Minggu, 29 Maret 2020

MATI DOGEN DI BALI KEWEH

"Mati Dogen di Bali Keweh" 
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Pernyataan seperti itu sering terlontar dalam perbincangan di masyarkat, hal itu bukan disebabkan oleh terjadinya perubahan jaman.

Akan tetapi disebabkan oleh lamban dan kurangnya penganalisaan dari para prajuru adat di tempat tersebut, begitu juga sarati banten, masyarakat adat bahkan juga sang sulinggih untuk mengantisipasi sekaligus menyikapi dampak perubahan tersebut.

Sebenarnya istilah mati dogen di Bali keweh, tidak perlu ada apabila masyarakat adat, prajuru adat, sarati banten dan para sulinggih membuka diri dengan membuka wawasan ke depan. Sehinggga fenomena pengabenan ke krematorium bisa dikurangi dengan sendirinya dan tradisi gotong royong dan pesuka-dukan bisa diajegkan.
Salah satu ciri khas agama Hindu di Bali adalah upakara atau banten, sehingga tiada hari tanpa melaksanakan upacara atau mempersembahkan banten ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud bhakti dan terima kasih atas berkah-Nya.

Tetapi, ada baiknya, dalam melaksanakan upacara, agar disesuaikan dengan K3S2 (Kemauan, Kemampuan, Keikhlasan, Sikon dan Sastra) atau tergantung keadaan masing-masing, terutama keadaan ekonomi.

Sehingga nantinya, upacara terutama Pitra Yadnya dapat dilaksanakan dengan tulus ikhlas tanpa paksaan.

Makna itulah yang ingin titiang tekankan dalam tulisan ini, agar sang tri manggalaning yadnya (sang yajamana=sang adruwe karya; sang pamuput dan sang tapeni/tukang banten) mampu melaksanakan ‘Upacara Pangabenan Sunia Nis Prateka Nir Prabhawa' sebagai sebuah pilihan bagi umat Hindu di jaman multidimensional dewasa ini

Ampura menurut pendapat titiang solusi untuk mengatasi adanya permasalahan khususnya dalam hal pengabenan kita harus berani melakukan pembenahan, karena semua orang akan mati dan waktu kamatian itu tidak bisa kita prediksi.

Sehingga untuk mengatasi kesepekan banjar desa yaitu prajuru adat atau banjar dan masyarakat banjar adat, harus dapat menyadari bahwa masyarakatnya yang berada di luar desa adatnya untuk mencari kerja demi kesejahteraan mereka dan keluarga yang berimbas kepada desa.

Hal ini sepatutnya diapresiasi dan dapat diberikan suatu dispensasi dan keringanan didalam pelaksanaan pekerjaan adat yang tidak begitu penting. Dan jangan sebaliknya, justru hal ini dipakai sebagai ajang kecemburuan. Karena sesungguhnya masyarakat desa yang mencari kerja di luar desanya akan bisa memberikan sumbangan dan kontribusi yang lebih banyak baik pemikiran maupun materi.

Menghindari membuat awig-awig atau perarem yang justru merugikan krama muwed atau penduduk Hindu yang asli dari desa itu.

Mulailah pembenahan di dalam membuat aturan atau awig-awig desa atau banjar sehingga atauran-aturan itu tidak seolah-olah tajam ke dalam namun tumpul keluar dalam perumpamaan titiang "makenyem kesisi ngedesem ketengah", karena hal itu akan merugikan bagi masyarakat asli di masa depan.

Prajuru banjar atau desa, harus menghindari adanya penjatuhan sanksi atau hukuman kesepekan atau pengucilan kepada umat Hindu, terlebih hanya karena jarang tedun ke banjar atau desa yang disebabkan karena aturan di tempat kerja.

Namun apabila jarangnya mereka tedun ke banjar/desa karena memang orangnya bandel atau malas, maka perlu diadakan pendekatan dengan bentuk mendidik sehingga mereka mengerti hidup dalam sistem masyarakat yang baik.

#tubaba@Bhakti amerih jnana#
#Bhakti amerih santhi#
#Bhakti amerih suka#
#Bhakti tungtunging sembah#
#Bhakti bungkahing yoga#
#Bhakti witting urip#
#Bhakti panlasing karma#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar