Jumat, 17 Januari 2020

Sungkem Seusai Sembahyang Patutkah ?

Sungkem Seusai Sembahyang Patutkah ?

Fenomena sungkem dalam tata cara persembahyangan di pura sudah menjadi perbincangan di beberapa kalangan. Memang praktik bersungkem ria di depan pelinggih usai persembahyangan kramaning sembah tidak begitu populer di semua pura, tetapi ada indikasi kalau pemedek (umat yang datang ke sebuah pura dengan maksud bersembahyang) yang melakukan sungkem di pura semakin banyak. Entah darimana datangnya gaya baru tersebut.

Belakangan ini muncul fenomena baru dalam aktivitas persembahyangan umat Hindu, yaitu melakukan sungkem atau sujud di hadapan pelinggih atau patung di pura tertentu setelah selesai melakukan kramaning sembah. 
Bagaimanakah menyikapi fenomena yng selama ini tidak lazim dilakukan di pura?

Pertanyaan titiang adalah, apakah praktif tersebut sesuatu yang lumrah dan sah-sah saja dilakukan di sebuah pura sebagai bentuk tata cara persembahyangan ataukah bagaimana?

Adanya fenomena sungkem di pura, menurut Ida Sinuhun menjelaskan bahwa tata cara sembahyang di pura sudah ada pakem-pakemnya yang merupakan kesepakatan atau konsensus sejak dahulu hingga sekarang. 

Meskipun Ida Sinuhun Putri sering melihat sungkem, terutama yang dilakukan oleh anak kepada orang tua, atau adik kepada kakak, atau kepada mereka yang lebih tua, merupakan bentuk etika untuk membentuk budi pekerti luhur, sebagai tanda terimakasih dan permohonan maaf kepada orang tua yang telah melahirkan, memelihara, dan mendidik  seorang anak, namun apabila sungkem tersebut dibawa ke pura sebagai sebuah bentuk persembahyangan, maka perlu ditinjau kembali. 

Ida Sihunuhn Putri menanyakan, mungkinkah yang melakukan sungkem di pura tersebut memiliki alasan yang kuat secara pribadi, tetapi apakah hal itu layak dilakukan di pura yang notabene milik umum?

Lebih tegas lagi dalam menyikapi fenomena sungkem di pura ini datang dari Sabha Purohita Provinsi Bali, yaitu Ida Pedanda Gede Putra Bajing. 

Beliu menyatakan sungkem di pura sudah menyimpang dari uger-uger tata cara persembahyangan di pura, dan sebaiknya untuk sembahyang di tempat umum semua umat Hindu mengikuti ketentuan yang sudah ada, jika masih memiliki keyakinan atau kemantapan lain silakan lakukan di tempat pribadi masing-masing,

Di tempat terpisah Ida Sinuhun Putri menjelaskan bahwa makna sembahyang dengan mencakupkan kedua belah telapak tangan sehingga ke sepuluh jari tangan menyatu adalah sebagai simbol menyatukan dasa indriya, agar dapat penyucian dari Ida Sanghyang Widhi atau ista dewata yang disembah.

Ida PM Siwa Agnijaya Daksa Manuaba Griya Agung Telagawaja menambahkan, bahwa penganut Hindu di Bali adalah penyembah Siwa sehingga ada konsep Dasa Siwa bahwa segala sesuatunya adalah Siwa, termasuk saat memuja Pertiwi pun pada hakikatnya memuja Siwa sehingga sikap tangan saat memuja Pertiwi juga ke atas, yang diantara mantranya menyebutkan: “……. Siwa bhumi maha siddhi….” 

Oleh karena itu kembali kepada masalah sungkem di pura sebagai bentuk bhakti tidak dikenal sehingga hendaknya sembahayang di pura memang dipimpin oleh seorang pemangku atau sulinggih yang memimpin dan mengarahkan umat untuk melakukan bersembahyangan sesuai ketentuan yang sudah ditentukan sehingga tidak ada kreasi pribadi-pribadi. 

Menurut titiang munculnya fenomena sungkem di pura ditengarai  sebagai akibat pengaruh budaya luar atau mungkin juga karena unsur pengaruh pawisik (bisikan gaib).

Sementara itu, menurut Hasil Mahasabha Parisada Hindu Dharma ke VI, urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri maupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh sulinggih atau seorang pemangku adalah: 
(a) sembah puyung; 
(b) menyembah Sang Hyang Widhi 
      sebagai Sang Hyang Aditya; 
(c) menyembah Tuhan sebagai ista 
      dewata pada hari dan tempat 
      persembahyangan;
(d) menyembah Tuhan sebagai pemberi 
      anugerah; 
(e) sembah puyung. 

Pada saat sembah puyung terakhir ini dengan mantra: 
"Om deva suksma paramacintyaya nama svaha"

Artinya, hormat kepada Dewa yang tak terpikirkan Yang Maha Tinggi, Yang Maha Gaib.

Ditegaskan dalam hasil mahasabha tersebut bahwa setelah sembah puyung dilanjutkan dengan memohon tirtha dan bija. 

Jadi, sama sekali tidak ada ketentuan tentang sungkem disebutkan dalam keputusan tersebut.

 Memang dalam tattwa Hindu ada ajaran sungkem, tetapi itu dilakukan dalam konteks tertentu yang salah satunya ada sungkem nikel ping siya untuk pabratan tertentu dalam penguasaan yoga, tetapi kalau hal itu dilakukan di pura sebagai rangkaian persembahyangan tentu secara etika kurang pas, sebab pura adalah milik umum yang secara etika semua pemedek sepatutnya mematuhi ketentuan umum saja.    

Di tengah gejolak globalisasi memang ada fenomena setiap insan ingin eksis dan menunjukkan identitasnya masing-masing sesuai semangat kebebasan yang berkembang. Toh demikian, titiang sarankan praktik ritual atau sembahyang di pura dan tempat lain hendaknya mengikuti ketentuan yang sudah ada saja, agar tidak terlalu banyak muncul kreasi yang belum tentu memperkuat sradha dan bhakti, dan dapat berbahaya pula sebab jika terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan semakin banyak muncul kreasi-kreasi baru dari setiap umat sehingga bentuk persembahyangan menjadi kacau jadinya, baik dari segi bentuk tata cara maupun tetuek (makna)nya.

#tubaba@sembah bhakti boya sungkem#
#mengikuti ketentuan yang sudah ada saja#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar