mpu Nabe Siwa Putra Prama Daksa Manuaba, dengan nama I Nyoman Gde Tangsub Putra Brama Manuaba yang merupakan anak dari I Gede Sugata Yadnya Manuaba dengan Ni Putu Erny Mahayuni Adhi.
Para pembaca budiman sekalian yang saya hormati, sekian Pernik Griya Agung Bangkasa mengenai sejarah singkat perjalanan Ki Dalang Tangsub dari Desa Manuaba Gianyar sampai menetap di Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar