Sabtu, 14 Maret 2020

BALINESE

BALINESE
Tiga WN Jepang Madiksa Jadi Sulinggih, Tujuh Jadi Bhawati Melalui Paiketan Daksa Dharma Sadhu (PDDS) Di Griya Agung Bangkasa, Jalan Tangsub No 4. Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. 

Selasa, 22 May 2018 18:56 | Editor : I Putu Suyatra

PROSESI : Tiga warga negara asing (WNA) dan tujuh orang lainnya dari Jepang, ikuti prosesi untuk menjadi Sulinggih dan Bhawati di Griya Agung Bangkasa, pekan lalu. (ISTIMEWA)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Menjadi seorang Sulinggih bukanlah hal mudah. Hanya orang orang terpilih yang didapuk dan mampu menjadi pemuka agama Hindu tertinggi. Lantas, bagaimana kalau yang terpilih justru orang asing, bolehkah didiksa jadi Sulinggih?

Pekan  lalu di Griya Agung Bangkasa, banjar Pengembungan, desa Bongkasa, kecamatan Abiansemal, kabupaten Badung-Bali, menggelar upacara Madiksa untuk tiga warga negara asing (WNA) dan tujuh orang Bhawati dari Jepang. Tiga warga Jepang itu adalah Ida Pandita Mpu Daksa Nakamura Manuaba, Ida Pandita Mpu Daksa Noriko Minowa Yoga Manuaba, dan Ida Pandita Mpu Daksa Satomi Taho Dharma Manuaba. Sedangkan tujuh warga Jepang yang menjalani prosesi sebagai Bhawati adalah Ida Bhawati Naoko Ichikura, Ida Bhawati Kumi Sato, Ida Bhawati Junichi Kamiyama, Ida Bhawati Chikako Takano, Ida Bhawati Minako Ikegai, Ida Bhawati Yoshinori Shimane dan Ida Bhawati Akiko Itonaga.

Griya Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba di kawasan Jalan Tangsub no 4 banjar Pengembungan, desa Bongkasa, kecamatan Abiansemal ini, memang dikenal sangat welcome. Tak hanya bagi umat Hindu di Bali, bahkan bagi warga negara asing (WNA) pun, griya ini sangat terbuka. Apalagi griya Agung Bangkasa memiliki PDDS yang bersifat paiketan lintas pasemetonan, ras, suku, adat. WNA yang datang umumnya mereka yang tertarik untuk belajar mengenai agama Hindu. “Kami disini tidak memandang ras dan suku. Siapa pun boleh datang untuk belajar, karena memang begitu tugas seorang sulinggih,  menuntun umat sesuai ajaran agama yang terdapat di Weda serta lontar,” ujarnya kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Bagaimana proses sesungguhnya dalam tatwa menjadi seorang Sulinggih? Ida Sinuhun yang mengaku tak bisa menghafal nama-nama orang asing itu, menegaskan, ia tidak sembarangan melaksanakan upacara Madiksa, menjadikan seseorang Sulinggih.

“Madiksa itu tidak main - main. Itu upacara khusus yang dilakukan bagi mereka yang siap menjalani hidup baru, atau terlahir kembali. Tidak sembarang orang yang bisa melaksanakan upacara Madiksa. Ada proses persiapan khusus, dari fisik, batin hingga jiwa harus siap. Pengetahuan akan agamanya pun harus kuat. Tak hanya itu, soal bebantenan dan filosofi dari setap tindak tanduknya juga harus dalam,” ujarnya.

Ia menambahkan, tiga orang WNA Jepang yang didiksa menjadi Sulinggih lewat upacara Madiksa itu, telah melewati proses panjang sebelumnya. Mulai dari upacara Sudi Wadani  hingga upacara Madiksa.  “Upacara awal yang harus mereka lalui adalah Sudi Wadani, yakni  upacara khusus yang dilakukan bagi mereka non Hindu yang ingin memeluk Hindu,” ujarnya. 
Setelah melaksanakan upacara Sudi Wadani, mereka diharuskan untuk melakukan pelatihan khusus tentang dasar keagamaan. “Ya yang dasar dulu, seperti bagaimana cara sembahyang, mabanten, apa itu Trisandya, apa itu banten, dan semua pengetahuan dasar mengenai agama Hindu," terangnya.

Dikatakannya, semua pelatihan itu bertahap, dari dasar hingga ahli. Dasar soal banten dan mantra hingga soal tatwa. 

Mereka yang tertarik ikut pelatihan, lanjutnya, belum tentu akhirnya menjadi seorang Bhawati atau seorang Sulinggih. “Belum tentu mereka yang masuk Hindu dan ikut pelatihan lantas menjadi Sulinggih. Karena kembali lagi bahwa semua itu ibarat  panggilan. Sama seperti kita orang lokal di Bali, tak sembarangan bisa menjadi Sulinggih. Hanya orang – orang tertentu saja yang terpilih dan dipilih Tuhan untuk menjadi penuntun umat,” ujarnya.

Mantan TU Faksas Universitas Udayana ini mengungkapkan, prosesnya yang begitu berat membuat banyak yang menyerah di tengah jalan. “Selain harus terpilih, dari segi mental juga harus kuat. Karena dalam menjalani prosesnya sangat sulit. Saya saja dulu rasanya sempat ingin menyerah, karena kita diharuskan berlatih untuk melepaskan ikatan duniawi. Sebelum akhirnya terlahir kembali setelah melaksanakan upacara Madikasa,” ujarnya.

Tak disanggahnya pasti banyak orang bertanya tanya soal orang asing Madiksa, terutama soal kelayakannya.

Menurutnya, masyarakat masih salah kaprah menanggapi permasalahan Madiksa “Terkadang beberapa orang masih salah untuk menilai dan memandang sesuatu. Ini bukan soal bisnis, bukan soal kastanya setelah menjadi Sulinggih bagimana, tapi ini soal panggilan. Mereka sama seperti kita. Walaupun tidak terlahir di sini, tapi ketika mereka mendapatkan tuntunan dari Tuhan untuk menjadi seorang Sulinggih, mereka harus  dibantu,” ungkapnya.

Bahkan, menurutnya,  ketiga WNA Jepang yang didiksa tersebut jauh lebih pintar dalam hal bebantenan dan mantra dibanding orang Bali kebanyakan. “Kalau orang luar, agama itu adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Jadi, ketika mereka telah memutuskan untuk memeluk suatu agama, mereka benar benar meyakini dan melaksanakan. Berbeda dengan kita yang sejak lahir telah memiliki agama, yang kadang masih tidak peduli. Mereka sangat – sangat menjalani apa yang tertulis di Reg Weda, Jangan heran jika mereka jauh lebih pintar dibandingkan kita yang notabennya orang Hindu Bali ,” ujarnya.

Tak hanya membantu mereka yang ingin belajar tentang Hindu. 
Ketiga WNA Jepang ini sudah didiksa, dan justeru sangat membantu saudara – saudara kita yang tinggal di Jepang  untuk muput banten atau upacara keagamaan lainnya. Mereka yang akan  membantu,” ungkapnya. 

Perjalanan tiga wanita WNA Jepang menjadi Sulinggih, diakuinya tidak jauh denga proses yang dialaminya.

#griyangbang.rangdilangit#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar