Hanya dengan kelembutan seorang wanita mampu membuhun sifat keraksasaan lelaki.
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Dalam berumah tangga, wanita memiliki peranan penting, dialah sang pengelola rumah tangga sejati. Dalam sebuah keluarga, tanpa kehadiran seorang wanita, tak akan ada korban suci yang berpahala, oleh karena itulah istri memiliki tugas dan kewajiban yang sangat mulia, dan sangat berat. Barangkali jaman sekarang tak lagi kita bisa menemukan istri yang mampu menjadi wanita suci sesuai perintah agama.
Kitab suci menyatakan, ‘Istri adalah akar dari rumah tangga dan adalah kebahagiaan sebuah rumah tangga, dia adalah sumber dari buah kebahagiaan dan kesemarakan keluarga’ (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.64). Oleh karena itu, seorang istri wajib mendapat penghormatan dalam sebuah keluarga. Bagi seorang suami, istri adalah ratu, dia adalah perwujudan Laksmi, dewi kemakmuran. Kitab suci menyatakan, “Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakak- kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri. Dimana wanita dihormati, disanalah para dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang berpahala. (Manawa Dharmasastra III.55-56).
Untuk menciptakan kedamaian dan kemakmuran dalam keluarga, dibutuhkan kehadiran wanita suci atau istri yang berbhakti kepada suami. Kitab Siva Purana menyebutkan bahwa wanita suci bisa didapatkan melalui pengabdian yang tulus kepada Tuhan (Mahadewa).Seorang istri suci atau wanita suci memiliki perilaku yang sangat mulia. Dalam Kitab Siva Purana, sifat-sifat wanita diklasifikasi menjadi empat kelas, yang utama, menengah, baik dan kurang. Sifat-sifat atau kewajiban wanita suci uraiannya seperti kisah berikut:
Setelah dewi Parwati melakukan upacara pamitan kepada kedua orang tuanya, Menaka (Menawati) dan himawan (Himnares), kedua orang tuanya sangat sedih. Untuk itu, Menaka dan Himawan memohon kepada dewa Siva untuk berkenan tinggal di Istana kerajaan himawan beberapa hari lagi, dewa Siva pun mengabulkannya untuk menyenangkan hati raja gunung dan permasisurinya, Menawati.
Beberapa hari kemudian, keluarga mempelai perempuan mempersiapkan upacara perjalanan rombongan mempelai laki-laki. Ketika dewi Parvati dan dewa Siva beserta rombongan akan kembali ke Kailasha (kahyangan dewa Siva), seorang wanita brahmana memberikan petunjuk/petuah tentang kewajiban wanita suci kepada Parvati sesuai adat keduniwiaan.
Wanita Brahmana itu berkata:
O Parvati, dengarkanlah kata-kataku dengan penuh kasih yang sesuai dengan kebenaran, yang akan meningkatkan keyakinan di bumi maupun alam setelahnya dan akan memberikan kebahagiaan kepada mereka yang mau melaksanakannya. Seorang wanita yang suci, akan menyucikan dunia dan akan terberkati senantiasa. Tidak ada lagi hal lain yang paling agung dari hal ini. Parvati, dia yang melayani suaminya dengan penuh kasih dan menganggap-Nya sebagai dewa, akan menikmati kebahagiaan dunia dan akhirat serta pembebasan bersama suaminya itu. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.8-10).
Kewajiban seorang wanita yang suci adalah sangat penting dan telah disebutkan dalam Veda dan berbagai kitab Smrti. Tidak ada tugas dan kewajiban lain yang lebih agung daripada kewajiban seorang wanita suci. Seorang wanita yang suci hanya akan mengambil makanan setelah suaminya mengambil makanan terlebih dahulu. Jika sang suami berdiri, maka sang istri juga harus berdiri. Jika ia tidur, maka dia juga harus tidur. Akan tetapi seorang istri yang baik harus senantiasa bangun lebih dahulu dari seorang suami. Dia harus melakukan hal-hal yang berguna untuk suaminya. Dia harus mencintai suaminya tanpa ada rasa penghianatan atau penipuan. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.15-17).
Parvati, seorang istri tidak boleh memperlihatkan diri-Nya tanpa perhiasan atau tidak rapi pada suaminya. Dan jika sang suami harus melakukan tugas di tempat yang jauh untuk beberapa waktu maka dia tidak boleh menghias diri-Nya secara berlebihan. Seorang istri yang baik tidak akan pernah menyebut nama suaminya (nama mudanya). Jika sang suami memarahinya, maka dia tidak boleh membalas menyakiti hati suaminya. Bahkan jika dia disakiti dia akan tetap diam dan dengan senang hati hati berkata’Hamba boleh anda bunuh sekalipun. Berkenanlah kepada hamba’. Jika sang suami memanggil, maka dia akan segera meninggalkan pekerjaan yang dilakukannya dan segera menemuinya. Dengan tangan tercakupkan penuh hormat dan kasih dia harus bersujud kepadanya dan berkata demikian. “Tuan berkenanlah mengatakan, untuk apa hamba dipanggil.” Kapanpun jika dipanggil atau diperintahkan padanya maka dia harus dengan senang hati melakukannya. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.19-21).
Dia tidak boleh berdiri di pintu utama untuk waktu yang lama. Dia juga tidak boleh pergi ke rumah orang tanpa tujuan yang jelas. Dia tidak boleh mengambil uang suaminya, hanya untuk diberikan kepada orang lain, walaupun jumlahnya sedikit. Tanpa harus diberitahu, dia harus membuat berbagai persiapan untuk melakukan puja sehari-hari. Dia juga harus memperhatikan saat-saat dimana dia bisa melakukan pelayanan sewaktu-waktu kepada suaminya. Tanpa seijin suaminya, dia bahkan tidak boleh pergi melakukan sembahyang suci. Dia harus mengekang keinginan untuk bisa menghadiri keramaian atau pesta pora. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.22-24).
Dia tidak boleh mengambil makanan sebelum melakukan persembahan kepada dewa-dewa, leluhur, tamu, pelayan, atau orang suci. Seorang wanita suci yang berhati lembut hendaknya selalu pintar dalam mengelola rumah tangga walaupun dengan bahan-bahan yang terbatas. Dia hendaknya tidak membuang-buang kekayaan dengan sia-sia. Tanpa ijin suaminya, dia tidak boleh melakukan puasa atau ritual apapun juga. Karena tanpa ijin suaminya maka tidak ada pahala yang akan didapatkannya Jika sang suami sedang duduk atau larut dalam suatu pekerjaan, maka dia tidak boleh mengganggu atau menyela untuk melakukan pekerjaan lain. Meskipun seorang suami impoten, menderita, sakit atau gila, sedih atau bahagia, namun seorang suami harus senantiasa dihormati. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.27-31).
Tiga hari masa haidnya, dia tidak boleh berhadapan ataupun berbicara dengan suaminya. Dia juga tidak berbicara langsung padanya hingga masa bersihnya tiba kembali. Setelah pemandian sucinya dia harus memandangi suaminya dan tidak boleh memandangi orang lain. Lalu setelah merenungkan suaminya maka dia harus menatap matahari. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.32-33).
Seorang wanita suci tidak akan pernah bergaul dengan wanita nelayan, seorang wanita nakal, pertapa wanita, atau seorang wanita rendahan. Dia tidak boleh berbicara pada wanita yang merendahkan suaminya atau membenci suami mereka. Dia tidak boleh berdiri sendiri di suatu tempat dan tidak boleh melakukan permandian dengan tubuh telanjang. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.36-37).
…pada saat melakukan hubungan seksual maka dia tidak boleh memperlihatkan kedewasaannya dan inisiatifnya. Dia harus belajar menyukai apa saja yang disukai oleh suaminya. Seorang wanita suci akan merasa senang jika suaminya senang dan sedih jika suaminya sedih. Dia harus senantiasa mendoakan kesejahteraan suaminya. Dia harus senantiasa bijaksana dan penuh pelayanan kepada suaminya meskipun pada saat menderita atau bahagia. Dia harus memiliki rasa hormat dan tidak pernah melenceng atau berbuat serong. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.39-41).
Seorang wanita suci tidak akan pernah mengambil tempat duduk lebih tinggi dari sumainya dan tidak akan pernah mendekati orang jahat, dan tidak berbicara pada suaminya dalam keadaan marah atau teragitasi. Dia harus menghindari kata – kata penghinaan, menghindari pertengkaran, dan tidak berbicara dengan nada tinggi atau tertawa dihadapan tetua. Seorang istri yang berhasil membahagiakan suaminya berarti telah membahagiakan dunia. Jika melihat suaminya pulang, maka dia harus bergegas untuk melayani dan memberikan makanan serta air minum padanya, dengan tangan memegang daun sirih, dan mengganti pakaiannya dan menyenangkannya dengan memijit agar lelah suaminya hilang. Dengan kata-kata yang menyenangkan dia harus menghibur dan berusaha menghilangkan penat atau sedihnya.(Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.46-49).
Bagi seorang istri, suami adalah dewa, penasehat, pelindung, kebajikan, tempat suci, dan ritual suci. Dia harus membuang segalanya dan hanya memuja [menghormati] beliau. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.51).
Dia yang memakan makanan enak dengan mengabaikan suaminya akan lahir sebagai seekor babi atau kambing liar yang memakan tahinya sendiri. Dia yang menyapa suaminya dengan kata-kata yang pedas atau jahat akan lahir menjadi orang bisu. Dia yang senantiasa iri hati pada istri lain dari suaminya akan mengalami takdir yang tidak baik berulang-ulang. Dia yang memandangi atau melirik laki-laki lain tanpa sepengetahuan suaminya akan menjadi orang bermata satu dan buruk rupa.(Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.54-56).
Tiga anggota keluarga dalam rumah, seorang ayah, ibu, dan suami akan menikmati kebahagiaan di surga karena pahala wanita suci. Seorang wanita yang tidak setia akan menghancurkan keluarga, ayah, ibu dan suaminya dan akan menyebabkan kesedihan dan penderitaannya di dunia dan akhirat. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.59-60).
Hanya ia yang dalam rumahnya ada seorang wanita suci yang bisa dianggap sebagai pelaku rumah tangga yang sejati. Sedangkan yang lainnya hanya akan termangsa oleh usia tua dan keserakahan. Sebagaimana tubuh yang disucikan oleh sungai gangga, maka demikianlah segalanya akan tersucikan dengan melihat penampakan wanita suci. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.67-68).
#tubaba@suksman stri ayu linuwih#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar