Kepala warna Putih (unsur logam) : Ketulusan, kesucian, kejujuran. Tangan kanan berwarna Merah (unsur api) : Kepedulian, kemesraan, kesetiaan. Tangan kiri berwarna Kuning (unsur tanah): Keberuntungan, kejayaan, kesejahteraan. Badan berwarna brumbun menunjukan keaneka ragaman ada di dalsm badan dan kaki warna hitam mempunyai arti yang melambangkan keanggunan (elegance), kemakmuran (wealth) dan kecanggihan (sopiscated), juga merupakan warna yang independent dan penuh misteri.
#Beralaskan daun pisang warna Hijau (unsur kayu) : Keimanan, kehidupan, kebersamaan.
#Garam, Bawang dan Jahe mewakili warna Biru (unsur air) : Kebijakan, kemanusiaan, kecerdasan.
Oleh sebab itulah ritual sěgěhan dilaksanakan setiap hari (sěgěhan saiban), setiap lima hari sekali, atau setiap kliwon, setiap lima belas hari sekali (kajeng kliwon), purnama, tilem atau hari-hari yang dianggap perlu. Berikut adalah wacana yang dikutif dari Lontar Siwagama.
“Mojar Sri Gondhararaja, lingira: lahya kamung tanda mantri sadaya, rengwaken wacana mami, yeki pranidanangku, kateka-tekéng pratisantananta hlom, haywa wismrti, haywa kita tan sthiti bhakti ring déwa, mwang ri sang mahabrahmana, ikang sinanggah pangupadhyayan, hisnira Sang Rsi Siddhayoga, sahitya ri sang prabhu, maka wungkalang dharma satya, muwah ri sedangta amangan, haywa tan pabanten, yajnasésa ngaranya, ikang sěga pinanganta lana. Kunang wédanata, kanista ring trisiwa byantara, madya ring ékacandra, mottama ring sad sasih, sahitya abhyakala ning dunghulan. Muwah ri tekaning satahun, tawuren Hyang Kadurgadéwi, pratama ning asalin sirah, ri tilem ing cétramasa.”(Siwagama: 134)
Terjemahan bebas:
‘Raja Gondharapati berkata, katanya: “Wahai para menteri sekalian, dengarkanlah perintahku, ini merupakan hasratku, termasuk kepada seluruh keturunanmu di kemudian hari, janganlah lupa, janganlah kalian tiada berbakti kepada dewa dan kepada para brahmana, yang disebut perguruan, keturunan Bagawan Siddhayoga, tiada henti-hentinya kepada sang raja, sebagai dasar pelaksanaan ajaran agama, dan pada saat kau makan, jangan tidak membuat sesajen, yadnya sésa namanya, dari nasi yang kau makan setiap hari. Adapun aturan pelaksanaan upacara yang patut dilakukan olehmu adalah pada tingkatan sederhana dilakukan setiap Kajeng Kliwon. Upacara pada tingkat menengah dilakukan setiap bulan. Upacara tingkat utama dilakukan setiap enam bulan. Tiada henti-hentinya melakukan upacara peruwatan untuk Bhuta Kala Tiga pada wuku Dungulan. Dan pada setiap tahun wajib melakukan upacara tawur kepada Hyang Durgadéwi, pada saat pergantian tahun Saka, pada bulan mati kesembilan’
MANTRA SEGAN
Om Sa Ba Ta A I, Panca Maha Bhutaya namah suaha,
Endahta kita watek tiryak, gumatap-gumitip, kumratap-kumritip,
muah sarwa prani, sarwa mletik, ingsun ki manusa anyupat papanta, tinebusan déning mertha, muah anebusaken dosan ingsun amati-mati.
Riwekasan yan Sira manumadi, menadi Sira manusa mautama.
Ong sah wésat namah suaha.
Arti:
Kami memohon bimbingan dan perlindungan Sa Ba Ta A I [aksara simbol Hyang Acintya] dan Sang Hyang Panca Maha Bhuta [lima unsur dasar pembentuk alam semesta].
Semoga berbahagia mereka para binatang, semua yang bergerak, kumratap-kumritip [semua mahluk : dari amuba, semut hingga monster] dan segala yang hidup, segala yang tumbuh, aku manusia akan menyupat [melakukan pembersihan spiritual] dirimu, mengubahnya menjadi kebajikan dan menebuskan segala kesalahan.
Suatu saat apabila kau dapat terlahir kembali, semoga kau menjadi manusia yang utama [manusia dengan kesadaran sempurna].
Hyang Acintya, semoga sirna semua dukalara.
(semoga para bhuta mereka berbahagia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar