MENCAPAI KEDAMAIAN:
TANTRA SiVA-BUDDHA DI MASA DEPAN*
Acharya Vedananda**
Griya Agung Taman Ganapati,
Muncan, Karangasem.
“Úrì Bajrajñàna Úùnyātmaka Parama sira ring ràt Wiúesa
Lìlaúuddha pratiûþheng hredaya jaya-jayangkên mahàswarga loka,
Eka catreng úarìra anguripi bhùr bhwaá swaá prakiróa
Sàkûàt candra arka pùróa adbhuta ri wijil nira úangka ring Boddhacitta”.
Sutasoma Kakawin I.1.
Úrì Bajrajñāna, berbadan Úùnya tertinggi dan sangat berkuasa di dunia
Memberi kebahagiaan, murni dan di-sthana-kan di dalam hati,
sangat utama, memperoleh kejayaan, bagaikan sorga loka,
Ia yang memayungi badan dan menghidupakan jagatraya, bumi, langit dan sorga,
Bagaikan matahari dan bulan purnama kemunculannya yang mengagumkan
dari Boddhacitta.
Mengenal Tantrāyana
Tantra atau Jalan Tantra (Tantrāyana) sebuah aliran atau sekte yang merupakan
perkembangan dari Agama Hindu-Úiva dan Buddha. Sebenarnya unsur-unsur Tantra berupa
pemujaan kepada Úakti (Shakti) telah dimulai sejak sebelum bangsa Arya memasuki India.
Akar pemujaan kepada Shaktisme - sebuah denominasi Hindu yang memfokuskan pemujaan
kepada Shakti atau Devi, Bunda Ilahi Hindu - menembus jauh ke dalam masa prasejarah
India. Dari penemuan acra Devi yang paling awal (masa paleolitikum India-lebih dari 20.000
tahun yang lalu), melalui pemujaan dewa-dewi pada peradaban Lembah Indus, selama
periode Veda, dan periode-periode berikutnya serta ekspansi penggunaan Bahasa
Sansekerta, dikemukakan bahwa, dalam banyak hal, "sejarah tradisi Hindu dapat dilihat
sebagai kebangkitan kembali feminisme." (Hawley, 1996: 2). Pada peninggalan
Mohenjadaro dan Harappa (3.000 SM) berupa sebuah arca seorang ibu dengan payudaranya
yang subur, menunjukkan adanya pemujaan kepada Dewi Kesuburan atau Úakti. Ketika
Agama Hindu berkembang ditandai dengan masifnya peradaban Veda hampir di seluruh
India, bersamaan dengan hal itu, pemujaan kepada Úakti dan juga Yoga berkembang pesat.
Pada sebagian besar aliran Shaktisme, salah satu sekta yang popular adalah Tantra
(Tantrāyana) - sebuah genre besar yang berasal sejak abad ke-7 M dan hingga abad ke-19.
Menurut Shankaracarya (2002: 140), Tantra berkembang dalam dua marga utama (sadhana)
untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu:
---------------
*Disampaikan dalam acara Dharma Wacana Langkavatara Maha Santipuja yang dipimpin
oleh Vajra Guru Yogi Tan, tanggal 4 Januarin 2020 bertempat di Desa Pemuteran,
Buleleng Barat.
**Acharya Vedananda, abhiseka lengkap Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda,
sewaktu walaka adalah Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D, alamat tempat tinggal di Geriya
Agung Taman Ganapati, Desa Muncan, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.
1) Vamachara (jalan kiri) umumnya mendukung pemujaan eksternal (pemujaan melalui
arca/mùrtipùjā dan lain-lain) dan mengizinkan penggunaan panchamakara (lit. "lima
substansi", merujuk bentuk-bentuk ritual kontroversial tertentu) di berbagai tingkat
dalam keadaan terkendali oleh Guru Tantra yang sering disalah tafsirkan; dan
2) Daksinachara (jalan kanan) umumnya lebih dominan pada penyembahan internal
(teknik meditasi, dan lain-lain) dan pada dasarnya tidak menyetujui panchamakara
dalam keadaan apa pun.
Jalan yang tepat umumnya ditentukan oleh guru berdasarkan sifat pribadi
penyembah - yaitu, tamasic pasu (orang biasa yang tidak secara khusus diberikan untuk
pengajaran spiritual, dan terutama disibukkan dengan hal-hal duniawi); vira rajasic (seorang
pencari spiritual yang aktif dan kuat, tekun serta memenuhi syarat menggunakan bentuk�bentuk sadhana yang lebih intensif); atau sattvic divya (orang suci, yang telah mencapai
tingkat kedewasaan spiritual yang sangat tinggi) - dan berbagai faktor lainnya.
Di sekitar 800 M, Adi Shankara, guru spiritual legendaris pendiri Advaita Vedanta,
secara implisit mengakui filosofi Shakta/Shakti dan liturgi Tantra sebagai bagian dari
Hinduisme arus utama dan masih sangat populer dikenal sebagai Saundaryalahari atau
"Gelombang Kecantikan". Adi Shankara bukanlah tokoh pengikut Shakta yang sektarian,
memiliki pandangan yang moderfat untuk Agama Shakta, mungkin karena popularitasnya
di kalangan pengikutnya (Bhattacharya, 1996: 124). Teks Shakta penting lainnya yang sering
dikaitkan dengan Shankara adalah Mahishasura Mardini Stotra yang sangat menghipnotis,
sebuah himne yang terdiri dari 21 ayat, berasal dari Devi Mahatmya yang merupakan "salah
satu karya terbesar yang ditujukan kepada kekuatan feminin tertinggi." (Shakti
Sadhana.org).
Pada abad ketiga belas, "Tantra telah mengasimilasi sejumlah besar upacara dari
berbagai asal - daerah, suku dan sektarian - [dan] telah mengambil karakter Shakta
sepenuhnya." Sejak abad keempat belas dan seterusnya, pemujaan kepada Shakta-Tantra
telah terjalin ke dalam tekstur semua praktik keagamaan saat ini di India. Pada akhirnya
Tantra merasuk dan tersebar dalam bahasa daerah, serta sastra Sanskerta (Bhattacharya,
1996: 154).
Tantrāyana di Indonesia
Berbagai ajaran Hindu-Úiva-Budha yang disebut sinkretis atau pararel telah ada
dan tercatat dalam sejarah Asia maupun di Indonesia. Di Asia Tenggara, tradisi Úiva dan
Buddha terjalin secara signifikan terutama di Indonesia, Thailand dan Kamboja. Sinkretisme
yang paling maju muncul di Jawa, dalam bentuk agama universal tentang Úiva dan Buddha
yang berinkarnasi dari sumber yang sama. Pada abad ke-8 s.d 14 M di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, kedua agama itu tidak hanya hidup berdampingan secara damai, tetapi juga
bergabung. Selama berabad-abad, pertemuan dan penyatuan ajaran kedua agama secara
progresif terjadi sampai bergabung menjadi agama sinkretis unik yang disebut Úiva-Buddha.
Dengan mengamati kitab-kitab yang berkaitan dengan kedua agama ini, muncul
evolusi pemikiran filosofis di mana kedua agama ini akhirnya bergabung menjadi agama
Úiva-Buddha yang sangat menakjubkan. Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya
mengungkapkan dengan sangat jelas bahwa Úiva dan Buddha adalah satu, tanpa ambiguitas.
“Disebutkan bahwa dua perwujudan-Nya adalah Buddha dan Siwa yang agung, yang tidak
terbelah, sehingga Kebenaran Buddha dan Kebenaran Siwa adalah satu, tidak ada kebenaran
yang mendua (Bhinneka Tunggak Ika Tan Hana Dharma Mangrwa/Sutasoma 139.5).
Prasasti Kelurak di Jawa Tengah (906 A.D.) juga mencatat penggabungan dua agama
tersebut. Banyak relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga mencerminkan
hidup berdampingan secara damai dan harmonis dari kedua agama dalam kehidupan sehari�hari.
Berkaitan dengan kehidupan beragama pada zaman Majapahit sangat jelas dan
sangat penting adalah keberadaan Agama Úiva dan Buddha yang keduanya sangat dekat
hubungannya yang menurut pandangan Prof. Dr. Kern dalam sejarahnya kedua agama ini
tumbuh dan berkembang bersama, yang kemudian diistilahkan vermenging (confluence/
percampuran/dalam Santoso, 1975: 79), namun kenyataannya istilah inilah yang dipakai
sebagai titik tolak dari diskusi ilmiah oleh Krom (1923, I:118,119), Rasser (1959:65,66) dan
Zoetmulder (1968: 301, 303), yang selanjutnya diberi istilah syncretism atau blending
(perpaduan, peleburan). Istilah ini oleh beberapa sarjana lain dianggap menyesatkan karena
dengan munculnya data lebih banyak mengenai kebudayaan kuna Jawa Timur ternyata
bahwa kedua agama, Úiva dan Buddha, tidak berbaur dalam keseluruhan sistemnya. Pigeaud
(1960-1963, IV:3) mengusulkan pararellism, sedang Gonda (1970:28) memberikan istilah
koalisi (coalisition/Sedyawati, 1982: XVI). Penulis pun sepakat dengan pararelisme ini.
Menurut Rasser (1959:65,66) kebudayaan Jawa Kuno (local genius) sangat berperan
dalam pengembangan ajaran Tantra dengan mengacu kepada ceritra Bubhuksah dan Gagak
Aking, yang menggambarkan susunan masyarakat Jawa Kuno, yang pada dasarnya
merupakan mitos nenek moyang. Sejalan dengan hal tersebut, Agama Úiva dan Buddha
adalah dua aspek dari satu agama yang tunggal.
Soewito Santoso melalui disertasinya Boddhakavya-Sutasoma. A Study in Javanese
Vajràyana. Text-Translation-Commentary (1968) dan kemudian diterbitkan di New Delhi
(1975) dengan menggunakan sumber yang lebih banyak, yaitu kutipan-kutipan dari Sang
Hyang Kamahàyanikan, Nàgarakåtàgama, Arjunawijaya, Sutasoma, Tantu Panggêlaran,
Korawàúrama, Bubhukûah dan inkripsi Kêlurak, ia membuktikan bahwa aliran-aliran
agama, khususnya Úivaisme dan Buddhisme, pada prakteknya masih selalu merupakan
agama yang terpisah; juga ditunjukkannya bahwa Buddha selalu, terutama dalam Sutasoma
dianggap lebih unggul dari pada Úiva (Santoso, 1968: 75 dan seterusnya 113-114, 123, 133
dst. 150 (Ibid., XVIII). Demikian pula di Bali, pada pura-pura yang besar tidak ditemukan
arca Sang Buddha, namun dalam pelaksanaan upacara yang besar selalu mengikut sertakan
pandita Bauddha.
J. Gonda dalam tulisannya Úiva in Indonesien (Úiva di Indonesia) pada tahun 1970
menunjukkan bahwa penyamaan-penyamaan antara Dewa-Dewa Úiva dengan Dewa-Dewa
Buddha itu tidak hanya terjadi di Jawa, melainkan juga di Kamboja, Nepal dan India sendiri.
Kebudayaan asli bukanlah satu-satunya pendorong terjadinya “koalisi” antara Agama Úiva
dan Buddha (Ibid.XIX), Haryati Subadio (1971: 55-57) menyetujui istilah “koalisi” yang
diajukan oleh Gonda, dan menekankan bahwa identifikasi Hindu-Buddha yang dinyatakan
oleh naskah-naskah Jawa Kuno seperti Arjunawijaya, Sutasoma, Nàgarakåtàgama dan
Kuñjarakaróa prosa maupun kakawin, hanyalah mengenai prinsip tertinggi beserta segala
manifestasi-Nya.
S. Supomo, yang menerbitkan kakawin Arjunawijaya (1977), yaitu kakawin tulisan
Mpu Tantular yang juga menulis Sutasoma, menunjukkan bahwa Mpu Tantular di era
Majapahit tidak memuja Úiva ataupun Buddha, melainkan dewa pribadinya, yang disebut Úrì
Parvataràjadeva. Jika kedua kakawin karangan Tantular sebelumnya selalu dikutip adanya
penyamaan Dewa-Dewa Úaiva (pengikut Úiva) dengan Bauddha (pengikut Buddha), maka
Supomo mengambil kesimpulan bahwa Parvataràjadeva ini adalah dewa penyatuan utama
(pemersatu nasional); Dia bukan Úiva dan bukan Buddha, melainkan Úiva-Buddha seperti
yang disebut oleh Prapañca: ia adalah “nàtha ning anàtha” (Pelindung dari Yang Mutlak),
“pati ning jagatpati” (Raja dari Raja Dunia) dan “hyang ning hyang iniûþi” (Dewa dari segala
Dewa Pribadi). Úiva maupun Buddha adalah perwujudan dari padanya. Dari perbandingan
berbagai ungkapan dalam kakawin-kakawin di atas, Supomo menduga bahwa para “wiku”
(pandita Úiva-Buddha) yang hidup dalam lingkungan alam pegunungan merupakan sumber
ilmu, bahkan raja Majapahit pun datang untuk membahas masalah-masalah kejiwaan.
Tempat tinggal para “wiku” yang disebut “karêûyan”, sekaligus diduga sebagai tempat
membahas ajaran-ajaran Úaiva maupun Bauddha, dan kemudian menumbuhkan pemujaan
kepada Dewa Raja Gunung (Supomo, 1977, I: 69-82). Atas dasar kutipan dan argumentasi
tersebut, Edi Sedyawati, (1982: XX) menyatakan: “Adapun istilah Úivaisme-Buddhisme
digunakan karena dalam ajaran yang diungkapkan oleh Tantular dan Prapañca itu, Úiva�Buddha adalah Dewa Tertinggi yang mempunyai Úiva dan Buddha sebagai aspek�aspeknya”.
Baik Ajaran Hindu (Úivaisme) maupun Buddhisme (Vajrāyana) sesungguhnya
menekankan pada pengorbanan (yajña) dan cinta kasih yang sejati (parama-prema). Dan hal
ini memberi ciri inklusifiesme Agama Hindu dan Buddha dalam sejarah Indonesia.
Tantrāyana di Bali Dewasa Ini
Perkembangan Tantra atau Tantrāyana dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan
atau perjalanan agama Hindu di Bali. Studi pustaka berupa lontar (manuskrip) tentang Úaiva
dan Bauddha di Bali merupakan kelanjutan dan pewarisan dari lontar-lontar berbahasa Jawa
Kuno yang mulai masuk ke Bali sejak perkawinan Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni
(putri Prabhu Dharmawangsa di Jawa Timur) dengan Raja Dharma Udayana Warmadewa
(abad 11 M). Pada masa itu terjadi Javanisasi tidak hanya berupa kedatangan manuskrip
berbahasa Jawa Kuno ke Bali, tetapi juga prasasti-prasasti yang tadinya berbahasa Bali Kuna
digantikan dengan prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuno. Sebenarnya cukup banyak lontar�lontar yang mengajarkan Tantra atau Tantrāyana di Indonesia maupun di Bali, seperti halnya
penelitian I Ketut Sandika, Tantra, Ilmu Kuno Nusantara (2018) terbitan Javanica Kaurama
yang membahas bagaimana Tantra dipraktekkan di Bali di masa lalu dan kini.
Michele Stephen dalam penelitiannya (2015) berjudul Sūrya-Sevana: Une Pratique
Tantrique Balinaise (Sùrya-Sevana: A Balinese Tantric Practice) dalam resumenya
menyatakan:
“Jejak unsur-unsur Tantra dalam budaya Bali telah sering diidentifikasi oleh para
peneliti Barat, namun mereka tidak konsisten dan sistematis. Pengaruh Tantra dalam peran
pandita Úiva, telah diakui, tetapi jarang diperiksa secara rinci. Ritual sehari-hari, Sùrya�sevana, yang dilakukan oleh para pandita Úiva, telah dikenal oleh para sarjana asing selama
hampir lima puluh tahun berkat terjemahan dan komentar oleh Hooykaas (1966). Dalam
artikel ini, saya berpendapat bahwa ritual Sùrya-sevana (dari perspektif pengetahuan terbaru
tentang Tantrisme), mengungkapkan penggabungan filosofi Tantra Kuna, simbol dan ritual
yang secara keseluruhan sangat menyerupai sādhanā dari pengikut Tantrisme, dikenal dalam
literatur Asia Selatan. Hal ini menempatkan ajaran dan ritual Tantra di jantung otoritas
keagamaan dan spiritual Bali, dengan demikian menentang gagasan bahwa pengaruh
semacam itu bersifat periferal, hanya terdiri dari unsur-unsur yang tersebar dan tidak terkait.
Begitu unsur-unsur Tantra dikenali apa adanya, ritual-ritual Sùrya-sevana menunjukkan
struktur dan makna yang jelas, yang walaupun tampak unik, secara alami, jelas bersifat
Tantra”.
Sejalan dengan resume penelitian Michele Stephen di atas, dapat dikatakan bahwa
praktek pemujaan sehari-hari dari para Pandita Bauddha di Bali adalah juga Tantra atau Tantrāyana seperti disebutkan dalam buku Sang Kamahāyanikan yang sangat kental dengan
ciri atau nuansa Tantra atau Vajrāyana, di samping buku-buku karya C. Hooykaas seperti
Balinese Bauddha Brahmans (1974) dan lain-lain. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
para pandita Hindu di Bali adalah juga mempraktekkan ajaran Tantra Kuna Úiva dan Buddha.
Simpulan
Mengingat perkembangan dan kemajuan teknologi dan informasi, maka segala
sesuatunya dewasa ini sifatnya terbuka. Demikian pula kehadiran Vajra Guru Yogi Tan di
Bali tentu banyak memberikan pelajaran dan inspirasi, karena hakekatnya setiap agama
adalah untuk kemuliaan hidup. Agama Hindu dan Buddha termasuk Tantra di Bali bukanlah
hal yang baru dan telah terpatri dalam hati masyarakat Bali.
Kakawin Sutasoma yang diungkapkan pada bagian manggala-nya (seperti dikutip
pada bagian awal tulisan ini) sangat populer dibaca, dinyanyikan dan didiskusikan dalam
acara ‘pasantian’ sehari-hari terutama dalam acara keagamaan menunjukan kecintaan
masyarakat Bali terhadap warisan leluhurnya. Ajaran agama Úiva dan Buddha yang inklusif
mewujudkan kedamaian sangat mudah diterima, sebagai alternatif untuk memperkuat
Úraddhā dan Bhakti umat Hindu yang muaranya memperkaya dan memperkuat khasanah
budaya Bali. Semoga melalui acara Dharma Wacana ini kita semua memperoleh
pencerahan’.
Om Santih Santih Santih Om
Daftar Pustaka
Bhattacharya, NN, 1974. History of Saktagama, Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd.
(New Delhi, 2d ed. 1996).
Hawley, John Stratton (ed.) and Wulff, Donna Marie (ed.),1996, Devi: Devi India. USA:
University of California Press.
Hooykaas, C. 1974. Balinese Bauddha Brahmans, Amsterdam: Royal Netherlands Academy
of Arts & Sciences.
Kern, JCH, Rasser, W. H. 1982. Úiva dan Buddha, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Santoso, Soewito. 1975. Sutasoma, A Study in Javanese Vàjràyana, New Delhi:
International Academy of Indian Culture.
Sedyawati, Edi. 1982. Kata Pengantar Buku Úiva dan Buddha, Kern, J.C.H., Rasser, W. H.
Jakarta: Penerbit, Djambatan,
Shankarnarayanan, S.2002.The Ten Great Cosmic Powers, Dasa Mahavidyas . Chennai:
Samata Books
Stephen, Michele. 2015. Sūrya-Sevana: Une Pratique Tantrique Balinaise (Sùrya-Sevana: A
Balinese Tantric Practice, Études interdisciplinaires sur le monde insulindien.
Archipel. Sommaire Document précédent 89 | 2015 Varia Emprunts et
réinterprétations.
---------------- Shakti Sadhana.org. diunduh 1 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar