Selasa, 17 Maret 2020

PAWAI OGOH-OGOH BUKAN BAGIAN DARI RITUAL PERAYAAN NYEPI

PAWAI OGOH-OGOH BUKAN BAGIAN DARI RITUAL PERAYAAN NYEPI
 

Pawai ogoh-ogoh yang berlangsung setiap tahun pada saat pengerupukan memang bukan bagian dari ritual perayaan Nyepi, namun merupakan kreativitas budaya yang lebih menonjolkan ekspresi seni (Buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, hal: 20, poin 3, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar 2011). Pernyataan tersebut perlu dicermati agar tidak mengaburkan atau salah kaprah antara rangkaian perayaan hari raya Nyepi dengan pawai ogoh-ogoh.

Sampai dengan tahun 1965, melakukan pengerupukan hanya dengan membawa api obor minyak tanah atau api prakpak danyuh saja. Pada waktu itu belum ada ogoh-ogoh. Pelaksanaan pengerupukan saat sandyakala, setelah matahari terbenam, yang dimulai dari lingkungan rumah dilaksanakan lebih dulu, ramai-ramai bersama keluarga yang dilengkapi dengan memukul bunyi-bunyian berupa kaleng bekas, peralatan dapur, kentongan bambu dan lain-lain, sambil membawa bawang merah yang digosok-gosokkan di setiap sudut rumah dan sanggah/pamerajan. Setelah itu barulah dilanjutkan keluar ke jalan raya bergabung dengan teman-teman kelompok/banjar lainnya. 

Pengerupukan dilakukan berputar hanya di sekitar lingkungan banjar dan acara sudah selesai sekitar pukul 22.00 wita. Pada kurun waktu tersebut tidak pernah sama sekali terjadi insiden keributan, bentrok antarkelompok dan kejadian/peristiwa memalukan lainnya seperti sekarang ini.

Mulai tahun 1966 (setelah peristiwa G-30-S/PKI) pelaksanaan pengerupukan dipusatkan atau berkumpul terlebih dulu di Lapangan Puputan Badung/I Gusti Ngurah Made Agung kemudian bergerak keliling kota Denpasar. Pada saat itu ada salah satu kelompok/banjar yang membawa 9 buah obor yang dirangkai menjadi satu dengan ikatan bambu yang dibuat bercabang-cabang yang sudah dililitkan jerami sebagai bentuk kreativitas atau bentuk lain dari obor yang biasa dibawa orang pada umumnya. Kemudian dengan berbaris rapi semua para peserta pawai obor diberi kesempatan masuk ke depan/teras Kantor Gubernur/rumah tempat tinggal Gubernur dengan berbaris 2 secara tertib dan rapi sambil membawa obor untuk mendapat sapaan/lambaian tangan dari Bapak Gubernur Mertha pada waktu itu (kalau tdak salah). Namun, obor kreativitas yang tingginya sekitar 3 meter tidak bisa masuk karena terhalang oleh atap beton di depan teras Kantor Gubernur, sehingga obor kreativitas langsung saja bergerak ke timur di Jl. Surapati, belok ke Jl. Melati terus keliling Kota Denpasar yang diikuti oleh peserta Pawai Obor.

''Kreativitas obor'' inilah yang anggap sebagai cikal bakal ogoh-ogoh yang ada sekarang ini, karena setelah tahun 1967, setiap acara pengerupukan makin banyak kelompok/banjar yang membawa obor kreatif dengan berbagai macam ragam bentuk dan kreasi. Kemudian berkembang sehingga setiap pengerupukan semua kelompok peserta hanya membawa (menggotong/mendorong dengan kereta) ogoh-ogoh, tanpa ada yang membawa api obor lagi sebagai sarana utama pengerupukan.

Setelah Kota Denpasar dipenuhi ogoh-ogoh pada setiap pengerupukan yang imbasnya kemudian menyebar ke seluruh kabupaten di Bali, bahkan sampai keluar Bali (Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Lombok, daerah transmigrasi orang Bali, dan lain-lain), makna mgerupuk/mabuu-buu dengan membawa api obor/api prakpak danyuh menjadi hilang.

Semenjak itulah, pelaksanaan pengerupukan menjadi ruwet, perlu pengamanan yang ekstra ketat, karena setiap membawa ogoh-ogoh sering terjadi dan ada saja insiden, bentrok antarkelompok, tidak tertib, tidak teratur, satpam yang baik-baik menjaga kantor dikeroyok oleh penegen ogoh-ogoh dan peristiwa-peristiwa memalukan dan memilukan lainnya.

Pawai, karnaval, pesta, lomba ogoh-ogoh yang merupakan simbol-simbol dari bebutan/bhutakala sepatutnya acaranya dipindahkan waktu dan tempatnya, disatukan ke acara Pesta Seni Kota/Kabupaten dan Pesta Kesenian Bali. Sehingga ngerupuk atau mabuu-buu yang merupakan kegiatan ritual suci dan sakral dalam rangkaian hari raya Nyepi, dapat dikembalikan ke hakikat maknanya semula.

#tubaba@ngerupuk atau mabuu-buu tanpa ogoh-ogoh#

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar