WIWAHA SAMSKARA
Samskara itu merupakan upacara keagamaan yang bertujuan untuk menyucikan badan dan menjadikannya sempurna, agar layak memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keadaan diri yang bersih atau suci itulah diharapkan Sang Hyang Widhi Wasa berkenan memberikan anugerah bahkan meragasukma pada diri manusia.
Pelaksanaan samskara bukan merupakan kebiasaan yang melembaga dalam masyarakat, melainkan pelaksanaan samskara itu adalah perintah agama yang dinyatakan di dalam kitab Weda Smerti II.26 yang berbunyi :
“Waidikah karmabhih punyair, nisekadir durijanmanam, karyah sarira samskarah, pawanah pretyaceha ca”.
Artinya :
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka suci Weda, para dwijati hendaknya melaksanakan upacara-upacara suci pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim ibu dan upacara-upacara kemanusiaan lainnya, sehingga dapat menyucikan diri dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal.
Jadi Wiwaha Samskara merupakan upacara perkawinan untuk memasuki tingkat hidup grihastha asrama, dengan tujuan untuk melanjutkan garis keturunan dan memenuhi kewajiban secara sempurna. Pelaksanaan Wiwaha Samskara harus bersaksi kepada Sang Hyang Widhi Wasa melalui agni homa atau semacam widhi wedana (makalan-kalan) sehingga kedua mempelai dianggap bersih jasmani dan rohaninya, selanjutnya dapat hidup sah sebagai suami istri baik secara duniawi maupun spiritual.
MAKA DARI ITULAH Pasraman RANGDILANGIT, Yayasan Widya Daksa Dharma, Griya Agung Bangkasa Jalan Tangsub No 4, Banjar Pengembungan, Desa Bongkada, Abiansemal, Badung, Bali mencoba melakukan upaya meringankan beban umat Hindu dalam ritual keagamaan khususnya dalam upacara perkawinan (WIWAHA SAMSKARA).
Selain melayani metatah massal, bayuh sapuh leger dan bebayuhan lainnya, kini Pasraman RANGDILANGIT, Yayasan Widya Daksa Dharma, Griya Agung Bangkasa melebarkan pengabdian ke bidang ritual pernikahan (WIWAHA SAMSKARA)
Ritual pernikahan (WIWAHA SAMSKARA) biasanya menghabiskan biaya yang relatif mahal.
Namun di Pasraman RANGDILANGIT, Yayasan Widya Daksa Dharma, Griya Agung Bangkasa ini pada tgl 27 Desember 2019 melaksanakan pernikahan (WIWAHA SAMSKARA) :
MADE DIMAS AGUS SUPRYATNA.
ANAK LAKI-LAKI DARI:
I WAYAN SUKADIANA.
NI MADE SUPARMI.
Jl. Ayani Gg. Satria I, No: 29, Br. Kertasari, Peguyangan, Denpasar Utara.
Dengan istri:
NI KADEK CITRA AGUSTINI.
ANAK PEREMPUAN DARI:
I KETUT SUTAMA.
NI MADE RAI WARDANI.
Bahkan sudah termasuk resepsi sekelas hotel bintang lima, untuk 100 orang tamu undangan.
Pemilik Pasraman RANGDILANGIT, Yayasan Widya Daksa Dharma, Griya Agung Bangkasa, sebelum melayani ritual keagamaan, hanya melayani pembuatan banten upakara. Namun mulai tahun 2013, Ida Sunuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba mendirikan Yayasan Widya Daksa Dharma yang telah berbadan hukum, hal ini dilakukan karena umat memintanya agar langsung melayani prosesi ritual demi meringankan dan melancarkan upacara yadnya.
Oleh sebab itu dalam pelaksanaan upacara perkawinan (WIWAHA SAMSKARA) di Pasraman RANGDILANGIT, Yayasan Widya Daksa Dharma, Griya Agung Bangkasa, tetap berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat. Maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan sekedarnya dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
#tubaba@aluhngantendibali#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar