HIRUK-PIKUK SEBUAH LADANG PENEMPAAN DIRI
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Bila tidak ada hiruk-pikuk bukanlah dunia. Dunia memang ajang keramaian, pesta pora dan permainan. Dunia ajang pergolakan, perdebatan, argumentasi hingga pertarungan.
Apakah diam dari semua hiruk-pikuk adalah kebenaran?
Apakah dahulu leluhur kita berdiam dari hiruk-pikuk?
Berdiam di gua, lereng dan rumah saja?
Apakah para Sahabat terdiam dari hiruk-pikuk pergolakan dunia?
Apakah para rohaniawan terdiam di majelis ilmu saja?
Menyeru adalah bersuara. Mengajak adalah bersuara dan berargumentasi. Minimal ada pergolakan batin di jiwanya.
Semua menghentakan kuda dan pelana,
Bergerak menapaki darat dan mengarungi samudera, menggoreskan pena, berbicara lantang hingga dihadapan penguasa yang zalim.
Bila hidup hanya terdiam, untuk apa dilahirkan sebagai makhluk sempurna?
Hiruk-pikuk mungkin hanya kebisingan. Suara siapa yang didengar, itulah persoalannya. Yang paling keras dan mendominasi, biasanya yang didengarkan dan mempengaruhi jiwa dan pemikiran.
Jiwa manusia pun penuh hiruk-pikuk. Pertarungan berbagai bisikan dan pemikiran. Pertarungan beragam was-was. Perselisihan kebenaran dan keburukan. Kebimbangan teru bermunculan. Keraguan selalu ada. Itulah jiwa manusia. Bagaimana dengan dunia nyata yang dihuni milyaran manusia?
Apakah para penglingsir kita terdiam dari hiruk-pikuk?
Mereka mendirikan Pura Parhyangan. Memilih para maharsi/pandita linuih, bahkan beliau memilih Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa) sebagai pelopor Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Mpu Gana di Pundukdawa. Berstrategi secara kebudayaan, sosial, seni dan ekonomi. Semua yang pilihan beliau bersih pasti akan turun ke gelanggang untuk menciptakan keberhasilan walau resikonya penuh dengan hiruk-pikuk kebisingan yang membahana.
Hiruk-pikuk adalah ujian.
Apakah tetap tentram di tengah kebisingan. Apakah tetap jernih di tengah teriakan. Apakah tetap berfikir sehat di tengah hasutan. Apakah tetap tegar di tengah suara hujatan dan penghinaan?
Jiwa yang lemah akan segera meminggirkan dirinya. Tak peduli dengan alasan kesucian.
Hiruk-pikuk adalah ujian.
Adakah rasa benci, dendam kesumat, dan kesal?
Apakah ada sakit hati, marah, ingin membalasnya?
Itulah makna sebuah hiruk-pikuk, tercipta dengan kebisingan yang pekat dan membahana, agar tahu kualitas kebeningan hati manusia.
Ida Bhatara Kawitan memaafkan orang yang menghinanya setiap hari. Ida Bhatara Sinuhun memberikan harta kepada orang yang menarik baju lehernya dengan kasar. Memaafkan orang yang sudah membuat berita palsu tentang diri beliau. Beliau juga memaafkan orang yang meludahinya. Andai tidak ada hiruk-pikuk, kita tidak tahu tentang diri kita, berada diposisi manakah?
Hiruk-pikuk memang kejam.
Menghancurkan karakter melalui ucapan, tulisan dan rekayasa peristiwa. Ida Sinuhun pun mengalaminya, dengan berbagai tuduhan. Bila kita membalasnya dengan dorongan tercabiknya harga diri, tandanya masih ada egosentris. Namun bila alasannya agar kebenaran tidak direndahkan, itulah tindakan yang tepat. Sebelum bertindak timbanglah, ini soal diri atau pembelaan kebenaran?
Hiruk-pikuk pikuk ladang beragurmentasi, ladang berfikir mendalam, ladang mendapatkan sudut pandang, ladang mengkritisi dengan ilmu dan pemahaman. Jangan bergeser kepada kebencian, merendahkan dan dendam. Hiruk-pikuk itu ladang penempaan diri untuk tetap berakhlak mulia di tengah telinga dan hati yang mungkin sudah mulai memanas. Itulah perang suci di tengah hiruk-pikuk yang keras.
#tubaba@ladang mengkritisi dengan ilmu dan pemahaman#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar