PEMBODOHAN ..
Melalui Konsep Soroh Menak - Jaba
Istilah soroh menak dan jaba itu sudah ada sejak lama di Bali. Hal ini menjadi sebuah perangkap maut yang sangat mematikan dan dimanfaatkan oleh oknum segelintir orang. Sebagaimana disebutkan dalam karya tulis I Made Kembar Kepun yang terdiri dari 15 Bab, dikatakan bahwa sejak tahun 1343 bahwa orang-orang yang cerdik pandai sudah mampu menciptakan “perangkap maut” untuk dapat menjebak orang-orang Bali yang bodoh yang akan dijadikan kuda beban secara turun-temurun. Perangkap itu dirakit sedemikian sangat rupa-rapinya yang terdiri dari 6 butir ketentuan berikut:
1. Larangan memada-madaRatu (dilarang meniru-niru Raja dalam berbagai hal).
2. Larangan asisia-sisia/ nyumuka (dilarang untuk berguru dan meniru Pendeta dalam hal muput upacara dan memberikan tirta pangentas meski sudah jadi Pendeta).
3. Keharusan masor singgih(kaum Sudra harus terus tetap di bawah kaum Triwangsa dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat)
4. Ketaatan dan ketakutan pada “ajawera” (dilarang mempelajari ajaran Agama dengan ancaman akan gila).
5. Ketakutan pada paham Raja-Dewa (Raja dipersamakan dengan Bhetara yang harus dituruti segala kehendaknya).
6. Ketakutan terhadap rekayasa “titah Dewa”. Dikatakan oleh para cendekiawan bahwa jika titah Dewa dilanggar akan menimbulkan bencana besar.
Padahal hal itu adalah akal-akalan saja. Nama beberapa Dewapun dicatut dipakai meneror pikiran rakyat agar rakyat selalu menjadi ketakutan terhadap datangnya bencana, wabah penyakit, kelaparan dan lain-lain.
Itulah bentuk dari “makhluk perangkap maut” yang dirancang oleh para cerdik pandai jaman kerajaan untuk melanggengkan kekuasaannya secara turun-temurun dari abad ke-14 sampai kini yang menyebabkan rakyat yang ada di luar lingkungan kerajaan yang selanjutnya disebut kaum Sudra tidak bisa berkutik.
Barang siapa berani melanggarnya pasti dijatuhi hukuman berat, berupa denda yang besar, dipenjarakan, dibuang keluar daerah (diselong), dijual sebagai budak kepada orang asing, bahkan dibunuh dengan kejam. Hukuman matipun bisa berupa ditikam dengan keris, dibakar hidup-hidup atau dicemplungkan ke dalam laut dengan memakai pemberat batu yang diikatkan pada kaki terhukum. Kaum Sudra yang terhukum beserta keluarganya tidak berdaya melakukan pembelaan diri, hanya bisa menangis menjerit-jerit meratapi nasibnya. Begitulah “perangkap maut” itu memakan korban yang tidak terhitung banyaknya.
Larangan amada-mada Ratu/Raja dalam hal berbagai sendi-sendi kehidupan seperti dalam hal nama, perkawinan, pakaian, rumah, pekarangan, sikap badan bahkan sampai melahirkan anak kembar buncing pun akan bisa dihukum. Kaum Sudra dibebani banyak sekali kewajiban, tetapi hampir tidak punya hak apa pun dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kaum Triwangsa.
Larangan asisia-sisia atau nyumuka untuk para Warga Pande, Pasek dan Bhujangga Waisnawa walaupun sudah punya Sulinggih (Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh) namun tidak dibolehkan “muput” upacara dan memberikan “tirta pangentas”. Walaupun itu untuk di keluarganya sendiri. Mereka diharuskan tetap mendatangkan Pedanda untuk muput dan memberikan “tirta pangentas”. Oleh karena larangan ini bertentangan dengan bhisama yang tercantum di masing-masing warga itu, maka warga Pande, Bujangga, Waisnawa dan Pasek tidak mau menurutinya. Hal ini menimbulkan perkara berlarut-larut selama 17 tahun dari tahun 1911-1928 yang akhirnya dimenangkan oleh warga Pande, warga Bhujangga Waisnawa dan warga Pasek.
Keharusan “masor-singgih”, dari kaum Sudra diharuskan berbahasa halus kepada kaum Triwangsa, tetapi Triwangsa boleh-boleh saja berbahasa kasar kepada kaum Sudra. Bila kaum Sudra berbahasa kasar kepada Triwangsa bisa dihukum. Begitu pula masalah pakaian, tempat duduk, sikap badan bentuk dan luas rumah dan lain sebagainya, kaum Sudra harus lebih rendah dari Triwangsa.
Ketaatan dan mytos ketakutan pada “ajawera”, menyebabkan kaum Sudra tidak berani mempelajari Agama, karena takut menjadi gila. Hal ini merupakan obat bius yang sangat begitu ampuh untuk melumpuhkan secara psikologi keberanian kaum Sudra agar mereka selamanya tetap bodoh dan akan terus ketakutan untuk mau belajar.
Ketakutan pada adanya paham Raja-Dewa, kaum Sudra yang bodoh percaya 100% bahwa Rajanya ini adalah memang titisan Dewa sehingga mereka menyebut Rajanya dengan sebutan lda Bhetara, Dewa Agung. Kaum Sudra tidak tahu sama sekali caranya bisa membedakan antara Raja Dewa dengan Raja Raksasa. Walaupun perilaku Rajanya sewenang-wenang dan tidak berperi kemanusiaan, tetapi kaum Sudra tetap taat karena pikirannya sudah dibius dengan paham Raja Dewa yang harus dipujanya. Paham inilah yang melahirkan “Golpar” yaitu golongan parekan yang secara membabi buta membela Rajanya mati matian. Golpar ini merasa sangat bangga jika disayang oleh Rajanya yang dipercaya sebagai “Bhetara sekala” di dunia. Tetapi kaum Sudra yang cerdik tidak mau menjadi Golpar, sebab dia sudah tahu sifat-sifat Dewa adalah penolong, pelindung dan melimpahkan kesejahteraan kepada rakyat sedangkan sifat Rajanya bertolak belakang dengan sifat Dewa.
Ketakutan terhadap rekayasa Titah Dewa” untuk bisa menekan kaum Sudra agar takut melanggar keinginan Triwangsa maka pada lontar-lontar tertentu dicantumkan bahwa jika hal itu dilanggar akan menimbulkan bencana, hama merajalela yang menyebabkan gagal panen, gering (wabah penyakit), gerubug (banyak orang mati) dan sejenisnya. Untuk lebih memperkuat perangkap maut ini, maka disusunlah lontar Hukum Agama, Adigama, Kutaragama dan lain-lain.
Pada Hukum Agama ketentuannya tidak adil yaitu bila kaum Sudra yang bersalah maka hukumannya sangat begitu berat. Tetapi apabila warga Triwangsa yang bersalah maka hukumannya ringan. Dalam hal ini nama Bhagawan Manu dipakai kedok menetapkan demikian agar rakyat ketakutan dan taat terhadap ketentuan itu. Padahal jika kembali ke kitab suci Hindu weda, yang namanya hak dan kewajiban adalah seimbang. Jika raja dan punggawanya punya hak yang besar, maka jika bersalah maka hukumannya juga akan jauh lebih berat dari rakyat biasa karena dia mengetahui hukum tersebut.
Pada lontar Adigama tercantum tentang jual beli manusia. Dari sinilah awal timbulnya perdagangan manusia Bali kepada orang asing yang disebut dengan perdagangan budak. Perdagangan budak memberi keuntungan yang luar biasa bagi Raja-Raja di Bali karena perdagangan ini tidak memerlukan modal. Raja yang berkuasa penuh dengan mudah menjual orang Bali sebagai budak kepada orang asing yang memerlukannya. Untuk memperlancar bisnis itu maka Raja bekerja sama dengan orang Cina dan orang Bugis sebagai perantaranya.
Ada juga beberapa oknum sekarang justru malah semakin menggali wacana untuk bisa mengajegkan ketriwangsaannya itu yang justru malah menimbulkan benang kusut baru tentang masalah adat yang terjadi dimana-mana di bali karena sangat bertentangan dengan hukum adat serta awig-awig adat dan undang-undang pemerintah yang berlaku
sekarang ini. Apabila tidak ada upaya bersama untuk kembali ke jalan tuntunan Weda dantidak mau saling berbenah untuk bisa saling harga menghargai maka ini akan bisa menjadi paradigma baru yang justru akan menghancurkan kaum kita sendiri antar kita sendiri. “Yang bisa hancurkan budayanya sendiri adalah kaumya sendiri bukan karena siapa-siapa”, gesekan-gesekan kecil inilah yang mudah bisa diprovokasi menjadi biang permusuhan antara kita karena sebuah perbedaan yang tidak perlu terjadi!!!!…
“PENJELASAN TENTANG SOROH”
Kalau bisa saya memohon janganlah sekali-kali suka menganalisa atau menafsirkan SOROH seseorang, dengan ukuran SOROH dari kita sendiri yang justru akan membikin kacau dan kedepannya kita akan selalu ribut, hal-halyang sepele. Bali sudah sangat kecil menjadi terpecah belah!!!..
“Pertanyaannya justru kemudian, kita ini soroh siapa?….Dan orang lain soroh siapa?”…. Pelajarilah untuk bisa saling hormat menghornati bukan justru merendahkan mereka yang lain!!.Kalau justru diteliti lebih mengkrucut malah kita semua satu dan bersaudara. Janganlah terlalu menggembar-gemborkan moyang kita tapi lecutlah diri agar mampu untuk melebihi BELIAU, minimlah mampu setara, Agar tidaklah malu cuma menyandang nama besar!!…
Apa batasan soroh itu, mesti sadar harus ditinjau sampai dimana batasan soroh itu ??… Apakah ceritanya itu diawali dari ;
1.bapak, 2.kakek, 3.kumpi, 4.buyut, 5.kelab, 6.kelambiung, 7.krepek, 8.canggah,9.bungkar, 10.wareng, 11.kelewaran, hanya sampai pada ke 11 tingkatan Saja itu soroh, dan di atas klewaran bukanlah soroh kita
Lalu apalah artinya “vasudewa kutumbakam?”..cuma menjadi slogan yang sia sia !#…..
MARI BANGKITLAH bersatu sadar bahwa kita semua bersaudara!!!..Mari kita tingkatkan kwalitas diri dari berbagai macam bentuk keragaman menjadikan harmony yang selaras serasi dan seimbang!!…Semua bisa Pasek kalau ditinjau dari mpu karena hampir semua leluhur kita dari mpu termasuk soroh ida bagus juga,…semua juga bhujangga karena hampir semua mewarisi kebhujanggaan pengikut-Nya dari Rsi Markandya,..semua juga Arya atau Dalem pada saat mendapat gelar penguasa,…. Apakah Bapak Mangku Pastika mesti dirubah jadi cokorda atau jadi dewa agung justru tidak,….!? Bagaimana juga bila seorang tamu asing mau jadi orang Bali apa mereka akan relakah menjadi sudra !?….
#tubaba@rangdilangit#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar