MENYELAM KE DUNIA “SEPI”
MENELUSURI JAGAT DIRI
Sebuah perenungan
dalam menguak tabir virus corona di hari raya Nyepi
Selamat Tahun Baru Caka 1942
Oleh :
I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Griya Agung Bangkasa
Jalan Tangsub No.4 Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa
Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung - Bali
25 Maret 2020
Om Swastiastu.
Om Awigham astu nama sidham.
Om Anubhadrah Kertha Wiyantu Wiswatah.
Tan pahingan teka ikang kala ngaranya
matusatus ikang tahun tar pakalwasan,
kunang ikang prawrtti maka lawasan ika,
sepsepan gatinya,
ikang hurip pwa ya ta ksanamatra hananya,
apa ta nimitaning maturwa,
pengpongen juga iking hurip,
dadahakena ring dharmasadhana,
( Sarasamuccaya, 366).
Maksudnya :
Tiada berbatas yang disebut waktu itu, beratus-ratus bilangan tahun terus berlalu tiada hentinya, adapun tindakan itu ada batasnya, kadang-kadang terlambat datangnya, hidup ini hanya sekejap adanya, apakah sebabnya tidur saja, isilah sebaik-baiknya hidup ini, korbankan untuk laksana dharma.
Nyepi adalah sebuah kata yang tidak asing lagi ditelinga orang Bali (Hindhu), karena setiap tahun saka dia pasti datang menyapa, biasanya dia ada di bulan maret tahun masehi, Cuma sesekali akan jatuh pada bulan April. Nyepi itu dilaksanakan sebagai hari pergantian tahun saka, dalam masehi dikenal Tahun Baru. Hari raya nyepi jatuh pada pinanggal satu sasih kedasa, satu hari setelah bulan gelap (tilem) kesanga. Mungkin satu hari setelah tilem kesanga itu dipakai sebagai hari Nyepi pilosofinya Habis Gelap Terbitlah Terang , yang bermakna terang di hati dan di dunia, ini merupakan sebuah harapan dalam menerangi kembali kegelapan diri yang berlangsung setahun silamnya.
Mengapa pergantian tahun caka itu jatuh pada bulan Maret ? Demikian pertayaan yang sering diajukan.
Bulan Maret adalah bulan ketiga menurut perhitungan tahun Masehi atau bertepatan dengan bulan kesembilan menurut perhitungan tahun Bali. Mengapa tahun baru Caka tidak jatuh pada bulan Januari atau bulan Kasa (Juli) ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu mengetahui kedudukan bulan Maret itu pada jaman dahulu.
Dalam buku "Almanak Saku Modern 1962 terdapat uraian.....bulan Maret pada jaman dahulu kala oleh bangsa Roma dijadikan bulan pertama, yaitu diambil dari nama Dewa Perang, ayah dari Rumulus dan Rimus yang membangun Roma". Jadi apabila bulan Maret merupakan bulan pertama maka bulan September menjadi bulan ketujuh (bandingkan kata Septem dengan Sapta yang berarti tujuh), bulan Oktober menjadi bulan ke delapan (bandingkan kata Octo dengan Asta yang berarti delapan), bulan November adalah bulan ke sembilan (bandingan kata Novem dengan Nawa yang berarti sembilan) dan bulan Desember menjadi bulan ke sepuluh (bandingkan kata Desem dengan Dasa yang berarti sepuluh). Perbandingan kata tersebut memperkuat alasan kita untuk menyatakan bulan Maret sebagai bulan pertama.
Mengurai simbul menggapai makna
Sebiasanya sebelum hari raya nyepi akan diawali dengan Melasti, yang bermakna melebur mala ke dalam samudra kejernihan. Mala itu berupa kekotoran badan, bathin dan pikiran, yang mana badan dapat dibersihkan dengan air yang diambil ketengah laut. Pikiran dapat dibersihkan dengan Meditasi(perenungan) serta bathin dibersihkan dengan Yoga ( keteguhan iman) dalam kesadaran dan kebijaksanaan, sehingga setelah terjadinya kejernihan dan kesucian bathin, maka akan terpancarkan cahaya kasih sang dewa dewi yang tersimbulkan dalam Pratima yang diusung ke laut pada saat melasti.
Tawur kesanga, dalam pilosofinya adalah bertujuan Nyomia buta kala (virus corona), kenapa setiap nyomia bebutan selalu menggunakan sesuguhan berupa banten Caru ? Kalau disimak kata caru mengandung arti pengorbanan (memberi kurban). Disini Buta Khala sering diidentikkan dengan orang / binatang (kini jadi ogoh-ogoh) bertubuh besar dengan perut besar itu pertanda membawa kelaparan kemana- mana.Dengan konsep tubuh besar perut besar itu menandakan keserakahan, keangkuhan, keangkaraan yang selalu mengikuti perjalanan hidup. Hal itulah yang mesti disomiakan agar keangkaraan, keanggkuhan, keserakahan itu dapat diharmoniskan kedalam jiwa yang penuh tenang dan damai dalam mengarungi kehidupan di tahun saka yang baru.Pada kesadaran yang dalam semestinya sifat ke-binatangan itu pulalah yang mesti diangkat menuju ke-kesadaran Manu (suci) yang dikenal menjadi Manusia. Jadi kesadaran manusia itu merupakan kesadaran yang suci.
Nah sejenak kita coba menyelam kedalam kata” Suci” meski kata ini sangat rahasia dan gaib, tapi kita coba urai secuil kuku dalam batas keterbatasan pikiran kita. Suci atau suatu kesucian amatlah mudah diucap, tapi bukanlah hal mudah untuk dipahami dan dilakukan. Kesucian bukanlah muncul dari luar diri, tapi dia bersumber dari dalam diri, bukan karena Air sesuatu jadi suci, bukan pula karena Api besar dan pakaian serba putih( meski warna putih sebagai simbul suci) seseorang meraih kesucian, akan tetapi hanya dari pikiran yang tidak terikat dan melekat, hati yang penuh kasih, kesadaran yang penuh bijak yang mampu memunculkan nilai kesucian. Seterusnya mari kita simak irama Gambelan yang ditabuh disetiap upacara melasti atau upacara lainnya. Nada dasar yang digunakan dalam irama gambelan itu ada nada Nang, Ning, Nung, Neng, Nong, yang memiliki makna sebagai Nang itu berarti Tenang, Ning itu Hening, Nung mejadi Renung, Neng adalah Meneng (diam) serta Nong bermakna Kosong. Jadi secara menyeluruh nada dalam gambelan itu mengisaratkan pada makna, dalam tenang itu ada keheningan untuk merenung dalam diam menggapai kekosongan menuju kesadaran suci.
Disini kita urai sejenak apa itu Kosong, apakah kosong itu berisi? Apa pula isinya? Nah Kosong menyiratkan suatu makna bahwa pikiran yang tidak melekat pada objek indrawi, seperti keserakahan, keinginan, kemilikan, yang mengisi ruang didalam pikiran itu sendiri. Apabila hal itu masih melekat dalam pikiran, maka dia belum dikatakan Kosong, jadi kosong itu tetap berisi, isinya tidak lain dari tidak melekat itu sendiri. Kesadaran yang diharapkan disini adalah kesadaran tidak melekat, bebas dan bebas (pikiran yang mahardhika, santih parama uttama), pikiran bebas dalam damai untuk menggapai yang paling Utama.
Kini sejenak terawangkan pikiran kita pada irama kidung warga sari yang biasanya mengiringi perjalanan parade pemelastian. Kiasan kidung wargasari tak ada lain dari himpuan bunga warna warni dengan bau wanginya dikerubuti kumbang yang mengisap sarinya, disaat itu serasa ada suara semesta “AUM” yang disuarakan berulang tanpa putus oleh kumbang, ini mengandung makna Kirtanam dan smaranam, mengulang-ulang kata suci atau nama suci, bila sang pelantun menyuarakan kidung dengan penuh sadar dan iklas, maka semesta akan bergetar memancarkan gelombang yang penuh dengan keindahan dan kedamaian merasuk kesetiap jiwa yang menikmati lantunan tembang kidung itu, hingga terkadang angan terbawa ke sebuah taman yang indah dan asri, dihiasi umbul dan lelontek warna warni dan tombak berlambang kekuatan nawasanga,sembilan kekuatan dewa sesuai dengan arah mata angin, bagai istana para dewa-dewi, alam itu serignya dinamakan alam sorga, yang dihiasi oleh bidadari cantik yang disajikan dalam tarian Rejang, suasana itu terjadi akibat pikiran yang sedang berada dalam situasi menikmati keindahan serta kedamaian yang mendalam.
Seterusnya coba tengok sebentar pelaksanaan tawur kesanga yang biasanya dilakukan pada perempatan agung, pada waktu sandyakala, kenapa bukan pada jalan lurus dan pada waktu sembarang, di titik tengah perempatan agung menyiratkan makna bahwa dititik itulah pusat kesadaran diri dari persimpangan kebimbangan Kaja-kelod, dalam artian bimbang terhadap tinggi-rendah dalam memahami drajat hidup, Kangin-kauh adalah kebimbangan akan Widya (kesadaran terang) dan Awidya (kesadaran gelap), sedang waktu sandya kala itu pertemuan kedua hal yang bertentangan yang menjadi intinya adalah pantaraning (inti tengah). Jadi yang tengah itulah merupakan intinya, bukan yang ditepi, karena ditepi sering menjadikan kita jadi tersandung ketakutan, seperti berjalan di tepi sebuah jurang, ah…pasti mengerikan dan penuh ketakutan dan kengerian jiwa.
Pada saat ini ogoh-ogoh kita biarkan saja berlalu, karena dia tidak termasuk dalam rangkaian nyepi, dia hanya hiasan kemeriahan menyambut tahun baru saka. Kegiatan ogoh-ogohpun biarkan begitu adanya, asalkan setelah keramaian berlalu tidak menimbulkan keramaian yang menghancurkan, akibat kerangsukan jiwa ogoh-ogoh.
Kini kita masuk pada hari Nyepi itu sendiri, pada pinanggal 1 sasih kedasa, warsa saka, suasana begitu sepi sipeng dengan Catur bratanya yaitu tidak makan-minum, tidak berapi-api, tidak bepergian, dan tidak menikmati kesenangan dengan bunyi-bunyian. Apa yang tersirat didalamnya tak ada lain adalah berhenti sehari dari segala kenikmatan indrya seingga terjadi keharmonisan dunia makrokosmos dengan mikrokosmos, yang mana semesta damai jiwapun damai. Akankah kedamaian itu tergapai dalam setiap perayaan Nyepi, itu sangatlah tergantung pada KESADARAN SETIAP INDIVIDU dalam memahami dan melaksanakannya.
Berikut timbullah pertanyaan :
Mengapa sebelum kita memasuki lembaran tahun yang baru kita melakukan"PENYEPIAN" tersebut lebih dulu?
Adakah hal itu mengandung suatu pengertian yang timbul dari hasil pemikiran yang mendalam?
Bermunculannya berbagai pertanyaan seperti itu menyebabkan timbulnya keinginan kita untuk mengadakan pendekatan terhadap pengertian "GELAP/PETENG dan TERANG/LEMAH" yang masih terdapat di Bali.
Pada upacara "Otonan" (upacara bayi berumur 6 bulan), ada saat bayi yang diupacarai ditutup dengan sangkar (guungan yang berarti dalam kegelapan, suung) terlebih dahulu sebelum secara resmi utuk pertama kalinya bayi tersebut mengijakan kakinya di tanah (kata tanah sering juga disebut 'lemah' dan kata lemah dapat berarti terang).
Kemudian dalam upacara "Menek Kelih", "Potog Gigi" dilakukanlah upacara "Pengekeban" dan dalam upacara "Mediksa" dilakukan upacara "Amati Raga/Seda Raga" sebagai simbol penggelapan sebelum memasuki masa baru atau lembaran kehidupan yang baru.
Setelah kita mengadakan pendekatan seperti tersebut, maka jelaslah bahwa "Penyepian" yang dilakukan sebelum memasuki lembaran Tahun yang baru mempunyai latar belakang pengertian seperti tersebut diatas. Disamping itu kiranya dapat disebutkan pula bahwa sebelum memasuki lembaran kehidupan yang baru kita diharapkan mengadakan "Pengosongan Diri" terlebih dahulu. Pengosongan diri disini dapat pula diartikan sebagai "Pembersihan diri" dengan mengembalikan segala "mala" (kekotora) kepada asalnya.
Dalam Penyepian manusia diharapkan menemui dirinya sendiri dengan konsep "Awakta waraha rumuhun". Betapa berbagai godaan yang telah menimpa kita, dan betapa pula kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia dalam menghadapi godaan-godaan itu. Lalu betapa ancaman bahaya yang telah kita hadapi, dan betapa pula kita telah terselamatkan dari mara bahaya tersebut. Sampai disini kita teringat dengan apa yang diingatkan oleh Bhagawan Wararuci dalam Sarasamuccaya :
Apan atyanta juga kedikning urip ikang sarwabhawa,
an akedik ya,
kaparwan ta ya dening wengi,
kalaning turu pangawecaning harip mata,
saparwanta ngaranika,
turahnya,
ika tang saparwan,
muwah ta ya lingwangan dening lara,
mwang prihati,
tuha, wighna,
atyanta ring akedik ta ngaranika kawekas.
Maksudnya :
Sebab sagatlah pendeknya umur sekalian mahluk, sudah pendek dibagi lagi oleh malam, tatkala tidur karena pengaruh katuknya mata, kemudian yang sebagian lagi dikurangi oleh kesakitan dan kesedihan, ketuaan, halanga-halangan yang lain sungguh amat pendeklah (umur manusia) pada akhirnya.
Sekarang kita merenungkan bagaimana bumi yang didiami oleh manusia ini berputar mengitari matahari dan berputar atas sumbunya. Berputar 365 kali atas sumbuya yang sama degan berputar sekali mengitari matahari. Inilah yang disebut tahun. Sedagkan yang kita sebut tahun baru adalah perputaran baru yang dimulai lagi, setelah berputaran 365 kali. Demikianlah manusia melihat kehidupannya sebagai bertahap-tahap. Ada tahapan yang berjumlah 24 jam (sehari), 7 hari (seminggu), sebulan atau setahun dan seterusnya. Dan kita mengistimewakan tahapan yang kita sebut setahun itu.
Dengan demikian Hari Raya Nyepi merupakan hari raya yang sangat peting dalam rangkaian Hari Raya Hindu. Keesokan harinya disebut sebagai Hari Ngembak Geni dan sudah sepatutnya kita saling mohon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat, dan megucapkan "SELAMAT TAHUN BARU, CAKA 1942 yang jatuh pada tanggal 25 Maret 2020, SEMOGA MANGGAYUH KASAMPURNANING HURIP dalam lembaran kehidupan yang baru dan VIRUS CORONA lenyap binasa.
#tubaba@dalam tenang itu ada keheningan untuk merenung dalam diam menggapai kekosongan menuju kesadaran suci#
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
GRIYANG BANG, 22 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar