Yadnya Madiksa - Rsi Yadnya
Yadnya Madiksa - Rsi Yadnya
Kata diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita yang artinya diterima menjadi murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kata diksa berarti aksara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan dwijati. Diksa dalam Visnu-Yamala didefinisikan sebagai berikut :
Divyam Jnanam Yato Dadyat Kuryat Papasya Sanksayam Tasmat Dikseti Sa Prokta Desikais Tatva-Kovidaih
Artinya :
diksa adalah proses dimana seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya, dan menghancurkan semua reaksi yang disebabkan oleh kegiatan yang berdosa.
Kata dwijati (Sansekerta) berasal dari akar kata ja yang artinya lahir. Dwijati artinya lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Hyang Suci yang disebut Nabe.
Tujuan Madiksa
Upacara madiksa mempunyai tujuan mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan dumadi menjadi manusia. Madiksa adalah suatu klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan ekajati ke dwijati.
Calon Sulinggih (diksita), tahapan menuju kebrahmanan
Apabila seorang walaka ingin meningkatkan dirinya menjadi sulinggih atau melakukan penyucian diri, maka dia seharusnya menyadari dirinya sudah mulai memasuki tahapan menuju ke alam kebrahmanan. Seperti diuraikan dalam sloka bahwa seorang brahmana adalah makhluk yang paling tinggi dihadapan sang pencipta (tuhan). Sedangkan keinginan menjadi brahmana adaalh suatu hal yang sangat luhur, asal diusahakan dengan cara yang benar.
Menjadi brahmana tidak bisa dicapai dengan cara mengubah nama, meminta pengakuan orang lain, mengaku-ngaku diri sebagai seorang brahmana, dengan penampilan pakaian seolah-olah orang suci yaitu dengan cara senantiasa berpakaian putih-putih, menggelung rambut atau mencukurnya sama sekali, atau dengan hanya berteori tentang weda dan kebenaran. Tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati hakikat dan kebenaran yang sesungguhnya, maka itu sesungguhnya bukan seorang brahmana.
Sesungguhnya untuk menjadi seorang brahmana adalah sangat sulit, karena memiliki syarat-syarat yang sangat banyak antara lain : harus mentaati hukum-hukum brahman (tuhan). Hal ini hanya dapat dilakukan apabila seorang dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi ada pada dirinya, maka kebrahmanan itu baru bisa tercapai. Untuk itulah calon diksita (calon sulinggih), ataupun seorang pinandita, jro mangku atau jro gede harus memiliki beberapa persyaratan yang harus ditaati, karena mereka telah memasuki tahapan menuju kebrahmanan.
Jadi seorang calon diksita harus memiliki prilaku dan persyaratan seperti :
Bersifat sosial
Bijaksana
Setia pada ucapan (satya wacana)
Memiliki kesusilaan (orang mulia) bermoral dan saleh
Teguh pendirian
Setia adan bakti pada suami atau istri
Teguh pada dharma tanpa noda
Keturunan orang baik-baik
Pandai dalam ilmu
Berjiwa besar
Tegas dalam hal siasat
Kuat menahan suka dan duka
Setia, hormat terhadap catur guru
Suka melaksanakan ajaran dharma, termasuk taat kepada segala sesana atau winaya dan taat pada segala kewajiban yang menjadi tugasnya.
Teguh melakukan tapa.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata susila agama hindu.
Adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Laki-laki yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
Pasangan suami istri
Umur minimal 40 tahun
Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum, pengalaman intisari ajaran-ajaran agama.
Sehat lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata susila agama hindu.
Adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Laki-laki yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
Pasangan suami istr
Umur minimal 40 tahun
Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum, pengalaman intisari ajaran-ajaran agama.
Sehat lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih.
Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa pustaka suci, antara lain:
Di Bhagawadgita Percakapan Ke IV-19 Disebutkan:
Yasya Sarve Samarambhah, Kama Samkalpa Varjitah, Jnanagni Dagdha Karmanam, Tam Ahuh Panditam Budha
Artinya:
Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan, dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
Srutyuktah Paramo Dharmastatha Smrtigato Parah, Sista Carah Parah Proktas Trayo Dharmah Sanatanah
Artinya:
maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Kemudian di Svetavatara Upanisad (6.23) menyebutkan :
Yasya Deve Para Bhaktir Yatha Deve Tata Gurau, Tasyate Kathita Hy Arthah Prakasante Maat Manah
Artinya :
hanya kepada roh yang mulya (berjiwa besar) yang percaya penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa dan guru kerohanian segala arti pengetahuan Veda diperlihatkan dengan sendirinya. Keyakinan kepada Tuhan dan Guru kerohanian merupakan subjek pokok yang sangat penting. Tuhan memberikan ajaran lewat sadbaNya dan Guru kerohanian memberikan tuntunan kepada para bhaktanya untuk dapat melaksanakan tugas kewajiban yang telah ditetapkan (dharma) olehNya- dharman to saksat bhagavat pranitam.
Orang Yang Tidak Patut Didiksa
Dalam lontar Siwa Sasana disebutkan bahwa orang-orang yang tidak patut didiksa oleh sang guru (Guru Nabe) adalah :
Orang-orang kotor, orang yang wangsenya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya, dan orang yang sangat menderita.
Cuntaka Janma, artinya orang hina seperti orang yang dijadikan sesaji, orang yang diserahkan pada waktu upacara siwa Wadhana, Asti Wadhana, pencuci mayat, orang pemakan darah, penadah barang kotor, orang yang dihukum penjara.
Patita walaka yaitu menyembah orang hina, memakan-makanannya, orang yang menyembah kepada orang yang cuntaka.
Sadigawe berarti turut dengan adah kriya yang berarti segala yang sudra, candala, mlecha. Sudra berarti orang tanija karma dan wulu-wulu. Banija karma berarti berdagang (segala yang menjual belikan dagangannya yang tidak baik)
Chandala berarti menjagal, melempar, mencungkil dan memukul.
Manusia kuci angga berarti orang cacat tubuhnya seperti orang bungkuk, kerdil, bule dan belang.
Maha duhka berarti orang yang menderita tubuhnya karena sangsara seperti orang kusta, gila, buta, ayan, tuli, kejang, dan timpang. Sebab tidak akan mendapat pahala, bahkan mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya.
Prosedur Administrasi Untuk Melakukan Diksa
Disamping syarat-syarat seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon, maka ada beberapa persyaratan yang harus juga dilakukan oleh calon diksita yaitu tentang persyaratan adminstrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi Umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun prosedur persyaratan administrasi adalah :
Calon diksita harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat, yang mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksaan.
Permohonan tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : badan sehat, berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak tersangkut perkara.
Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
Parisada setempat menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama calon Nabe (diksa pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
Penyelidikan dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada pemerintah setempat.
Parisada yang akan memberi keputusan memberikan pernyataan sikapnya (mengabulkan atau tidak) selambat-lambatnya dua minggu sebelum hari padiksan, dengan tembusan ke Parisada Pusat dan pemerintah setempat.
Pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang tiga bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
Seorang Pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya setelah mendapat izin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi izin diksa.
Parisada wajib menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.
Rangkaian Upacara Pediksan (Upacara Medwijati)
Adapun rangkaian upacara pediksan tersebut adalah sebagai berikut :
Upacara Awal
Upacara mejauman. Upacara ini didahului dengan sang Calon Diksita (suami-istri) berkunjung kerumah calon Nabe dengan membawa upakara-upakara betapa mestinya.
Sembah pamitan pada keluarga. Sang calon diksita menyembah orang tua yang masih hidup, paman atau bibi yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah Upacara Diksa.calon Diksita juga minta ijin dan restunya pada sanak saudaranya yang umurnya lebih muda. Sembah pamitan terhadap orang tua, merupakan sembah terakhir, karena kemudian sang sulinggih tidak boleh menyembah siapapun yang masih Walaka.
Upacara mapinton.
upacara mapinton dilakukan kesegara-gunung untuk membersihkan diri atau asuci laksana, dalam hal ini sekurang-kurangnya ke Kahyangan Tiga.
upacara mapinton ke Pemerajan Calon Nabe yang langsung dipuput oleh sulinggih Calon Nabe sendiri. Disamping untuk memohon restunya, upacara ini juga mengandung makna sebagai perkenalan dan pernyataan secara resmi antara Calon Diksa dengan Guru Nabe.
Upacara Puncak
Upacara amati raga atau penyekeban. Sebelum amati raga, Calon Diksita dilukat oleh Nabe di merajannya Calon Diksita, dilanjutkan dengan muspa. Selesai upacara itu barulah Calon Diksita melakukan Amati Raga yaitu melakukan Yoga, memakai busana serba putih, sikap tangan ngeresep dan ngeranasika, monabrata serta upawasa, upacara ini berlangsung sehari penuh yaitu sehari sebelum upacara Diksa.
Upacara mandi/masiram. Upacara ini dilaksanakan pada dini hari sekitar pukul 05.00 pagi. Upacara ini dilakukan oleh Guru saksi. Calon Diksita yang laki dimandikan oleh guru saksi laki-laki, calon Diksita perempuan oleh Guru saksi perempuan, dibantu oleh sanak keluarga calon Diksita sendiri. Selesai mandi calon Diksita berpakaian serba putih (sarwa petak). Lalu diusung ke Pemerajan tempat Calon Diksita melakukan Upacara Diksa.
Upacara Pokok. Dalam upacara pokok ini sudah disiapkan segala sarana prasarana upacara Pendiksan yang akan di puput oleh Guru Nabe. Adapun rangkaian upacara tersebut adalah sebagai berikut :
Sulinggih Guru Nabe memuja atau Ngarga.
Calon Diksita ada dihadapan sanggar untuk melakukan Upacara mabyakawon, kemudian dilanjutkan dengan muspa yang dituntun oleh Nabe.
Calon Diksita menghadap pada Sang Guru Nabe untuk melakukan upacara matepung tawar (Atepung tawar), segawu.
Calon Diksita memberishkan kaki kanan (wasehijeng ring tengen) Nabe, digosok dengan kain putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak (lisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruh diatas ubun-ubun.
Selanjutnya menjilat (ngisep) ibu jari kaki kanan Nabe (rasista ndilat mpuning pada tengen)
Anuhun pada : guru nabe napak calon Diksita
Di atas ubun-ubun diisi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
Sambutang kusa pengaras, yaitu diambilkan daun alang-alang, diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali (inderakna ring sasiranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang-alang ditaruh.
Pung-punguning ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu upacara sesajen untuk ubun-ubun
Diambilkan Pancakusika (alang-alang), cincin kalpika dan gunting yang dipercikan tirta
Megunting : rambut calon Diksita digunting lima kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengen), rambut bagian belakang (ring wuri), rambut samping kiri (ring kiwa) dan rambut bagian tengah (ring usehan).
Ngalap atmanya : jiwanya sisya diambil
Dahdhi damalaning sasiranya : tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib)
Api pembakar dihentikan (padhemi)
Mretha karanani : sisya matirtha, sanghyang atma diturunkan kembali.
Guru nabe : karosodohanani yaitu mengadakan pemujaan, setelah itu sisya pakaduti sekar (disuntingkan bunga didada)
Wehana cacatu : wawisik dari guru Nabe, dawutang prastawa : cincin sisya diambil Nabe, Tutulaka tunjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga ditunjung tiga kali pada ubun-ubun sisya.
Pada padhayadi : guru Nabe memberikan basma sirowista, dipercikan air suci, Siwambhwa, anecepi, maraup, tiga kali.
Nuhun sekah : sisya menjunjung sekah Dewa-Dewi disertai peras dan sesarik.
Tatebus : sisya matetebus
Guru Nabe nyiratang tirta pada bebanten sesayut , dharma pemulih, pengambeyan, sekarstaman, sorohan, penyeneng, jerimpen, bebangkit.
Angayab sesayut : sang sisya ngayab atau nganteb sesayut
Masirat : sang sisya mendekat pada Nabe Matirtha (matoya
Majaya-jaya : sang sisya majaya-jaya oleh Guru Nabe dengan Prana Bayu Murti Bwana
Tatabi dupa dipa, sisya ngayab atau natab dupa.
Minum air suci : siwambha (sang sisya)
Amet tetebus : diberikan tatebus sang sisya, dicium tiga kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring Hrdaya)
Wehi wija: sisya diberi bija dimohon (enguntal) ini berarti pawisik sasimpenan.
Wehi sekar : sisya dikasi sekar (bunga)
Malabha padhamel : sisya mapadamel
Manyembah : terakhir sisya menyembah mapamit pada kaki Guru Nabe (raris tamwita anikel ri pada nira dhang guru panembahe).
Penyelenggaraan Mediksa
Adapun jenis upakara yang digunakan untuk upacara mediksa adalah sebagai berikut ini :
Ngadegang sanggar surya-sewana, munggah banten :
Catur –rebah mentah-rateng asoroh
Dhaksina-ageng sawra –pat asiki
Pras-ageng kalih danan
Suci-laksana patang soroh
Dewa-dewi
Siwabawu
Pucukbawu
Siwagotra-siwagotri
Rayunan-prangkat putih-kuning kalih prangkat
Prayascita-luwih
Sasayut atma-rawuh
Sasayut sambut-urip
Sasayut pabersihan
Canang-pangeresikan satangkep
Rantasan kalih pradeg putih-kuning lanang-wadon
Suci-ageng pangaturan asoroh
Rayunan-prani apajeg
Awar-awar pisang-leger, uduh, peji, ancak, bingin, andong dan kayu-sugih
Upakara ring sor ring harepan surya
Bale pagenian
Suci asoroh
Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki
Pras
Ajuman saha dandanania
Gelar-sanga
Segehan-agung
Tatabuhan arak-berem
Ngadegang sanggar paguru-kraman maring utara marep
Dhaksina alit asiki
Wastra tigasan putih
Suci laksana asoroh
Pras
Ajuman
Rayunan prangkat asiki
Upacara ring harepan sang adhiguru mapuja
Dhaksina-sarad isinia sarwa-kutus asiki
Suci-laksana kakalih saha dandanania
Pras-ageng kakalih
Ajuman kakalih
Jinah sasantun
Upakara ring harepan Guru Saksi : Pateh kadi harepan Sang Adiguru, binania kewala tan milu anapak Sang Diniksan.
Upakara pangaskaran, magenah ring harepan Sang Adiguru mapuja :
Sopakaraning padudusan-alit
Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki
Suci-ageng asoroh saha eedania
Pangguruyagan pada niri asiki sang diniksan
Pisang jati pada masiki
Sekah-suhun
Pajajiwan
Pungu-pungu
Pangerobodan
Pras-pancawara
Ketipat-prastala pada wijinan
Lalang welmingmang-paguntingan pada wijinan
Tetebasan masayut
Cucukan itik putih asiki
Cucukan ayam sudhamala asiki
Prayascita-lwih asiki
Penyeneng tahenan asiki
Isuh-isuh
Tepung-tawar
Segawu
Lisdegdeg aprangkat
Padudusan (kadi pralagi)
Pasasayutan asoroh (sakramaning sasayut Sang Sadhaka maka panginderan jangkep)
Catur-sari
Upakara mapinton (katur ring Sang Adiguru)
Klasa anyar
Tilam
Wastra sapradeg
Tedung
Rayunan matah (kadi pras-atos panuwuran)
Sedah pucangan sanggraha
Banten pengelukatan mwah malaku tirtha-panglukatan pamintonan (pajati)
Banten pengelemekan asoroh
Dhaksina
Pras
Ajuman
Katipat-bantal
Sasanganan-kukus barak-putih-selem
Pras-dhaksina-ajuman asoroh (pangajum tirtha pengelukatan)
Upakara amati raga (ring paturuan)
Tumpeng putih, kuning barak, selem pada madanan, iwak ayam pinanggang anut warnaning tumpeng
Pras
Sodan
Suci asoroh
Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki
Panyeneng
Segehan anyatur-warna
Tatabuhan tuak, arak, berem, yeh
Upakara pajati (katur ring Kawitan sakabwatan manut kawentenania)
Upakara pakideh ring genah upakara manut kadi pralagi.
Sesana (kewajiban) sang Wiku (sesudah madiksa)
Apabila seseorang yang sudah didiksa atau di Dwijati maka ia harus mengikuti beberapa kewajiban antara lain :
Kewajiban merubah nama (Amari Aran)
Kewajiban merubah tentang berpakaian (Amari Wesa)
Kewajiban tentang perubahan perilaku. (Amari Wisaya).
Kewajiban Merubah Nama (Amari Aran)
Setelah seorang Diksita (didiksa” atau ”di dwijati” oleh nabenya maka sang guru Nabe akan mengganti nama yang telah disandang ketika mereka masih dalam status Walaka. Dan menggantiya dengan nama baru yang diberi oleh sang guru Nabe dengan suatu upacara yang disebut dengan upacara ”Amari Aran” atau merubah nama. Misalnya calon diksita yang sebelumnya bernama ”Si Dadag” akan diganti namanya dengan nama baru misalnya : Ida Pedanda Anu, Ida Rsi Bhujangga Anu, Ida Sri Begawan Anu, Ida Pandita Mpu Anu, Ida Dukuh Anu, Ida Pandita Anu dan sebagainya. Perubahan nama baru itu disebut ”Mabhiseka” artinya memiliki nama baru karena ia baru lahir dalam ke dua kalinya (Dwi Jati)
Kewajiban Tentang Berpakaian (Amari Wesa)
Seseorang yang sudah di Dwi Jati atau di Diksa harus merubah cara-cara berpakaianya. Mereka tidak boleh lagi berlaku seperti ketika masih dalam status Walaka, misalnya memakai celana panjang, memakai celana atau baju jeans, menggunakan perhiasan, berpakaian seksi dan lain-lainnya. Seorang yang sudah Didiksa atau Dwi Jati tidak masih berstatus Walaka tetapi ia sudah berubah status menjadi Sulinggih atau Pandita oleh karena itu, seorang Sulinggih wajib menggunakan pakaian kesulinggihan sepeerti :
Pakaian Sehari-hari
Untuk Sulinggih/Pendeta laki-laki
Kain putih
Selimut kuning bertepi putih
Ikat pinggang putih
Keluar rumah (griya) harus memakai tongkat
Boleh memakai jubah (kwaca rajeg)
Untuk Sulinggih/Pendeta Istri
Kain yang dasarnya kuning (boleh berkembang namun warna dasar kuning masih tetap dominan)
Baju putihSelendang kuning
Ikat pinggang putih
Pakaian Untuk Memuja, Seorang Sulinggih memiliki aturan-aturan khusus di dalam melakukan tugas pekerjaan (Ngelokapalasraya) khususnya dalam tatanan berpakaian. Untuk itu seorang Sulinggih ketika sedang memuja (Ngelokapalasraya) maka wajib menggunanakan pakaian memuja seperti :
Sampet : Secarik kain yang dilipat pada dadanya
Rudrakacatan Genitri: pada kedua buah bahunya
Gondala ; anting-anting
Guduita; gelang genitri pada pergelangan tangan
Kanta Bharana; perhiasan pada lehernya
Karna Bharana ;perhiaan pada telinga
Amakuta :bermahkota atau meketu (Bhawa)
Kewajiban Seorang Sulinggih Dalam Berperilaku (Amari Wisaya)
Seorang Dwijati atau Sulinggih adalah orang yang telah melepaskan keduniawiannya, karena ia telah meninggalkan dunia Walaka dan lahir kembali kedunia Sadhaka. Kelahiran ini ditandai dengan upacara ”Dwi Jati” atau ”Dhiksa” yang artinya untuk yang kedua kalinya dengan kesucian untuk menuju Brahman.
Untuk itu seorang Sulinggih, Wiku, Pandita, atau Dhang Acarya atau juga disebut Sang Dwijati diharuskan tidak memiliki prilaku seperti pada waktu masih Walaka. Sehingga seorang yang sudah medwijati atau menjadi Sulinggih harus merubah perilaku Walaka menjadi perilaku Pandita atau Sulinggih seperti misalnya mentaati beberapa macam pantangan seperti :
Patangan Yang Harus Ditaati terhadap Nabe. Dalam kehidupan sehari-hari para Sulinggih, Wiku atau Diksita patut mengetahui pantangan atau landasan yang dapat menodai atau mengurangi kesucian kesempurnaan bathin seorang Sulinggih. Pantangan atau larangan yang patut dijauhi dengan NABE adalah sebagai berikut;
Janganlah tidak bhakti terhadap Guru (NABE)
Jangan mencaci maki Guru (NABE)
Jangan segan kepada Guru (NABE)
Jangan tidak tulus, jangan menentang segala perintah Guru (NABE)
Jangan menginjak bayangan bayangan Guru (NABE)
Jangan menduduki tempat duduk Guru (NABE)
Jangan duduk berhadap-hadapan dengan Guru (NABE)
Jangan memutus-mutuskan pembicaraan Guru (NABE)
Jangan berjalan mendahului Guru (NABE)
Jangan menolak apa yang diucapkan oleh Guru (NABE)
Jangan menoleh ke sebelah atau ke belakang bila berbicara dengan Guru (Nabe)
Jangan menyahut dengan ucapan yang tidak menyenangkan Guru (NABE)
Jangan membantah nasehat Guru walaupun bagaimana marahnya Guru (NABE)
Pantangan atau Larangan Perilaku Wiku dalam Kehidupan Sehari-Hari :
Tidak membunuh
Tidak berdusta
Tidak bertengkar
Tidak menunjukkan kecakapan (memamerkan kepandaian)
Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain bila tidak dapat persetujuan dari kedua pihak.
Tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau mengambil apa pun.
Tidak berkata-kata yang tidak selayaknya
Tidak boleh berhasrat jahat terhadap orang lain
Tidak boleh mengadakan hubungan sex, bila bukan istrinya.
Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istrinya pada hari-hari terlarang.
Tidak mengucapkan ucapan-ucapan yang kotor.
Tidak boleh berkata-kata yang pedas yang menyakiti telinga.
Tidak boleh berkata-kata sambil mamaki-maki sumpah serapah
Tidak boleh melakukan jual –beli atau berdagang (Adolawya)
Tidak boleh terlibat hutang – piutang (Rnarni)
Tidak boleh segala hal usaha untuk mencari keuntungan
Tidak boleh mengambil hal milik orang lain dengan memaksa
Tidak boleh mencopet atau merampok
Tidak boleh marah atau bersifat pemarah
Tidak boleh ingkar atau mengabaikan kewajiban
Tidak mementingkan diri sendiri
Tidak mengingini sesuatu yang tidak pantas
Tidak berpikir buruk terhadap mahluk lain
Tidak mengingkari akan karma phala
Tidak suka mencaci-maki
Tidak berkata-kata kasar tehadap mahluk lain
Tidak memfitnah
Tidak ingkar pada janji atau ucapan-ucapan
Tidak berzinah (selingkuh)
Tidak boleh memberikan tempat pada pencuri
Tidak boleh memberi makan dan minum kepada pencuri
Tidak boleh memberi persembunyian kepada pencuri
Tidak boleh menerima hasil pencurian
Tidak boleh memberi pertolongan kepada pencuri
Tidak boleh memberi petunjuk jalan kepada pencuri
Tidak boleh ikut campur dengan pencuri
Tidak boleh memerintahkan pencuri
Tidak boleh berkenalan dengan pencuri
Tidak boleh bersahabat dengan pencuri
Pantangan atau Larangan Yang Lainnya adalah :
Tidak boleh mengendarai sepeda motor, mobil (pegang setir sendiri )
Tidak boleh terlibat tindak pidana (Pengadilan)
Tidak boleh jadi saksi di pengadilan.
Pantangan Dalam hal Makanan, Minuman dan tempat : Para Wiku atau Diksita untuk kesempurnaan dan kesucian bathin dalam kehidupan sehari-hari, patut menjauhi pantangan atau larangan dalam hal makanan, minuman dan tempat tinggal sebagai berikut :
Pantangan terhadap makanan dan Minuman :
Tidak boleh makan daging babi peliharaan (Celengwanwa)
Tidak boleh makan daging ayam yang terdapat di Desa (Ayamwanwa)
Tidak boleh makan daging anjing, tikus, ular, kucing, harimau (macan), rase (rasi), kera (wre), kera hitam (lutung), tupai (wut), semacam kadal yang suaranya besar (wiyung), kadal (dingdang kadal), dan binatang –binatang yang tidak dikenal serta binatang yang berkuku satu dan binatang berjari lima (Pancaka)
Tidak boleh makan daging burung buas yang memakan sesamanya (Krurapaksi) seperti : burung hantu, burung elang (Rajawali), burung yang berwarna hitam (nilapaksi) seperti burung gagak, burung jalak, burung cangkilung, burug yang dapat berbicara manusia seperti burung kakak tua (atat), burung beo (siung).
Tidak boleh makan burung bangau (Baka), burung-burung yang waktu mematuk-matukkan paruhnya, burung berkaki jarang, koyasthi, unggas penyelam yang hidup dari pemakan ikan.
Seorang wiku tidak boleh makan binatang-binatang yang kecil-kecil yang hidup di dalam tanah (Bhuhkrimi), belut (kutisa), ulat yang erumah di dalam tanah dan binatang yag kecil-kecil lainnya (Pramikrimi) sebagai lalat atau leler, nyamuk (namuk), pijat-pijat (tinggi), kutu putih (tuma), kutu anjing (limpit)
Seorang Diksita atau Wiku tidak boleh memakan daging kuda, unta (konta), keledai (Gardabha), dan daging sapi (Gomangsa)
Ikan yang tidak boleh dimakan oleh Wiku adalah ikan yang terlalu besar (iwak atyanta ring gong) dan ikan yang buas (Minarodra)
Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau diletakkan dibawah benda-benda yang tidak suci.
Makanan yang telah dapat dimakan oleh binatang seperti anjing, ayam, babi tidak boleh dimakan.
Makanan yang diragukan kesuciannya juga tidak boleh dimakan.
Tumbuhan – tumbuhan yang tidak boleh dimakan : Seorang Wiku tidak boleh memakan jenis tumbuh-tumbuhan seperti : bawah putih (bawang bakung), bawang merah, cendawan.
Seorang Wiku tidak boleh minum-minuman seperti :
Tidak boleh meminum minuman keras seperti : tuak atau nira dan sejenisnya
Tidak boleh minum semua jenis susu dari binatang buas.
Seorang Wiku tidak boleh minum susu kental dari sapi yang merupakan sisa setelah sapi itu menyusui.
Tempat yang terlarang Bagi Seorang Wiku Adalah :
Tempat atau tanah yang terlarang adalah tempat tanah atau pekarangan yang pernah ditempati Wiku, tidak boleh ditempati, setelah lewat 24 tahun boleh.
Seorang wiku tidak boleh tinggal di tanah yang dikerjakan oleh petani biasa.
Seorang Wiku tidak boleh mengunjungi rumah orang yang mempunyai pekerjaan hina, misalnya rumah tukang potong (jagal), tempat pelacuran, lebih-lebih makan dirumahnya.
Seorang Wiku tidak boleh duduk di tempat perjudian, segala macam permainan bertaruh-taruhan tidak boleh dikunjungi.
Seorang Wiku tidak boleh mengadakan perjudian.
Demikianlah jenis-jenis pantangan atau larangan yang patut dijauhi oleh para Diksita atau Wiku
Kewajiban Seorang Sulinggih Setiap Hari Dalam Melaksanakan Dharmaning Kawikon
Selain hal-hal seperti diatas, masih ada yang patut dan wajib dilaksanakannya oleh Sang Sulinggih atau Wiku dalam kesehari-hariannya yaitu :
Arcana : memuja (ngarcana) Tuhan atau Ida Hyang Widhi dan Bhetara-Bhetari yang dilakukan setiap hari, trutama dalam Suryasewana.
Adhyaya : tekun belajar, mendalami Weda, Tatwa, tutur-tutur dan sebagainya
Adhyapaka : suka mengajarkan tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, dan bimbingan rohani lainnya.
Swadhyaya : rajin belajar sendiri mengulangi pelajaran-pelajaran trutama yang diberikan oleh Nabenya.
Dhyana : Merenungkan Brahman (Tuhan atau Hyang Widhi dan hakekat yang dipuja
Demikianlah mengenai tugas dan kewajiban yang harus ditekuni oleh Sang Sulinggih (Sang Wiku), atau Sang Sadhaka dalam melaksanakan dharmanya sebagai Wiku.
PRILAKU WIKU ATAU PANDITA YANG DIANGGAP CACAT
Dalam lontar Phurbasomi atau lebih dikenal dengan nama Lontar Catur Yuga dalam lempiran 5 a. Menyebutkan dengan jelas prilaku para Pendeta atau Wiku yang dianggap cacat. Untuk itu kepada para Pendeta atau Wiku seharusnya menghindari tingkah laku tersebut, karena tidak pantas dilakukan oleh seorang Wiku atau Pendeta karena ia sudah menjadi seorang Brahmana. Adapun bunyi Lontar Catur Yuga tersebut antara lain :
”apan makweh phrabhedaning wiku, an ling sanghyang aji, nihan wruha sri aji kaprabhedaning wiku, ngwang wistaraknanta, lwirnya : wiku panjer, wiku candana, wiku pangkon, wiku ambeng, wiku palang pasir, wiku sanghara, wiku sabha wukir, wiku, grahita, yeka asta kawikun, ngaran, yeka wiku ceda kalokeng rat”
Artinya :
”Ada bermacam-macam Wiku atau Pendeta menurut ajaran sastra, hal ini hendaknya diketahui oleh penguasa, sekarang akan kusampaikan yaitu : Wiku Panjer, Wiku Candana, Wiku Pangkon, Wiku Ambeng, Wiku Palang Pasir, Wiku Sanghara, Wiku Sabha Wukir, Wiku Grahita itulah delapan macam Wiku atau Pendeta yang kesemuanya itu disebut Wiku Ceda (Wiku Cacat).”
Adapun delapan Wiku atau Pendeta yang dianggap cacat adalah sebagai berikut :
Wiku Panjer Adalah Wiku yang tekun melakukan kewajiban siang maupun malam untuk mendapatkan dana punia (Guru Yaga), guna mendapatkan harta benda, banyak mempunyai sisya, serta mengumbar hawa nafsu dan tidak selaras dengan istrinya.
Wiku Candana Adalah Wiku atau Pendeta yang berpegang teguh kepada sastra memperhatikan Candi Prasada, berguru atau hormat kepada tempat suci, maksudnya hanya berguru kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Wiku Pangkon Adalah Wiku atau Pendeta yang tak bersaksi atau berNabe, berguru kepada Sang Hyang Widhi untuk mendapatkan ilmu yang utama atau tinggi.
Wiku Ambeng Adalah Wiku atau Pendeta yang ikut bersama-sama berlayar bersama pedagang atau saudagar, sambil menjual ilmu pengetahuannya.
Wiku Palang Pasir Adalah Wiku atau Pendeta yang mengajarkan kepada orang lain, dengan memikat hati masyarakat (Amancing Upadesa). Dengan demikian untuk mencapai tujuan yakni mendapatkan upah.
Wiku Sabha Wukir Adalah Wiku atau Pendeta yang berbuat kebaikan dengan memberi petunjuk jalan (ngentas) roh orang yang meninggal, karena memerlukan emas, perak, begitu mereka melaksanakan untuk mendapatkan Guru Yaga, demikian juga untuk mendapatkan sandang pangan, bersifat suka-duka.
Wiku Sanghara Adalah wiku atau Pendeta yang mengawini wanita Walaka, melanggar perintah ajaran Guru
Wiku Grahita Adalah Wiku atau Pendeta yang mencari Nabe yang lain atau Wiku yang mempunyai Nabe lebih dari satu orang, lalu tidak mengidahkan Nabe yang pertama.
Kedelapan macam-macam Wiku tersebut dalam Lontar Catur Yuga atau Lontar Purbhasomi disebut dengan Wiku Ceda atau Wiku cacat yang seharusnya dihindari oleh orang-orang yang telah di Dwijati atau Didiksa atau orang yang telah menjadi Pendeta.
WIKU ATAU PANDITA YANG DIANGGAP MULIA YANG SESUAI DENGAN SASANANING KAWIKON
Dalam lontar Purbhasomi atau Catur Yuga disamping menyebutkan macam-macam Pendeta cacat juga disebutkan adanya empat macam Pendeta yang dianggap mulia. Dalam lontar tersebut disebutkan sebagai berikut :
”lawan hana sang wiku kang yogya kabhaktenin dening rat, ika wiku mangde lana kreta ikang nagara, yan angajar sanghyang aji, patpat prabhedaning wiku, kang sayogya kabhaktenin, lwiranya : wiku grehastha, wiku bhiksuka, wiku wanaprasta, wiku brahmacari.”
Artinya :
Ada lagi macam wiku yang patut dihormati oleh masyarakat, Wiku tersebut menyebabkan negara aman senantiasa jika mengajarkan tentang sastra, ada empat macamnya. Yang patut dihormati yaitu Wiku Grehastha, Wiku Bhiksuka, Wiku Wanaprastha, dan Wiku Brahmacari.
Jadi Pendeta (Sulinggih) atau Wiku yang dianggap mulia adalah Wiku Grehastha, Wiku Bhiksuka, Wiku Wanaprastha, dan Wiku Brahmacari.
Wiku Grehastha Adalah Wiku yang hidup berkeluarga, beristri dan berputra, tinggal di desa atau dikota, hidup dalam masyarakat, hormat menerima tamu, memuja homa, berbakti kepada Dewa di Kahyangan, teguh melakukan yoga samadhi, memimpin upacara yadnya, agar menerima Guru Yaga, dengan senang hati menolong orang yang menderita kesusahan, selalu berbuat kebaikan, dan tidak ingin mengumpulkan kekayaan.
Wiku Bhiksuka Adalah Wiku yang senantiasa mendalami ajaran sastra, mahir dalam segala filsafat, hidup megembara, tidak menetap dalam masyarakat, selalu meneguhkan yoga, tidak mempunyai rasa ragu-ragu, siang malam dipandangnya sama, rajin menghadiahkan buku, telah sempurna tentang Dharma, beliau tak beristri.
Wiku Wanaprastha Adalah Wiku yang senantiasa bertapa di hutan, tak beristri, berbakti kepada Dewa, melakukan yoga samadhi, meningkatkan filsafat kebathinan.
Wiku Sukla Brahmacari Adalah Wiku yang berpengalaman yang baik dan benar, hidup sederhana, tidak mengganggap diri pandai, tidak pernah merasa takut, tidak terikat akan keduniawian, bebas dari suka duka pergaulan masyarakat, terus –menerus mendalami filsafat, bebas dari kehidupan keduniawian.
TIGA MACAM SULINGGIH (WIKU) DITINJAU DARI KUALIFIKASI KEMAMPUANNYA
Disamping seperti hal-hal yang telah dijelaskan diatas maka ada tiga macam Sulinggih (Wiku) bila ditinjau dari kualifikasi kemampuannya. Ketiga macam Wiku atau Sulinggih tersebut adalah :
Wiku Acarya Yaitu Wiku (Sulinggih) yang pranjan (pintar), yang juga disebut Wiku Wibhuh yaitu Wiku yang utama dimasyarakat. Wiku Acarya ini disamping melakukan Lokapalasraya, juga membimbing umat dalam keagamaan dan kerohanian.
Wiku Lokapalasraya Yaitu Wiku (Sulinggih) yang mempunyai kemampuan untuk muput karya saja, perhatian beliau dipusatkan hanya untuk muput saja, sehingga kurang kesempatan untuk mengisi diri. Hal ini dapat dibenarkan karena beliau sudah kewalahan memenuhi permintaan umat untuk mumut karya
Wiku Ngeraga
PROSEDUR ADMINISTRASI UNTUK MELAKUKAN DIKSA
Disamping syarat-syarat keagamaan seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon seperti di atas, maka ada beberapa persyaratan penting yang harus juga dilakukan oleh calon Diksita yaitu tentang persyaratan administrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi Umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun prosedur persyaratan administrasi tersebut adalah :
Calon Diksa harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia setempat, yang mewilanyahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksan.
Permohonan tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : berbadan sehat, berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak tersangkut perkara.
Permohonan ditembuskan kepada pemerintahan setempat untuk dimaklumi.
Parisada setempat setelah menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama calon Nabe (Diksa Pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
Penyelidikan dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang tiga (3) atau enam (6) bulan kemudian, apabila ternyata pemohon belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada pemerintah setempat.
pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang tiga (3) bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
Seorang pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya setelah mendapat ijin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi ijin diksa.
Parisada wajib menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar