Minggu, 22 Maret 2020

PROFESIONALISME DALAM CATUR WARNA

PROFESIONALISME DALAM CATUR WARNA
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd

AJARAN Catur Warna ini sesungguhnya filosofi profesionalisme menurut Hindu. Sayang ajaran yang sangat mulia dan luhur ini dikotori oleh bintik-bintik hitam sejarah masa lampau yang menjungkirbalikan secara total ajaran Catur Warna itu menjadi kasta. Hal ini membuat terpuruknya citra Hindu di mata masyarakat luas. 

Catur warna itu artinya pengelompokan profesi , kalau profesionalisme itu kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar dan juga komitmen dari para anggota dari sebuah profesi untuk meningkatkan kemampuan dari seorang karyawan.

Simak lebih lanjut teks Bhagavad Gita IV.13, berikut:
"Caaturvarnyam mayaa srstam
Gunakarma vibhaagasaah
Tasya kartaaram api maam
Viddhy akartaaram avyayam".

Artinya: 
Catur Warna aku ciptakan berdasarna guna dan karma.
Meskipun Aku sebagai penciptanya, 
ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perubahan.

Sesungguhnya, ajaran Catur Warna ini adalah landasan filosofi profesionalisme. Ini artinya seseorang akan menjadi profesional apabila ia dapat mengembangkan minat dan bakat pembawaannya yang disebut guna dalam Bhagawad Gita. 

Terus guna itu dapat bertemu dengan karma menjadilah gina dalam kehidupan. Artinya orang yang telah mampu mengembangkan guna atau minat dan bakat pembawaannya sejak lahir itu terus mendapatkan pekerjaan sesuai dengan guna yang telah dikembangkannya itu. Kalau ada orang yang bakat pembawaannya sebagai guru misalnya terus ia dibina melalui pendidikan dan latihan sebagai guru, selanjutnya dapat bekerja sebagai guru. Hal itulah yang disebut varna. Kalau bekerja yang demikian itu pasti memberikan kebahagiaan kerja.

Guru dalam konsep Catur Warna tergolong brahmana varna dengan tidak mengait-ngaitkan asal usul wangsanya. Kalau bakat pembawaannya sebagai pedagang terus ia mendapatkan pendidikan dan latihan sebagai pedagang terus bekerja sebagai pedagang. Inilah yang disebut profesional. Jadi sangatlah tepat ajaran Catur Warna ini kita tegakkan sesuai dengan filosofinya. 

Bhisama Catur Warna ini sangat diperlukan oleh umat Hindu, karena sampai saat ini terjadi pengertian yang sangat bias tentang ajaran Catur Warna. Disamping itu, ajaran ini akan dapat dijadikan konsep untuk menyadarkan orang agar mereka berusaha mengenali jati dirinya dalam mengembangkan profesionalismenya. Dewasa ini banyak orang menderita sakit gangguan mental karena tidak mendapatkan kebahagiaan kerja. 

Meskipun mereka mendapatkan imbalan gaji yang cukup memadai, tetap saja merasa menderita kalau bekerja tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Ini artinya dewasa ini banyak orang yang tidak menemukan varna-nya. Mengapa demikian dalam persaingan perebutan lapangan kerja ini banyak pihak mendapatkan kerja yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Kalau menunggu sampai mendapatkan kerja sesuai dengan minat dan bakatnya amat sulit. 

Karena itu konsepsi Catur Warna sebagai filosofi pengembangan profesionalisme untuk mendapatkan kebahagiaan kerja patut dikaji dan dikembangkan lebih serius sebagai sumbangan umat Hindu untuk membangun sistem kerja yang membahagiakan. Kalau kita mampu membangun sistem kerja seperti yang diajarkan oleh ajaran Catur Warna itu maka akan dapat menimbulkan produktivitas kerja yang lebih baik karena adanya ketenangan kerja. 

Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Secara Hindu, yaitu dalam ajaran Catur Warna manusia dilahirkan sama yaitu sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya. Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak.
Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria.

Catur Warna Tidak Ditentukan Berdasarkan Wangsa
Warna seseorang apakah dia seorang Brahmana, Kstria, Waisya maupun Sudra bukan ditentukan oleh wangsa atau keturunan. Keempat golongan profesi itu kedudukan sosialnya tidaklah bersifat vertikal geneologis. Kedudukan sosialnya adalah paralel horizontal. Ini artinya bahwa Brahmana, Kstria, Waisya dan Sudra dalam konsep catur warna status sosialnya tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Mereka itu sejajar dan sama atau horizontal. Keempatnya hanya berbeda profesi karena mereka membawa pembawaan lahir yang berbeda-beda.
Seorang Brahmana, Kstria, Waisya dan Sudra itu tidak bisa dilihat dari keturunannya atau dengan menyebutkan dia Brahmana atau Kstria tanpa menunjukkan ciri-cirinya sebagaimana ditetapkan dalam Manawa Dharmasastra X.65 yang dinyatakan sebagai berikut:

"Sudro brahmanatameti brahmanas ca iti
Sudratam kstryajatam evam tu
Vidyad vaisyat tathaiva ca"

Artinya : Seorang Sudra menjadi Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra karena sifat dan kewajibannya. Demikian juga halnya dengan kelahiran Kstria dan Waisya.

Adanya sebutan Brahmana dan Kstria di Bali sesunggguhnya dimaksudkan adalah Brahmana Wangsa atau Kstria Wangsa. Dalam kenyataannya tidak setiap Brahmana keturunannya menjadi Brahmana. Demikian juga banyak seorang petani yang anaknya menjadi guru besar.

#tubaba@griya agung bangkasa//salam pasemetonan#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar