Sabtu, 18 Januari 2020

MANUNGGALNYA SIWA-BUDDHA DI MALAM SIWARATRI

MANUNGGALNYA SIWA-BUDDHA DI MALAM SIWARATRI
(Sebuah Penghayatan Agama Hindu vs Agama Tridharma: Buddha, Tao dan Konghucu)
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S
“rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa/
bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/
mangka ng Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/
bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//

 (disebutkan dua perwujudan Beliau, yaitu Buddha dan Siwa/
berbeda konon, tetapi kapankah dapat dibagi dua/
demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
berbeda itu satu, tidak ada dharma yang mendua//)
(kakawin Sutasoma)

Itulah sepenggal ajaran dari Mpu Tantular yang mengajarkan tentang kemanunggalan antara Siwa dan Buddha. Hal ini menarik untuk dicermati tentang proses yang melatarbelakangi dua buah agama besar dapat dipersatukan. Local genious sebagai filter kebudayaan nusantara dalam interaksinya dengan kebudayaan yang datang dari India dapat dijadikan pisau bedah untuk merenungi manunggalnya ajaran Siwa-Buddha di Indonesia. 

Buddha mengalami evolusi sehingga muncul banyak mashab, di antaranya mashab Vajrayana, Teravada, Mahayana, Tantrayana, dan lain-lain. Bahkan di Indonesia, antara agama Hindu dan Buddha yang semula bertentangan di India malah bisa bercampur menjadi satu.  Hal ini menarik untuk dicermati karena kemenyatuan Siwa-Buddha hanya ada di Indonesia, tidak pernah terjadi di India atau belahan dunia lainnya.

Pada tanggal 23 Januari 2020 merupakan hari raya Siwalatri (malamnya Siwa) yang berdekatan dengan hari imlek pada tanggal 25 Januari 2020 sekaligus merupakan hari Tumpek Uduh/Pengatag/Pengarah/Bubuh. Hari ini merupakan peringatan "Kemakmuran', inilah merupakan sebuah pwujud Kemanunggalan SIWA-BUDDHA dengan melaksanakan Siwaratri. 

Siwa Ratri terdiri dari dua kata, Siwa yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, menyelamatkan, membahagiakan dan Ratri yang artinya malam. Siwa juga berarti terang dan Ratri  berarti gelap. Siwa berarti Sanghyang Siwa dan Ratri berarti malam. Dengan demikian, Siwa Ratri mengandung arti malamnya Sanghyang Siwa untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan pikiran dan hati serta memberi harapan menuju jalan yang terang untuk mencapai tujuan yaitu kebahagiaan.

Kegelapan pikiran berpotensi menghasilkan dosa. Oleh Karen itu, perlu ada perenungan dan introspeksi agar tidak terjebak dalam dosa berikutnya. Siwa Ratri adalah malam terbaik melakukan perenungan. Karena, Siwa Ratri adalah saat malam tergelap, penuh kesucian (nirmala), Sanghyang Siwa beryoga, dan gaya tarik bulan terkecil terhadap kehidupan. Sehingga, sangat tepat melakukan tapa, yoga, semadi atau perenungan terhadap perbuatan dosa masa lalu dan masa kini agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa berikutnya di masa datang. Dengan demikian, Siwa Ratri adalah malam pencapaian pencerahan dan kesadaran diri.

Jadi, Siwa Ratri bukan malam peleburan Dosa, karena ajaran Hindu tidak mengenal peleburan dosa. Dosa adalah hasil perbuatan (karma) yang tetap melekat pada diri dan harus berbuah (phala). Dalam Siwa Ratri diharapkan segera ada kesadaran agar terhindar dari papa (kegelapan pikiran dan jiwa) sehingga tidak menambah dosa. Oleh karena itu, pelaksanaan Siwa Ratri adalah refleksi diri untuk memelihara kesadaran agar terhindar dari dosa dan papa dengan selalu jagra, yakni sadar, eling atau melek terhadap perbuatan baik dan buruk.

Dalam Bhagavadgita III, 42, disebutkan bahwa “orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman (jiwa yang suci) selalu menyinari budhi (kesadaran)”. Budhi (kesadaran) menguasai manah (pikiran), dan manah menguasai indria. Sehingga, jika tercapai kesadaran diri, maka indria akan dapat dikendalikan. Budi (kesadaran) inilah yang akan dibangkitkan saat melaksanakan Siwa Ratri (Siwa Latri), yakni dengan memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Jadi, Siwa Ratri adalah malam peningkatan kesadaran atau malam pejagraan.

Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Yakni, selalu mengingat dan memuja nama Siwa yang memiliki kekuatan melenyapkan kegelapan batin. Oleh karena itu, Siwa Ratri hendaknya dilaksanakan setiap bulan, yakni tiap menjelang tilem (purwaning). Sedangkan menjelang tilem kepitu (paling gelap) dilangsungkan upacara Maha Siwa Ratri. Dengan melakukan Siwa Ratri berarti telah melakukan Sanca dan Dyana. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca Ngaranya Netya Majapa Maradina Sarira. Sanca artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedangkan dalam Sarasamuscaya disebutkan, Dhyana Ngaranya Ikang Siwasmarana, artinya, Dhyana adalah selalu menyebut atau mengingat Hyang Siwa.


CARA PELAKSANAAN SIWARATRI

Secara rinci Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari Siwaratri adalah sebagai berikut:

Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
Monabrata atau berdiam diri dan tak berbicara. Pelaksanaannya dilangsungkan di pagi hari dan dilakukan selama 12 jam tepatnya dari jam 06.00 – 18.00.
Mejagra atau tidak tidur selama semalaman. Pelaksanaannya berlangsung dari pagi sampai pagi hari di keesokan harinya yang dilakukan selama 36 jam dari jam 06.00 – 18.00 di keesokan harinya.
 Upawasa atau tidak makan dan tidak minum. Puasa ini dilakukan selama 24 jam dari jam 06.00 – 06.00. Apabila sudah 12 jam maka diperbolehkan untuk makan dan minum dengan syarat bahwa nasi yang dimakan ialah nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).
Dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula  dalam melaksanakan Siwaratri.

Tingkat Utama, melaksanakan : Monabrata,Mejagra, Upawasa
Tingkat Madya, melaksanakan : Mejagra, Upawasa
Tingkat Nista, melaksanakan : Mejagra
Dalam menjalankan kegiatan Siwaratri diakhiri dengan melakukan persembahyangan dan memohon kepada Sang Hyang Siwa supaya diberikan berkah dan ampunan, dan juga dikembalikan menjadi manusia yang suci dan paripurna serta memohon ditunjukan jalan terang agar terhindar dari perbuatan dosa.

Jadi dapat disimpulkan bawah Hari Raya Siwaratri bukanlah hari penebusan dosa melainkan perenungan dosa yang selama ini telah kita perbuat. Hukum Karmaphala tetap akan berlaku, akan tetapi diyakini dengan menjalankan Brata Siwaratri niscaya kedepannya kita akan mampu mengendalikan diri sehingga dapat terhidar dari perbuatan dosa.

#tubaba@ketidakadilan kehidupan yang dirasakan oleh sebagian orang karena dia hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan mengabaikan bagaimana hukum alam bekerja//yang terjadi adalah yang semestinya.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar