Sabtu, 04 Januari 2020

ADAT DAN AGAMA HINDU DI BALI


Adat Dan Agama Hindu Di Bali
(sebuah diskusi sareng Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa dalam mengumpulkan bahan tesis "Aksara Bali dalam upacara sedaraga Dwijati") 
Agama secara antropologis adalah sebuah percaya pada kekuatan gaib yang datang dari luar manusia. 
Agama Hindu adalah kepercayaan import dari India yang mana perjalanannya ke Bali dapat dipahami datangnya dari jawa Timur dibawa oleh Rsi markandeya (abad VII), kemudian muncul sektarian di Bali, lalu datangnya Mpu Kuturan abad ke-10-11 melakukan liquidasi sektarian itu menjadi sekta trimurti, Brhma Wisnu Ciwa dijadikan sekta agama di Bali sejak itu. Kemudian penundukan Mojopahit ke Bali membawa pengaruh  yang sangat besar terutama setelah Sri Kresna Kepakisan menjadi raja perwakilan Mojopahit. Danghyang Nirartha sebagai purohito kerajaan melakukan panunggalan dalam Ciwa-sada siwa, dan Parama Ciwa sebagai reaksi dari Islamisme pada saat itu. 

Agama lokal (Kebalian yang berbasis pada kepercayaan terhadap Roh Leluhur serta Catur sanaknya (Mrajapati, Anggapati, Banaspati, dan Banaspatiraja) sebagai fungsi-fungsi yang dikehendaki oleh manusia, terutama dalam sistem sakti (ngiwa dan nengen) di Bali. Terkait dengan Catur sanak inilah ritual berupa bebantenan secara simbolik dihidupkan dalam agama Hindu di Bali. 

Perpaduan antara religi India dengan Lokal Bali inilah menjadi ciri agama Hindu di Bali sekarang, sehingga Agama Hindu berdasarkan Kitab Suci Wedha, sedangkan Agama Bali berdasarkan kepercayaan yang sudah turun temurun sejak zaman Megalithicum. Catur Sanak di dewakan sedangkan roh Meme dan Bapa di jadikan Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi dalam sistem berpikir dualistik yang harmoni. Posisioning Ayah dan Ibu dalam konteks unsur atas dan bawah menjadikan Sakral itu ada di tengah-tengah. Sistem inilah yang kemudian dikenal dengan sistem religi Desa Bali Aga yang bertahan hingga era globalisasi ini. Sekta yang muncul adalah pengaruh Hindu India yang memosisikan Bapa Akasa sebagai Dewa yang dianut (Sektarian), dalam perjalanannya nampaknya "Kultus Dewa Raja" menjadikan sekta Wisnu (Waisnawa) menjadi sekta yang menhegemoni sekta yang lainnya zaman Bali Aga, karena Prasasti Raja-raja Hindu awal menyebutkan "inilah telapak kaki Sang Purnawarman menguasai dunia sebagai telapak Wisnu" di Jawa Barat dengan jelas mengambil ajaran awatara wisnu turun ke dunia (raja adalah dewa turun kedunia), di dunia barat ketika absolutisme terjadi zaman abad pertengahan raja adalah Tuhan turun ke dunia. 

Dengan demikian dalam perspektif ini, maka yang disebut Agama Hindu adalah ajaran dan sistem religi yang didasari oleh Kitab Suci Wedha, sedangkan yang didasari oleh Agama Austronesia yang sudah ada zaman Megalithicum menjadi adat di Bali. hanya saja dalam perjalanan sejarahnya hibridasi, memikri, akomudasi, akulturasi dan beberapa istilah lainnya menyebabkan sulit membedakannya kalau tidak dicari genealoginya. 

Pandangan postrukturalisme barat terutama gagasan Foucault memberikan perspektif teori dalam genealogi pengetahuan, dengan metode arkeologi dan genealogi pengetahuan, sebuah wacana harus dicari asal-usul dan relasi kuasa yang ada dalam sebuah diskursus, sehingga dapat dijelaskan makna dari sebuah wacana secara genealogis. 

Contoh dalam memahami adat atau agama, misalnya dalam Ngaben  di Bali, beberapa tokoh agama dan akademisi mencari asal-usul ngaben itu dengan menganalisis asal katanya yaitu ada yang mencari di "Abu" dan "Api" (Titib, Wiana, dan Atmadja, 2015) sebagai akibat dari pembakaran yang dapat menjadikan jasad manusia menjadi abu, seperti yang ditemukan di bebera tempat (desa pakraman) yang kena pengaruh Majapahit kuat (Desa Pakraman Bali Dataran, Apanage Mojopahit). Dapatkan semuanya ini diberlakukan dalam seluruh desa pakraman di Bali? tentu tidak.

Jika ngaben dimaknai sebagai proses mengenbalikan manusia pada-Nya, maka sekta sebagai dasar orientasi penyatauan harus dipahami dengan baik, dan tidak semuanya "musnah terhegemoni', masih banyak resistensi terjadi di desa pakraman Bali Aga di Bali, sesuai dengan sektanya. 
Bukti yang dapat ditunjukkan adalah adanya Ngaben di Sidatapa (SCTP?), Gobleg, Trunyan, dan desa lainnya yang menjadi bagian dari sistem religi itu, seperti desa pantai Bondalem, Julah, dan sebagainya. Ngaben dalam konteks mengembalikan pada-Nya maka di Gobleg dikenal dengan "Ngiyehin", "Ngaben Adat", dengan tata ritual yang berbeda dalam prosesi penunggalan di Merajan masing-masing. 

Dengan demikian kata ngaben bukanlah secara genealogis berasal dari kata "Abu/Api", harus dicari dalam genealogi mlain. Saya lebih suka mencari akarnya pada zaman megalitichum, bahwa ada tradisi "Bekal Kubur/ Funeral Gift) yang dalam bahasa Balinya disebut "Ngaba" + in menjadi Ngaben. Karena dilihat dari hukum sengau dalam Bahasa seperti disampaikan oleh Poerwadarminta (lihat Kamus Bahasa Indonesia, sebelum KBBI), diuraikan kalau senagu U+ I bukannya jadi E, tetapi berubah menjadi UWI. Dengan demikian secara genealogis dilihat dari Foucoultan, dan Gramscian dunia akademik kita, Agamawan kita, dan Masyarakat kita di Bali sudah mendapat pengertian yang tidak menyejarah. Jika ngaben hanya berasal dari Ngabuinmenjadi Ngaben, terkait dengan Api, maka sekta Waisnawa (Gobelg dan turunannya, Trunyan (sekta Indra/Hujan Angin dan turunannya/ sejajarannya) tidak terkandung dalam pembahasan nagben yang disebutkan berasal dari Abu. Dengan kata lain Desa Bali Aga yang memiliki tradisi Ngaben sesuai dengan aslinya di zaman prasejarah bukan berarti salah, atau harus ngikut sekta Api/Nabguin, karena hakikat yang dituju berbeda. Apalagi dikaitkan dengan Ngabehin (berlebihan dalam potong hewan, kerbau, sapi, babi, ayam, dan bebek) sesungguhnya itu adalah untuk foya-foya bagi yang menyelengarakan Ngaben, bukan untuk Sang Newata. Apalgi sangat tragis terjadi sampai menjaual carik, Tegal, dan warisan leluhur lainnya untuk mudah dibagi demi menggledah hasrat keduniawian. 

Dengan perspektif genealogis ini maka dapat dikatakan ritual ngaben adalah adat, tradisi, yang memiliki relasi dengan gengsi sosial. Karena ajaran Agama Hindu mengajarkan bahwa Karma tidak dapat dibeli atau dibayar dengan ritual, sehingga Phala buruknya tidak dipetik oleh yang meninggal. sebagai sebuah doa, dan harapan itu adalah sangat mulia, memaksakan kehendak agar Atman Manunggaling Kaula-Gusti, sama dengan pemaksaan kehendak dan tidan menjalankan Ajaran-Nya. 

dari urain ini dapat dikatakan untuk menjawab judul ini, setiap ritual terkait dengan pemujaan terhadap Roh Leluhur dan catur Sanak hakikatnya Agama Asli Bali, sementara kenyataanya dikoptasi oleh ajaran Wedha India, sehingga seolah-olah menjadi sulit dibedakan. Jika menggunakan perspektif di atas ini, maka tidak ada dosa bagi keluarga yang melaksanakan pengabenan alit, dengan mengambil pagu Ngaben Adat, Ngiyehin, dan tradisi ngaben ngerit bagi Hindu di Bali, Hanya saja kemajuan ekonomi dengan membeli banten ngaben denga harga tinggi, dapat meninggikan gengsi sosial pelaksananya. Apalagi pengabenan di kerajaan seperti Ubud misalnya, dalam konteks modern (konteks modal capitalnya Bourdieu) menjadi sangat menguntungkan, karena adanya komerialisasi ngaben (komodifikasi ngaben) terhadap Turis yang berkunjung ke Bali. jika dalam konteks komodifikasi itu tidak ada salahnya melakukan pengabenan dengan biaya banyak, karena bukan dengan memjual warisan yang mengakibatkan penderitaan bagi Nyeh Kapatan Sang Newata.

Gengan genalogi pengetahuan Foucault dapat dipahami berbagai persoalan yang di dalamnya ada relasi kuasa bagi Putra penyelenggaranya. Bahkan dapat mengugurkan tulisan-tulisan yang memiliki pengertian seperti disebutkan di atas. 

#Griyang Bang.Tubaba#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar