Jumat, 03 Januari 2020

MENCAPAI KEDAMAIAN LEWAT AJARAN TANTRA SIVA-BUDDHA DI MASA DEPAN


MENCAPAI KEDAMAIAN: 
TANTRA SiVA-BUDDHA DI MASA DEPAN*
Acharya Vedananda**
Griya Agung Taman Ganapati, 
Muncan, Karangasem.
“Úrì Bajrajñàna Úùnyātmaka Parama sira ring ràt Wiúesa
Lìlaúuddha pratiûþheng hredaya jaya-jayangkên mahàswarga loka,
Eka catreng úarìra anguripi bhùr bhwaá swaá prakiróa
Sàkûàt candra arka pùróa adbhuta ri wijil nira úangka ring Boddhacitta”.
Sutasoma Kakawin I.1.
Úrì Bajrajñāna, berbadan Úùnya tertinggi dan sangat berkuasa di dunia
Memberi kebahagiaan, murni dan di-sthana-kan di dalam hati, 
sangat utama, memperoleh kejayaan, bagaikan sorga loka,
Ia yang memayungi badan dan menghidupakan jagatraya, bumi, langit dan sorga,
Bagaikan matahari dan bulan purnama kemunculannya yang mengagumkan 
dari Boddhacitta.
Mengenal Tantrāyana 
Tantra atau Jalan Tantra (Tantrāyana) sebuah aliran atau sekte yang merupakan 
perkembangan dari Agama Hindu-Úiva dan Buddha. Sebenarnya unsur-unsur Tantra berupa 
pemujaan kepada Úakti (Shakti) telah dimulai sejak sebelum bangsa Arya memasuki India. 
Akar pemujaan kepada Shaktisme - sebuah denominasi Hindu yang memfokuskan pemujaan
kepada Shakti atau Devi, Bunda Ilahi Hindu - menembus jauh ke dalam masa prasejarah 
India. Dari penemuan acra Devi yang paling awal (masa paleolitikum India-lebih dari 20.000 
tahun yang lalu), melalui pemujaan dewa-dewi pada peradaban Lembah Indus, selama 
periode Veda, dan periode-periode berikutnya serta ekspansi penggunaan Bahasa
Sansekerta, dikemukakan bahwa, dalam banyak hal, "sejarah tradisi Hindu dapat dilihat 
sebagai kebangkitan kembali feminisme." (Hawley, 1996: 2). Pada peninggalan 
Mohenjadaro dan Harappa (3.000 SM) berupa sebuah arca seorang ibu dengan payudaranya 
yang subur, menunjukkan adanya pemujaan kepada Dewi Kesuburan atau Úakti. Ketika 
Agama Hindu berkembang ditandai dengan masifnya peradaban Veda hampir di seluruh 
India, bersamaan dengan hal itu, pemujaan kepada Úakti dan juga Yoga berkembang pesat.
Pada sebagian besar aliran Shaktisme, salah satu sekta yang popular adalah Tantra
(Tantrāyana) - sebuah genre besar yang berasal sejak abad ke-7 M dan hingga abad ke-19. 
Menurut Shankaracarya (2002: 140), Tantra berkembang dalam dua marga utama (sadhana)
untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu:
---------------
 *Disampaikan dalam acara Dharma Wacana Langkavatara Maha Santipuja yang dipimpin 
oleh Vajra Guru Yogi Tan, tanggal 4 Januarin 2020 bertempat di Desa Pemuteran, 
Buleleng Barat.
**Acharya Vedananda, abhiseka lengkap Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda, 
sewaktu walaka adalah Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D, alamat tempat tinggal di Geriya 
Agung Taman Ganapati, Desa Muncan, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.
1) Vamachara (jalan kiri) umumnya mendukung pemujaan eksternal (pemujaan melalui 
arca/mùrtipùjā dan lain-lain) dan mengizinkan penggunaan panchamakara (lit. "lima 
substansi", merujuk bentuk-bentuk ritual kontroversial tertentu) di berbagai tingkat 
dalam keadaan terkendali oleh Guru Tantra yang sering disalah tafsirkan; dan 
2) Daksinachara (jalan kanan) umumnya lebih dominan pada penyembahan internal
(teknik meditasi, dan lain-lain) dan pada dasarnya tidak menyetujui panchamakara
dalam keadaan apa pun. 
Jalan yang tepat umumnya ditentukan oleh guru berdasarkan sifat pribadi
penyembah - yaitu, tamasic pasu (orang biasa yang tidak secara khusus diberikan untuk 
pengajaran spiritual, dan terutama disibukkan dengan hal-hal duniawi); vira rajasic (seorang 
pencari spiritual yang aktif dan kuat, tekun serta memenuhi syarat menggunakan bentuk�bentuk sadhana yang lebih intensif); atau sattvic divya (orang suci, yang telah mencapai 
tingkat kedewasaan spiritual yang sangat tinggi) - dan berbagai faktor lainnya. 
Di sekitar 800 M, Adi Shankara, guru spiritual legendaris pendiri Advaita Vedanta, 
secara implisit mengakui filosofi Shakta/Shakti dan liturgi Tantra sebagai bagian dari 
Hinduisme arus utama dan masih sangat populer dikenal sebagai Saundaryalahari atau 
"Gelombang Kecantikan". Adi Shankara bukanlah tokoh pengikut Shakta yang sektarian,
memiliki pandangan yang moderfat untuk Agama Shakta, mungkin karena popularitasnya 
di kalangan pengikutnya (Bhattacharya, 1996: 124). Teks Shakta penting lainnya yang sering 
dikaitkan dengan Shankara adalah Mahishasura Mardini Stotra yang sangat menghipnotis, 
sebuah himne yang terdiri dari 21 ayat, berasal dari Devi Mahatmya yang merupakan "salah 
satu karya terbesar yang ditujukan kepada kekuatan feminin tertinggi." (Shakti 
Sadhana.org).
Pada abad ketiga belas, "Tantra telah mengasimilasi sejumlah besar upacara dari 
berbagai asal - daerah, suku dan sektarian - [dan] telah mengambil karakter Shakta 
sepenuhnya." Sejak abad keempat belas dan seterusnya, pemujaan kepada Shakta-Tantra 
telah terjalin ke dalam tekstur semua praktik keagamaan saat ini di India. Pada akhirnya 
Tantra merasuk dan tersebar dalam bahasa daerah, serta sastra Sanskerta (Bhattacharya, 
1996: 154).
Tantrāyana di Indonesia 
Berbagai ajaran Hindu-Úiva-Budha yang disebut sinkretis atau pararel telah ada
dan tercatat dalam sejarah Asia maupun di Indonesia. Di Asia Tenggara, tradisi Úiva dan 
Buddha terjalin secara signifikan terutama di Indonesia, Thailand dan Kamboja. Sinkretisme 
yang paling maju muncul di Jawa, dalam bentuk agama universal tentang Úiva dan Buddha 
yang berinkarnasi dari sumber yang sama. Pada abad ke-8 s.d 14 M di Jawa Tengah dan 
Jawa Timur, kedua agama itu tidak hanya hidup berdampingan secara damai, tetapi juga 
bergabung. Selama berabad-abad, pertemuan dan penyatuan ajaran kedua agama secara 
progresif terjadi sampai bergabung menjadi agama sinkretis unik yang disebut Úiva-Buddha.
Dengan mengamati kitab-kitab yang berkaitan dengan kedua agama ini, muncul 
evolusi pemikiran filosofis di mana kedua agama ini akhirnya bergabung menjadi agama 
Úiva-Buddha yang sangat menakjubkan. Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya 
mengungkapkan dengan sangat jelas bahwa Úiva dan Buddha adalah satu, tanpa ambiguitas.
“Disebutkan bahwa dua perwujudan-Nya adalah Buddha dan Siwa yang agung, yang tidak 
terbelah, sehingga Kebenaran Buddha dan Kebenaran Siwa adalah satu, tidak ada kebenaran 
yang mendua (Bhinneka Tunggak Ika Tan Hana Dharma Mangrwa/Sutasoma 139.5). 
Prasasti Kelurak di Jawa Tengah (906 A.D.) juga mencatat penggabungan dua agama
tersebut. Banyak relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga mencerminkan 
hidup berdampingan secara damai dan harmonis dari kedua agama dalam kehidupan sehari�hari.
Berkaitan dengan kehidupan beragama pada zaman Majapahit sangat jelas dan 
sangat penting adalah keberadaan Agama Úiva dan Buddha yang keduanya sangat dekat 
hubungannya yang menurut pandangan Prof. Dr. Kern dalam sejarahnya kedua agama ini 
tumbuh dan berkembang bersama, yang kemudian diistilahkan vermenging (confluence/
percampuran/dalam Santoso, 1975: 79), namun kenyataannya istilah inilah yang dipakai 
sebagai titik tolak dari diskusi ilmiah oleh Krom (1923, I:118,119), Rasser (1959:65,66) dan 
Zoetmulder (1968: 301, 303), yang selanjutnya diberi istilah syncretism atau blending
(perpaduan, peleburan). Istilah ini oleh beberapa sarjana lain dianggap menyesatkan karena 
dengan munculnya data lebih banyak mengenai kebudayaan kuna Jawa Timur ternyata 
bahwa kedua agama, Úiva dan Buddha, tidak berbaur dalam keseluruhan sistemnya. Pigeaud 
(1960-1963, IV:3) mengusulkan pararellism, sedang Gonda (1970:28) memberikan istilah 
koalisi (coalisition/Sedyawati, 1982: XVI). Penulis pun sepakat dengan pararelisme ini.
Menurut Rasser (1959:65,66) kebudayaan Jawa Kuno (local genius) sangat berperan
dalam pengembangan ajaran Tantra dengan mengacu kepada ceritra Bubhuksah dan Gagak
Aking, yang menggambarkan susunan masyarakat Jawa Kuno, yang pada dasarnya 
merupakan mitos nenek moyang. Sejalan dengan hal tersebut, Agama Úiva dan Buddha 
adalah dua aspek dari satu agama yang tunggal.
Soewito Santoso melalui disertasinya Boddhakavya-Sutasoma. A Study in Javanese 
Vajràyana. Text-Translation-Commentary (1968) dan kemudian diterbitkan di New Delhi 
(1975) dengan menggunakan sumber yang lebih banyak, yaitu kutipan-kutipan dari Sang 
Hyang Kamahàyanikan, Nàgarakåtàgama, Arjunawijaya, Sutasoma, Tantu Panggêlaran, 
Korawàúrama, Bubhukûah dan inkripsi Kêlurak, ia membuktikan bahwa aliran-aliran 
agama, khususnya Úivaisme dan Buddhisme, pada prakteknya masih selalu merupakan 
agama yang terpisah; juga ditunjukkannya bahwa Buddha selalu, terutama dalam Sutasoma 
dianggap lebih unggul dari pada Úiva (Santoso, 1968: 75 dan seterusnya 113-114, 123, 133 
dst. 150 (Ibid., XVIII). Demikian pula di Bali, pada pura-pura yang besar tidak ditemukan 
arca Sang Buddha, namun dalam pelaksanaan upacara yang besar selalu mengikut sertakan 
pandita Bauddha.
J. Gonda dalam tulisannya Úiva in Indonesien (Úiva di Indonesia) pada tahun 1970 
menunjukkan bahwa penyamaan-penyamaan antara Dewa-Dewa Úiva dengan Dewa-Dewa 
Buddha itu tidak hanya terjadi di Jawa, melainkan juga di Kamboja, Nepal dan India sendiri. 
Kebudayaan asli bukanlah satu-satunya pendorong terjadinya “koalisi” antara Agama Úiva 
dan Buddha (Ibid.XIX), Haryati Subadio (1971: 55-57) menyetujui istilah “koalisi” yang 
diajukan oleh Gonda, dan menekankan bahwa identifikasi Hindu-Buddha yang dinyatakan 
oleh naskah-naskah Jawa Kuno seperti Arjunawijaya, Sutasoma, Nàgarakåtàgama dan 
Kuñjarakaróa prosa maupun kakawin, hanyalah mengenai prinsip tertinggi beserta segala 
manifestasi-Nya.
S. Supomo, yang menerbitkan kakawin Arjunawijaya (1977), yaitu kakawin tulisan 
Mpu Tantular yang juga menulis Sutasoma, menunjukkan bahwa Mpu Tantular di era 
Majapahit tidak memuja Úiva ataupun Buddha, melainkan dewa pribadinya, yang disebut Úrì 
Parvataràjadeva. Jika kedua kakawin karangan Tantular sebelumnya selalu dikutip adanya 
penyamaan Dewa-Dewa Úaiva (pengikut Úiva) dengan Bauddha (pengikut Buddha), maka 
Supomo mengambil kesimpulan bahwa Parvataràjadeva ini adalah dewa penyatuan utama
(pemersatu nasional); Dia bukan Úiva dan bukan Buddha, melainkan Úiva-Buddha seperti 
yang disebut oleh Prapañca: ia adalah “nàtha ning anàtha” (Pelindung dari Yang Mutlak), 
“pati ning jagatpati” (Raja dari Raja Dunia) dan “hyang ning hyang iniûþi” (Dewa dari segala 
Dewa Pribadi). Úiva maupun Buddha adalah perwujudan dari padanya. Dari perbandingan 
berbagai ungkapan dalam kakawin-kakawin di atas, Supomo menduga bahwa para “wiku”
(pandita Úiva-Buddha) yang hidup dalam lingkungan alam pegunungan merupakan sumber 
ilmu, bahkan raja Majapahit pun datang untuk membahas masalah-masalah kejiwaan. 
Tempat tinggal para “wiku” yang disebut “karêûyan”, sekaligus diduga sebagai tempat 
membahas ajaran-ajaran Úaiva maupun Bauddha, dan kemudian menumbuhkan pemujaan 
kepada Dewa Raja Gunung (Supomo, 1977, I: 69-82). Atas dasar kutipan dan argumentasi 
tersebut, Edi Sedyawati, (1982: XX) menyatakan: “Adapun istilah Úivaisme-Buddhisme
digunakan karena dalam ajaran yang diungkapkan oleh Tantular dan Prapañca itu, Úiva�Buddha adalah Dewa Tertinggi yang mempunyai Úiva dan Buddha sebagai aspek�aspeknya”.
Baik Ajaran Hindu (Úivaisme) maupun Buddhisme (Vajrāyana) sesungguhnya
menekankan pada pengorbanan (yajña) dan cinta kasih yang sejati (parama-prema). Dan hal 
ini memberi ciri inklusifiesme Agama Hindu dan Buddha dalam sejarah Indonesia.
Tantrāyana di Bali Dewasa Ini 
Perkembangan Tantra atau Tantrāyana dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan 
atau perjalanan agama Hindu di Bali. Studi pustaka berupa lontar (manuskrip) tentang Úaiva 
dan Bauddha di Bali merupakan kelanjutan dan pewarisan dari lontar-lontar berbahasa Jawa 
Kuno yang mulai masuk ke Bali sejak perkawinan Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni 
(putri Prabhu Dharmawangsa di Jawa Timur) dengan Raja Dharma Udayana Warmadewa
(abad 11 M). Pada masa itu terjadi Javanisasi tidak hanya berupa kedatangan manuskrip 
berbahasa Jawa Kuno ke Bali, tetapi juga prasasti-prasasti yang tadinya berbahasa Bali Kuna 
digantikan dengan prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuno. Sebenarnya cukup banyak lontar�lontar yang mengajarkan Tantra atau Tantrāyana di Indonesia maupun di Bali, seperti halnya 
penelitian I Ketut Sandika, Tantra, Ilmu Kuno Nusantara (2018) terbitan Javanica Kaurama 
yang membahas bagaimana Tantra dipraktekkan di Bali di masa lalu dan kini.
Michele Stephen dalam penelitiannya (2015) berjudul Sūrya-Sevana: Une Pratique 
Tantrique Balinaise (Sùrya-Sevana: A Balinese Tantric Practice) dalam resumenya
menyatakan:
“Jejak unsur-unsur Tantra dalam budaya Bali telah sering diidentifikasi oleh para 
peneliti Barat, namun mereka tidak konsisten dan sistematis. Pengaruh Tantra dalam peran
pandita Úiva, telah diakui, tetapi jarang diperiksa secara rinci. Ritual sehari-hari, Sùrya�sevana, yang dilakukan oleh para pandita Úiva, telah dikenal oleh para sarjana asing selama 
hampir lima puluh tahun berkat terjemahan dan komentar oleh Hooykaas (1966). Dalam 
artikel ini, saya berpendapat bahwa ritual Sùrya-sevana (dari perspektif pengetahuan terbaru 
tentang Tantrisme), mengungkapkan penggabungan filosofi Tantra Kuna, simbol dan ritual 
yang secara keseluruhan sangat menyerupai sādhanā dari pengikut Tantrisme, dikenal dalam 
literatur Asia Selatan. Hal ini menempatkan ajaran dan ritual Tantra di jantung otoritas 
keagamaan dan spiritual Bali, dengan demikian menentang gagasan bahwa pengaruh 
semacam itu bersifat periferal, hanya terdiri dari unsur-unsur yang tersebar dan tidak terkait. 
Begitu unsur-unsur Tantra dikenali apa adanya, ritual-ritual Sùrya-sevana menunjukkan 
struktur dan makna yang jelas, yang walaupun tampak unik, secara alami, jelas bersifat 
Tantra”.
Sejalan dengan resume penelitian Michele Stephen di atas, dapat dikatakan bahwa 
praktek pemujaan sehari-hari dari para Pandita Bauddha di Bali adalah juga Tantra atau Tantrāyana seperti disebutkan dalam buku Sang Kamahāyanikan yang sangat kental dengan 
ciri atau nuansa Tantra atau Vajrāyana, di samping buku-buku karya C. Hooykaas seperti 
Balinese Bauddha Brahmans (1974) dan lain-lain. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa 
para pandita Hindu di Bali adalah juga mempraktekkan ajaran Tantra Kuna Úiva dan Buddha.
Simpulan 
Mengingat perkembangan dan kemajuan teknologi dan informasi, maka segala 
sesuatunya dewasa ini sifatnya terbuka. Demikian pula kehadiran Vajra Guru Yogi Tan di 
Bali tentu banyak memberikan pelajaran dan inspirasi, karena hakekatnya setiap agama 
adalah untuk kemuliaan hidup. Agama Hindu dan Buddha termasuk Tantra di Bali bukanlah 
hal yang baru dan telah terpatri dalam hati masyarakat Bali. 
Kakawin Sutasoma yang diungkapkan pada bagian manggala-nya (seperti dikutip
pada bagian awal tulisan ini) sangat populer dibaca, dinyanyikan dan didiskusikan dalam 
acara ‘pasantian’ sehari-hari terutama dalam acara keagamaan menunjukan kecintaan 
masyarakat Bali terhadap warisan leluhurnya. Ajaran agama Úiva dan Buddha yang inklusif
mewujudkan kedamaian sangat mudah diterima, sebagai alternatif untuk memperkuat 
Úraddhā dan Bhakti umat Hindu yang muaranya memperkaya dan memperkuat khasanah 
budaya Bali. Semoga melalui acara Dharma Wacana ini kita semua memperoleh 
pencerahan’.
Om Santih Santih Santih Om

Daftar Pustaka 
Bhattacharya, NN, 1974. History of Saktagama, Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd. 
(New Delhi, 2d ed. 1996).
Hawley, John Stratton (ed.) and Wulff, Donna Marie (ed.),1996, Devi: Devi India. USA:
University of California Press.
Hooykaas, C. 1974. Balinese Bauddha Brahmans, Amsterdam: Royal Netherlands Academy 
of Arts & Sciences.
Kern, JCH, Rasser, W. H. 1982. Úiva dan Buddha, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Santoso, Soewito. 1975. Sutasoma, A Study in Javanese Vàjràyana, New Delhi: 
International Academy of Indian Culture.
Sedyawati, Edi. 1982. Kata Pengantar Buku Úiva dan Buddha, Kern, J.C.H., Rasser, W. H. 
Jakarta: Penerbit, Djambatan, 
Shankarnarayanan, S.2002.The Ten Great Cosmic Powers, Dasa Mahavidyas . Chennai: 
Samata Books 
Stephen, Michele. 2015. Sūrya-Sevana: Une Pratique Tantrique Balinaise (Sùrya-Sevana: A 
Balinese Tantric Practice, Études interdisciplinaires sur le monde insulindien. 
Archipel. Sommaire Document précédent 89 | 2015 Varia Emprunts et 
réinterprétations.
---------------- Shakti Sadhana.org. diunduh 1 Januari 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar