SULINGGIH
Catur Sanak berparhyangan di Lempuyang Madya (Mpu Gnijaya), Besakih (Mpu Semeru), Pura Catur Parhyangan Ratu Pasek Pundukdawa (Mpu Ghana), dan Silayukti (Mpu Kuturan).
Kalau kita fokus ke ”Besakih”, maka waktu itu Pujawali dipimpin oleh Mpu Semeru dan Parhyangan beliau sekarang di Besakih dikenal dengan Pura Caturlawa. Pada generasi berikutnya Pujawali di Besakih dipimpin oleh Sang Sapta Pandita (Leluhur Pasek) yang merupakan putra dari Mpu Gnijaya. Walaupun Sapta Pandita ini tinggal di Jawa (Kuntuliku Desa/ diperkirakan sekitar Malang), tetapi beliu tidak lupa ke Bali
(Mangejawa-Mangebali) setiap ada persembahyangan di Besakih memuja Hyang Widhi dan para Leluhur. Beberapa puluh tahun kemudian yaitu sekitar Abad XV dan sesudahnya yaitu sesudah Danghyang Nirarta ke Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong terjadi perubahan strata masyarakat, termasuk yang memimpin persembahyangan di Besakih. Sudah lama kita mengenal ”Tri Shadaka”. Istilah ini adalah untuk Sulinggih yang ”Muput” pada piodalan di Besakih oleh tiga Sulinggih saja, yaitu : Pedanda Siwa, Pedanda Budha, dan Bujangga, Pada abad XIX setelah Era Kemerdekaan, wacana kesetaraan Sulinggih dengan istilah ”Sarwa Shadaka” muncul artinya semua Sulinggih Pedanda, Mpu, Sri Mpu (Pande), Bhagawan, Rsi, dan Bujangga, punya hak yang sama untuk Muput di Besakih. Secara legal adalah dengan keluarnya Bhisama PHDI Pusat tentang Sarwa Shadaka ini. Sehingga sekarang ini Piodalan di Besakih sudah dipimpin oleh Sarwa Shadaka. Walaupun demikian masih ada keengganan untuk Muput dengan Sulinggih lain atau usaha-usaha untuk tetap suatu Upacara dipuput oleh Satu Sulinggih saja atau oleh Tri Shadaka ini bisa dilihat dikota-kota besar yang tingkat publikasi kemasyakat (Nasional atau internasional) tinggi. Ini bisa juga terjadi karena ketidak tahuan (kalau tidak mau disebut kebodohan) umat akan hakekat Sulinggih. Bisa dimaklumi karena keadaan ini sudah berlangsung ratusan tahun.
Bagaimana Paradigma umat sekarang ini terhadap Sulinggih ? kita bisa lihat dengan jelas dimasyarakat. Umat masih mengangung-agungkan Sulinggih, itu boleh karena beliau orang yang sudah Dwijati yang perlu kita hormati dan dekati supaya memperoleh ajaran kesucian. Tetapi jika membeda-bedakan ini yang tidak boleh. Di suatu acara misalnya Peresmian suatu ”Ashram” umat mengundang Sulinggih dan itu bagus, sayangnya kenapa disetiap Moment penting itu para Walaka tidak memanfaatkan menyatukan Sarwa Shadaka, apakah khawatir nanti ada Sulinggih yang diharapkan ternyata tidak mau hadir ? kalau itu benar kita langsung bisa tahu tingkat kerohanian Sulinggih tersebut. Atau ini hanya mempertahankan superioritas masa lalu ? saya tidak mau masuk kewilayah itu karena politis adalah menjerumuskan sehingga kita harus memakai rohani (kebersihan jiwa) sebagai penuntun. Dilain fihak ada suasana yang lain, kalau diatas ”Mengagungkan”, maka beberapa kawan justru menjadi kena masalah karena ”Pertanyaannya kepada Sulinggih”. Seorang kawan dihadang dengan Sesana, bahwa Seorang walaka atau Pinandita tidak berhak mengkritik seorang Sulinggih. Pertanyaan dari kawan ini yang sesungguhnya masukan dimaknai sebagai kritikan. Seorang kawan yang lain juga dimintai penjelasan oleh Lembaga Umat Hindu karena tulisannya yang miring tentang Sulinggih, bahkan beberapa oknum Lembaga Umat (bukan lembaganya) sudah terlalu jauh ingin memaksakan kehendaknya pada kawan ini. Kenapa umat (walaka) seperti kebakaran jenggot ? karena Sulinggih tertentu ini ditempatkan bagai Mutiara yang tidak boleh disentuh, padahal komentar terhadap Sulinggih dan isi dahmawacananya bukan baru kali ini tetapi sudah banyak namun belum terpublikasi jadi hanya berupa obrolan biasa ditataran bawah atau ada disanpaikan langsung saat darmawacana. Apa fenomena yang terjadi dimasyarakat sekarang ini. Jawabannya adalah ”sudah terjadi perubahan Paradigma Umat terhadap Sulinggih”. Jika kita simak lagi dengan lebih jernih, maka akan terlihat, bahwa : Apa yang dilakukan oleh dua kawan ini tidak keliru, yaitu yang satu bertanya dan yang satu menulis fakta yang terjadi berupa Darmatula yang disaksikan masyarakat, jadi kalau itu keliru maka masyarakat bisa menilai. Kalau ternyata masih ada benturan atau tanggapan, maka kemungkinannya adalah, masih ada yang bertahan dengan Superioritas, dan masih ada yang belum terbuka wawasannya, sekaligus ini adalah tantangan bagi Sulinggih dijaman yang serba kritis ini untuk siap dikritik atau ditanya oleh umat, tentunya umat harus tetap sopan santun. Siapa yang punya tanggung jawab akan perubahan ini, ya kita semua. Bagi Sulinggih kita berharap tidak henti-henti memberikan Jnana Punia kepada umat disamping Muput jadi harus jelas Muput atau Dang-acarya (memberikan siraman rohani), Sulinggih jangan membedakan diri dengan Sulinggih lainnya karena umat akan menilai tingkat kerohaniannya, Sulinggih jangan duduk dipimpinan organisasi keumatan biarkan itu dipegang Walaka tetapi sebaiknya di Paruman Sulinggih saja sesuai dengan konsep Wiku dan Natha, Walaka jangan memecah-mecah Sulinggih malah kita dorong setiap moment untuk menyatukan mereka, Walaka jangan buta pengetahuan akan Sulinggih sehingga menjadi arogan dan fanatik pada Sulinggihnya saja karena Sulinggih itu milik bersama, bagi pejuang-peluang kebenaran, maka lakukan terus jangan berhenti tetapi tetap dengan sesana yang baik. Bagaimana dengan penulis ? Jika ini adalah melanggar Sesana karena memberi masukan kepada Sulinggih, maka biarlah penulis yang menaggung dosanya, walaupun penulis tetap menyadari, bahwa yang bisa dengan bijaksana menentukan benar atau salah hanya Hyang Widhi. Semoga kebenaran datang dari segala penjuru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar