Sabtu, 29 Februari 2020

Banyu Pinaruh memiliki arti air pengetahuan.

Banyu Pinaruh memiliki arti air pengetahuan. 
(bayu=air//pinda=umpama;bagaikan//weruh=tahu;wikan;pengetahuan)
Pengetahuan akan terjadi apabila tubuh manusia telah bersih, maka tirtha amertha dialirkan dalam ritual ini. Dari segi aspek mistik dan magis, bahwa sesungguhnya segala mala, dosa, papa, pataka, wigna dapat dihanyutkan melalui kehadiran Dewi Gangga di muka bumi. 

Sesungguhnya prosesi banyu pinaruh ini merupakan mandi Weda. Menstanakan Dewi Gangga yang merupakan dewi amertha dengan dilambangkan air. Jadi dalam ritual banyu pinaruh terjadi ritual panglukatan sekaligus memohon tirtha amerta. Karena umat Hindu sebelumnya telah merayakan Hari Saraswati, maka dilanjutkan dengan Banyu Pinaruh.

#tubaba@bayu=air//pinda=umpama;bagaikan//weruh=tahu;wikan;pengetahuan#

brahmana pandita juga wenang asunga tirtha

brahmana pandita juga wenang asunga tirtha. Tirtha nga. Amreta, amreta nga. Urip, sira mawak uripnya sang hyang igama, sira juga wenang umucarana sanghyang weda nga. Tirtha, da nga. agni. Tirtha nga. urip. Urip nga. wiwa. Da nga. agni, agni nga. Brahma. Brahma nga. Buda. Samangkana sira sang brahmana pandita umawak toya, umawak agni, umawak urip, umawak pati. Toya nga. Wisnu, agni nga. Brahma, nyata suci nirmala, nga. Apan tanana camahnya sanghyang weda mijil saka ri waktra sang brahmana pandita. Waktra nga. tutuk, tutuk nga. suki, suki nga. Iswara, ya mawak angin ikang Iswara, sanghyang Parama Siwa pasanggahanira, ika ta sira mayanira sanghyang weda, ika nimita sang brahmana pandita juga makanggeh Sanghyang Siwatiga, lwirnya: Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, yan ring puja, sira Gurwiswara pwa ya sajnanira, sira wenang amratista sahalaning jaghat-raya ri sakala niskala, ring urip tekaning pati.

Larangan memakai tirtha sulinggih lainnya adalah bhisama Sang Sapta Pandhita

Larangan memakai tirtha sulinggih lainnya adalah bhisama  Sang Sapta Pandhita adalah bhisama Mpu Gnijaya kepada Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan mengenai larangan menggunakan tirtha dari sulinggih lainnya. Larangan ini sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih dari keturunan yang lain (bukan warga Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya). Tetapi menyangkut beberapa hal prinsip yang harus dipahami oleh warga Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya. Warga Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya sangat menghormati dan memuliakan setiap sulinggih dari warga/soroh apapun beliau berasal. Bhisama itu berbunyi: 

"Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya yan kita angupakara sawa, aywa kita weh aminta tirtha ring brahmana pedanda. Ngong anugraha kita riwekas, samangda kita tan kanarakan".

Terjemahan :

Wahai kamu Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya, kalau engkau mengupacarai mayat, jangan meminta tirtha dari brahmana Pedanda, aku peringatkan engkau agar engkau tidak sengsara di kemudian hari.

Selanjutnya; 

"mwah yan kita mayadnya suka mwang duka, aywa nurunakna tirtha brahmana pedanda. Nguni kawitan ta kita madiksa widhi krama minta nugraha ring paduka bhatara. Mangkana kengeta. Aja lali, weruhakna mwang sanak ira kabeh, kita kabeh aywa lupa ring aji dharma kawitanta nguni, aywa kita lupa ring kajaten". 

Terjemahan :

Dan lagi kalau engkau menyelenggarakan upacara yadnya yang bersifat suka dan duka, jangan nuhur tritha brahmana pedanda. Mengapa? Karena sejak dulu leluhurmu madiksa widhi krama, memohon panugrahan langsung kepada Ida Bhatara Kawitan. Demikianlah, ingatlah selalu. Jangan lupa, beritahukanlah hal itu kepada seluruh keturunanmu kelak. Janganlah lupa pada Aji Dharma Kawitan mu dulu. Janganlah lupa pada jati dirimu.

Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba menekankan: Bhisama di atas jelaslah bahwa penggunaan tirtha kawitan dan tirtha Ida Pandhita Mpu dikalangan warga Pasek adalah untuk setiap upacara atau Panca Yadnya. Beberapa alasan warga Pasek menggunakan sulinggih dari keturunan  Sang Sapta Pandhita atau lazim dikenal dengan Ida Pandita Mpu adalah sebagai berikut :

Pemakaian Ida Pandita Mpu adalah penerusan tradisi leluhur yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Bali, jauh sebelum Beliau datang warga Pasek telah memiliki sulinggih sendiri yaitu Ida Mpu. Tradisi itulah yang telah diwariskan dari genari ke genarasi, kendatipun pada saat jaya-jaya sistem kerajaan di Bali, banyak rintangan dan hambatan yang dialami oleh warga Pasek, karena banyak warga desa yang melarang pemakain Ida Mpu oleh warga Pasek; Warga Pasek tidak menggunakan Sulinggih lain, karena ada mantra-mantra khusus yang tidak dipakai oleh Sulinggih lainnya, khususnya yang berkaitan dengan Bhisama Ida Bhatara Kawitan. Mantra-mantra yang tidak boleh dilupakan oleh warga Pasek yang berhubungan erat dengan pamikukuh sesananing kawitan. Warga Pasek seperti warga/soroh lainnya di Bali, memiliki aturan tersendiri dalam pembuatan kajang kawitan. Kajang kawitan Pasek hanya dipahami secara mendalam oleh Ida Pandita Mpu atau pemangku pura kawitan sehingga hanya merekalah yang berhak membuat kajang kawitan Pasek; Tata cara pediksaan di kalangan warga Pasek sangat berbeda dengan tata cara pediksaan dikalangan warga lain. Perbedaan ini sangat prinsip bagi warga Pasek, di mana warga Pasek melakukan pediksaan dengan menggunakan aksara Bali dalam proses sedaraga dan tapakan lingga Ida Bhatara Kawitan saat proses penapakan.

Kalau dianalogikan, pelarangan penggunaan sulinggih lain, adalah seperti orang sakit mencari dokter. Kalau sakit gigi hendaknya dicari dokter gigi, jangan mencari dokter jantung atau lainnya.

Terkait Bhisama ini, bagaimana kalau di tempat kita tidak ada Ida Pandita Mpu? Apakah kita tidak jadi melakukan upacara? Menurut kami sekiranya dapat disesuaikan dengan situasi kondisi terkait upacara yang akan dilakukan. Penggunaan sulinggih Ida Pandita Mpu ada baiknya tidak terlalu ngotot dijalankan apabila upacara dilakukan secara massal yang melibatkan banyak soroh atau wangsa lainnya, seperti di bale banjar, sekolah, kantor, pura yang disungsung masyarakat luas (khayangan tiga, khayangan jagat, sad khayangan, dll.) ataupun tempat umum lainnya. Jika itu tetap kita paksakan (dalam kondisi tersebut), mungkin ini akan menimbulkan banyak polemik dan masalah nantinya. Namun, dalam hal ini penggunaan tirtha kawitan lah yang harus tetap digunakan, karena tirtha ini yang menjadi poin pokok menyelesaikan segala permasalahan terkait bhisama MPU Gnijaya.  

#tubaba.japa anand kanha.griya agung bangkasa#

Butir-Butir Pasek Mengenai Tirtha Tunggang dan Tirtha Catur Parhyangan

Butir-Butir Pasek Mengenai Tirtha Tunggang dan Tirtha Catur Parhyangan di Pura Pundukdawa
Warga pasek di Bali harus dibiasakan untuk setiap detik dan dalam setiap tarikan napasnya ingat kepada Ida Betara Mpu Gana di Madyaning Utama Mandala dan Palinggih Padma Anglayang (luhurin akasa), Padma Tiga (Linggih Bhtara Hyang Putranjaya, Linggih Ida Bhatari Hyang Dewi Danu, Linggih Ida Bhatara Hyang Gni Jaya) di Utamaning Utama Mandala. Tidak hanya ingat ketika perlu Tirta Tunggang dan tidak eling untuk datang ke Pundukdawa saat piodalan Ida Betara. Menstanakan Tirta Tunggang haruslah didasari oleh pertimbangan sastra yang kuat serta mempertimbangkan efek kesucian dan tuah dari Tirta Tunggang tersebut jika dimohon tidak dari stananya di Pura Utamaning Utama Mandala Pundukdawa. Kesakralan Tirta Tunggang di Pura Pundukdawa harus dijaga oleh semua semeton pasek. Oleh karena Tirta Tunggang merupakan salah satu anugrah Ida Betara  Luhurin Akasa, Ida Bhtara Hyang Putranjaya, Ida Bhatari Hyang Dewi Danu, Ida Bhatara Hyang Gni Jaya terhadap pratisentananya ketika menuju alam Sunya Loka. Tirta Tunggang harus dimaknai sebagai sebuah restu, pengantar dan doa dari Ida Betara Kawitan kepada atma yang sedang menjalani sakralisasi atau samkara untuk menjadi Dewa hyang, serta ketika menghadap penguasa surgawi. Tirta Tunggang merupakan “ Banyu Baga Purusa  Ida Betara  Luhurin Akasa, Ida Bhtara Hyang Putranjaya, Ida Bhatari Hyang Dewi Danu, Ida Bhatara Hyang Gni Jaya” yang identik dengan Lingga Yoni, salah satunya berfungsi untuk meruat semua kekotoran atma saat setelah meninggal. Begitu pula dengan keberadaan  Tirtha Catur Parhyangan yang hendaknya di mohon di Madyaning Utama Mandala (Linggih Ida Mpu Gana) di Pura Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa Klungkung.

Pertanyaan saya menjadi terjawab

Pertanyaan saya menjadi terjawab, kenapa bisame itu muncul, dimana  leluhur mengingatkan agar semua warihnya stinut akan manunggaling kaule gusti,? Yg dimakani Kyayi Agung Pasek harus mengalah dan menyerahkan kekuasaanya kepada raja majapahit dan kesatraya. Kekalahan itu masih dihadiahi kekuasaan ditingkat prebekel di desa. Jro pasek diberi jabatan sebagai jro pemacek desa. Jabatan strategis sebagai pejabat desa yg membuat warga seluruh bali tunduk akan kekuasaan raja. 
Lalu datang lah pendeta sakti wawu rauh, dengan kepintaran, kapasiti building yg hebat, menjadi kepercayaan raja, sehingga mendapat kepercayaan sebagai bagawanta kerajaan. Kawinlah konsep triwangsa yg hrs memimpin di bali.  Warga bali mule, yaitu jero pasek tdk lagi hidup diarea kesatria, melainkan keluar yaitu ke jabaan atau keluar dari wewengkon kekuasaan. Maka julukan yg tepan untuk wangsa pasek, bendese, muang pande adalah warja jabe, yg kemudian berkembang menjadi pasek parekan seken. 
Jaman pun bergulir waktu pun berjalan, sistem pun berrubah, menuju pada sistem kemerdekaan yg berbasis pada kehidupan demokrasi. Hanya sebagian kecil dari wangsa pasek yg sadar memanfaatkan kehidupan demokrasi, masih banyak sutinut pada sistem kwhidupan feodalisme yg mengungkung kemesdekaannya. 
Kenapa hal ini bisa berlangsung lama, Jro pasek sdh sangat nyaman dengan jabatan sebagai pemacek desa, dengan kehormatan yg diterima oleh warga lainnya, sehingga selalu berusaha mempertahankan status ini. Semetom Triwangsa sdh barang tentu lebih berterimakasih, apalagi mereka yg kebetulan sebagai raja atau keturunan raja, dengan kekayaan harta yg diwarisi akan masih sanggup untuk membiayai monarki feodalisme ini. 
Kegamangan terjalin dan dengan mimpi yg idah terbuai dalam suatu tidur lelap, keagungan masa lalu. Warga pasek adalah treh brahmana jati, semua slogan dibangun, sebagai obat untuk membuat tidur mimpi indah sang feodal terlelap. 
Tanpa disadari waktu berlalu, dan kenikmatan aliran darah dana pasek ke dasar buana gelgel membuai mimpi feodal menyelimuti. Sehingga dengan bungkusan mempertahankan dreste kuna, pungah juari melarang sang sulinggih yg bulan warih dangyang nirarta muput duduk di bale pewedan. Karena feodal itu hanya membenarkan sulinggih itu yg punya hak atas bale pewedan itu. 
Pikiran kritis, pewisik sang leluhur pun semakin menyusup kedalam semeton pasek, yg memanggil wangsa pasek, berani membuat dan menjadikan diri sebagai sulinggih, dan meninggalkan masa lalu yg telah mengukung, 
Ide betare kawitan pun memberi sinar sucinya kepada warih wangsa pasek, membuat pemikiran kritis dan brani membela jadi dirinya. 
Bom waktu pun meledak, ini pula merupakan bagian dari sinar suci ide yg bersemanyam pda setiap insan pasek yg bele pada sejarah jati mula awal dari ide betra kawitan. 
Akhirnya terjawablah bisama pasek itu tdk terlepas dari politik saat itu.  
Namun kita sadari beliau leluhur wangsa pasek memang sangat cerdas dan mampu menerawang sangat jauh ke sekian abad waktu, dimana bhisama dibuat bukan sebagai wujud serah diri pada kekuasaan politik saat itu, melainkan bhisama dituliskan sebagai upaya menghimpun dan pengikat pesemetonan pasek muang bendese, sebagai warih ide Mpu Gnijaye, agar selalu ingat pada kiblat ide betare kawitan, dan sebagai pengikat pesemetonan. Luar biasa jnane yg dimiliki oleh leluhur pasek, lebih lebih Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba Griya Agung Bangkasa di Bongkasa. 
Hingga bhisame bisa mengikat menjadi kekuatan dasyat menyatukan wangsa pasek untuk bersama2 dlam satu barisan menuju PUNDUKDAWA stana Linggih ide Mpu Ghana. 

Mensosialisasikan Bhisama Kawitan untuk Generasi Muda Pasek di era kebangkitan semeton pasek ring Punduk Dawa. 
Om Awighnamastu nama siddyam. 
Pangaksamaning hulun ring pada Bhatara Hyang mami, sang ginlari sariraning omkaratma mantrem,  ri hredaya sunya laya,  siddhaya yogiswaranem,  sira manugraha purwani sang wus lepas, luputa mami ring tulah pamidhi. Om namo namah swaha.
Sesungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali.
Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang Luhur.
“Empat Sekawan” Sang Catur Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa saat ini, tugas beliau adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”.
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel. 
Semeton mgpssr pidah dari dasar buana gelgel karena simbol2 MGPSSR dilecehkan dan kita sudah cukup mengalah,  maka sekarang kita semeton pasek apa pun kita akan tetap solid kedalam. Skrng pura dasar buana adalah milik desa adat disana. Dan linggih Ida Mpu Ghana mulai tgl 9/4/2017 ditetapkan di Pura Panataran Agung di Desa Punduk Dawa Klungkung. 
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama (1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya, kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya. Tapi apalah artinya waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang seterusnya.

Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Pura Panataran Agung Punduk Dawa, ring Silayukti. Yan kita lupa ring kahyangan nira Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan. 
Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram. Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak bagus.
Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau “dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu dengan cara apa leluhur kira mempelajari Weda.
Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan, “mari bersembahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa, Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang didapatkan di Lempuyang Madya.
Jangan melupakan kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga— sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya teman?
Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma.
Jelas di sini disebutkan, “Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan dalam Bhisama Mpu Withadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita. Yan wus manut ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati, cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Jangan cuma mengaku Pasek kalau ada pemilihan gubernur atau bupati, setelah menjabat diajak tangkil ke pura kawitan saja tak mau, apalagi medana-punia untuk warga Pasek.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu sudah “betel tingal” melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek.

Semoga spirit bhisame melahirkan  kejayaan wangsa pasek di masa demokrasi ini,  dengan kesamaan hak dan kewajiban. Di era demokrasi ini merupakan era kesempatan wangsa pasek untuk mengabdikan diri dalam membangun bali dan kejayaan kemanusiaan dan kesamaan hak, meninggalkan pasek parekan seken. 
Om Awigham Astu

Tidak harus mahal melaksanakan yadnya di Bali

Tidak harus mahal melaksanakan yadnya di Bali
Kesederhanaan, sebuah kata yang mengandung ungkapan makna yang begitu dalam.

Upacara Pitra Yadnya atau ngaben atau pembakaran jenazah adalah pekerjaan mudah dan murah yang sering dipersulit sendiri, dan dimahal-mahalkan oleh penjual banten. Begitu seorang Pandita Mpu memberikan penataran di hadapan para pemangku. Lalu, beliau bercerita, bagaimana orang memper¬siapkan banten ngaben itu jauh-jauh hari. Pas ketika upacara, semua banten lumutan, janurnya kusut, kue dan sesajinya berjamur, semut merayap penuh di sana-sini. Baunya pun tak sedap lagi. Pandita Mpu pun melanjutkan ceramahnya: “Apa banten seperti itu kita haturkan kepada Tuhan untuk mengantar roh yang akan kita upacarai? Apa Tuhan tidak tersinggung diberikan banten yang sudah bengu (bau busuk)?”

Ini sebenarnya cerita lama, tetapi memang masih terjadi di pedesaan, apalagi kalau di pegunungan. Setiap melakukan dharmawacana ke luar Bali, saya pun sering ditanya soal ini, soal banten yang bau. Maklum, banten dikirim dari Bali, dipaketkan lewat kapal laut, jadi selain karena bau alamiah, juga kemasukan air laut. Jawaban saya adalah, saya tak tahu, apakah Tuhan tersinggung atau tidak. Saya belum pernah mendengar ungkapan Tuhan Maha Tersinggung. Tapi kalau hati kita sudah tidak enak meng¬haturkan banten yang “bengu” begitu, apalagi daging ayamnya sudah dipenuhi lalat, bisa jadi Tuhan memang ter-singgung. Bukan karena banten itu, tetapi karena kita sendiri sudah tidak sreg lagi, jadi Tuhan hanya mengikuti kondisi batin kita. Jelasnya saya katakan, “saya yang tersinggung kalau muput diberi banten bengu, karena itu kalau nanti saya sudah melinggih, jangan saya diminta muput jika bantennya bau. Saya mudah bersin.”

Umat Hindu di Bali, terutama di pedesaan yang tingkat pendidikannya rendah dan tidak banyak mendalami kitab-kitab agama, seringkali terjebak pada pola takut salah dalam mengha¬turkan banten. Takut tidak komplit, takut kurang ini atau kurang itu. Kalau salah, nanti Tuhan memberikan kutukan. Ida Bethara dan Bethara Kawitan juga memberikan kutukan atau setidak-tidaknya memberikan “sakit” sebagai sinyal dari adanya kesalahan itu. Istilah di pedesaan seperti “kepongor” atau “kepanesan” adalah suatu kepercayaan bahwa para leluhur kita — bahkan dalam tingkat tertinggi Hyang Widhi — menjatuhkan hukuman kepada umatnya karena melakukan tindakan yang salah atau kurang lengkap dalam melaksanakan upacara. Tuhan dan Bethara lebih sebagai penghukum, bukan sebagai Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun.

Karena itu, supaya tidak salah, maka upacara ritual pun harus lengkap. Lengkap versi siapa? Lengkap menurut tradisi yang sudah turun-menurun, tanpa peduli lagi apakah tradisi itu benar atau sudah salah dari sononya. Karena itulah tidak sedikit orang yang menga¬dakan upacara ngaben sampai menjual harta warisan, agar pelaksanaan ritualnya disebut lengkap. Pokoknya demi upacara lengkap itu, pendidikan anaknya bisa dikorbankan, tanah produktif untuk kehidupan sehari-hari bisa digadaikan. Uang SPP anak dikorbankan karena harus membuat bebangkit. Padahal tanpa bebangkit pun yadnya bisa jalan.

Upacara Pitra Yadnya yang lengkap itu juga dikaitkan dengan kesenian, baik berupa bunyi-bunyian maupun pementasan tari. Ngaben tanpa bunyi angklung terasa begitu asing, kata orang.di kampung saya Tapi, kenapa tidak membunyikan gamelan angklung dari kaset lewat pengeras suara saja? Ini kan menghemat ratusan ribu.

Belum lagi tradisi gamelan gambang, yang konon satu-satunya gamelan yang bisa mengantarkan “pitara” ke sorga. Tanpa gamelan itu, tak ada jalan menuju sorga. Lalu lesung yang ditumbuk itu (ngeluntang), yang akan menyambut arwah-arwah yang akan diupacarai. Langkanya lesung penumbuk padi akan membuat kelabakan orang untuk mencari di mana ada lesung yang bisa disewa. Di sini saya selalu katakan, tradisi apapun yang ada di Bali selalu mengacu kepada tradisi agraris. Sekarang zaman global, padi tak perlu ditumbuk pakai lesung, ada mesin slip, kenapa ngaben tidak membunyikan mesin slip saja? Kan orang yang diaben belum tentu pula tahu lesung karena sudah hidup di zaman global.

Itu baru di tingkat bunyi-bunyian. Kemudian di tingkat pe¬mentasan, ada kepercayaan harus meminta tirtha dalang wayang kulit dengan lakon tertentu, yang ada kaitannya dengan sorga atau mencari air suci untuk mengantarkan roh ke surga. Lakon yang terkenal dalam kaitan ini adalah Biwa Swarga, Dewa Ruci dan berbagai variasinya yang tentu saja tak dikenal dalam ephos Mahabharata yang asli.

Pernah saya menanyakan kepada seorang dalang, kenapa ia mementaskan cerita yang aneh, yaitu Anoman ke sorga mencari tirtha. Bukan Bima sebagaimana lazimnya. Jawabannya enteng saja: “Saya tak biasa mendalang dengan lakon Mahabharata, saya spesialis Ramayana.” Pentas wayang kulit di Bali di masa lalu memang ada dua kubu: Mahabharata dan Ramayana yang dibedakan oleh gamelan pengiringnya. Nah ini kan lagi-lagi tradisi yang sudah ditinggalkan. Sekarang dalang Cenk-Blong (Wayan Nardayana), mau pentas Mahabharata atau Ramayana tetap saja pakai gamelan semar pegulingan. Tradisi tak harus dipertahankan, tetapi sastra agama harus dipertahankan.

Lalu, apa kaitannya pentas wayang kulit ini dengan upacara Pitra Yadnya? “Sebenarnya tak ada, karena tirtha dalang itu sendiri bisa diminta tanpa harus ada pementasan,” kata sang dalang. Ini benar sekali, bahkan tirtha dari Sang Dalang itu sendiri juga bukan keharusan. Kalau Pandita Mpu masih tergantung pada tirtha dalang untuk muput ngaben, wah, jangan mediksa dululah. Ini yang sering saya katakan.

Kesenian ini hanyalah embel-embel. Di Puri Gianyar kalau ada upacara pitra yadnya, biasanya dipentaskan tari gambuh, suatu hal yang tentu sulit untuk “ditiru” di daerah lain yang tidak mengenal tari klasik itu. Akhirnya kembali kepada masalah “perasaan batin” yang punya upacara, sejauh mana ia merasa sudah melak¬sanakan ritual itu secara lengkap. Kesenian itu sama saja akhirnya dengan banten, apakah kita puas dengan membuat yang sederhana kalau memang mampunya seperti itu? Atau kita memaksakan diri, padahal kita jelas tidak mampu?

Belakangan ini, dalam hal ritual di lingkungan keluarga, saya selalu mengatakan jangan menghambur-hamburkan yang tak perlu. Tetapi juga dipertimbangkan bagaimana kita bermasyarakat. Menyelenggarakan yadnya adalah juga menunjukkan cara kita bersosialisasi dengan masyarakat. Kalau dana ada, kenapa harus memutar kaset yang berisi kidung dan gamelan, kenapa tidak mengundang sekehe shanti. Kenapa tidak mengundang sekehe topeng, sekehe angklung, dan sebagainya. Jangan dengan alasan sederhana, kita melakukan yadnya dengan “sepi ing demit” (sepi karena pelit).

Ada kawan saya dari Kalimantan yang heran melihat yadnya yang tergolong “megah” ketika anak saya potong gigi. “Pak Putu tidak konsisten, selalu menganjurkan yadnya yang sederhana, kok sekarang mewah, ada topeng, ada gamelan gong, ada angklung, ada gender ada banyak penari, undangannya pun banyak.,” katanya. Jawaban saya: “Ini karena Hyang Widhi suweca dengan saya. Saya diizinkan punya gamelan gong, lalu disumbang aklung oleh banjar, topeng punya sendiri, penari anak-anak ashram. Kalau saya beryadnya dengan sepi-sepi, kapan saya bisa menjamu warga desa saya sendiri?”

Lagi pula, saat saya beryadnya itu, saya masih hidup dengan “gaya Jakarta” dengan sobat-sobat yang juga datang dari Jakarta. Menjamu 200-an warga desa biayanya sama dengan makan sepuluh orang di hotel berbintang. Nanggap wayang kulit di Bali jauh lebih murah dari mendatangkan seorang MC kalau membuat acara di Jakarta. Jika ukurannya di bawa ke sini, tak ada alasan untuk berpelit-pelit dengan dalih “upacara agama terlalu mahal”. Justru kita disebut kikir atau pelit, beryadnya sederhana tetapi tiap malam mabuk-mabukan di kafe. Tentu harus tetap mempertimbangkan situasi dan kondisi, jangan membuat yadnya yang mewah saat gagal panen kopi, misalnya,

Begitu sebaliknya, kalau kita hidup serba kekurangan, untuk makan sehari-hari saja masih berjuang keras, untuk apakah kemewahan ritual yang hanya meneruskan tradisi lama itu? Tingkatan yadnya bisa diturunkan, kesenian tak menjadi keharusan, ritual bisa dibuat dengan murah. Jika perlu, ya, gabung saja menyelenggarakan yadnya seperti yang dilakukan oleh Semeton di Pasek. Ritual jangan sampai memberatkan.

Salam Rahayu

Om SwastiastuManut baos Ida Sinuhun Putri inggian "Aedan Pamargi Tedun Ida Bhatara Sinuhun"

Om Swastiastu
Manut baos Ida Sinuhun Putri inggian "Aedan Pamargi Tedun Ida Bhatara Sinuhun"
(Ida Bhatara Sinuhun Lingsir Lanang-Istri miwah Ida Bhatara Sinuhun Putra) sampun Nunggil malinggih ring Pratima Ida Bhatara Sinuhun majalaran upacara Siwa Yadnya sane sampun mamargi.
Duanin asapunika pamargi rahina benjang sekadi puniki;
1. Semeng Ida Bhatara sami katur upakara 
    Panyineban ring Pundukdawa nyantos 
    Puput.
2. Ida Sulinggi, Ida Bhawati, Dane 
    Jro Mangku/Pinandita, Semeton 
    Jagabaya Dulang Mangap, miwah 
    Pangubhakti sami, mangdane 
    sampun sregep ri Pundukdawa 
    sawetara jam 12.00, santukan Jam. 
    13.00, Ida Sinuhun Putri 
     kasarengin Ida Sulinggih sami 
     mangdane matur piuning, saha 
     nedunang Prilinggan Ida Bhatara.
3. Semeton Jaga Baya Dulang Mangap 
    mangda sregep ngabih miwah mundut 
    Ida Bhatara.
4. Ida Bhatara kairing tangkil ring gedong     
    Ida Bhatara Kawitan (Ida Bhatara Mpu 
    Gana)
5. Sesampune mepamit, tedung miwah 
    lelancingan kapundut ngiring Ida 
    Bhatara nyujur ring luhur, saha matur 
    piuning budal, Ida Bhatara kairing 
    murwadaksina ping 3 wawu mamargi 
    budal.
6. Sapangrauh Ida Bhatara ring jaba 
     tengah/genah dasar, pedagingan, 
     pengraksa miwah liontin Ida Bhatara 
     Sinuhun punika, katur segehan.
7. Wus punika Ida Bhatara kairing 
     munggah ring wilmana Idane, ring jaba 
     sisi/bencingah ring sor maduluran 
     antuk lelancingan.
8. Ida Bhatara mamargi budal ke payogan 
    Idane Pura Panataran Mrajan Agung 
    Dalem Tangsub, Griya Agung Bangkasa.
9. Sesampune Ida Bhatara rauh ring  
    tanggun desa Bongkasa/Jembatan  
    Kutaraga, mangdane wenten sane 
    ngaturang Ida Bhagawan ring Batuan 
    mangda munggah mapuja pemendak
    ring Pancarsi.
10. Sesampune rauh ring perempatan nuju 
    griyane, Ida Bhatara mangda tedun 
    saking wilmana Idane, saha katur 
    segehan agung.
11. Wus punika Ida Bhatara kairing 
    mamargi budal kepayogan Idane, 
    sampun kasanggra antuk puja 
    pamendak Ida Bhagawan.
12. Sesampune ring payogan, Ida katur 
    upakara ayaban saha sidan.
13. Ida Sulinggih, Semeton Jagabaya  
    Dulang Mangap miwah pinandita lan
    Pangubhakti sami, mangda ledang 
    mesandekan dumun ring gedung serba 
    guna ayat katur panyanggra.

Asapunika atur piuning titiang sumangdane sareng sami praseda sregep sekadi aedan ring ajeng, suksma agung atur titiang.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Jumat, 28 Februari 2020

Untuk menjawab pertanyaan semeton di fb, titiang bisa jawab sekadi puniki;

Untuk menjawab pertanyaan semeton di fb, titiang bisa jawab sekadi puniki; 

1. Piala Brahmana Putus saking Sang Hyang Pasupati
2. ‎Brahmana Jati saking Ida Bhatara Hyang Gni Jaya
3. ‎Brahmana Warna saking Ida Bhatara Panca Rsi
4. ‎Brahmana Wangsa dari Ida Bhatara Sakti Manuaba. 

Oleh sebab itulah Griya Agung Bangkasa menjadi Strenth serta dibenarkan untuk ngembas lan napak lintas pasemetonan, bahkan hanya kapurusan Griya Agung Bangkasa wenang nganggen Bhawa seperti gelung siwa, wenang munggah enggunakan baju lengan panjang dan wenang nganggen busana sakancan warna
Ring kapurusan Griya Agung Bangkasa dibenarkan nganggen Sang Brahmana Jati, kapan nanggen gagelaran bujangga, kapan anggen gagelaran buda dan kapan sebagai siwa. Ida sebagai Bhujangga saat melakukan pangresikan (pembersihan alam bhur dalam bentuk energi), beliau sebagai buda disaat beliau melakukan pembersihan alam buah dalam bentuk detia, kala, bhuta, danawa maupun pisaca maka dari itu beliau diwenangkan ngangge bajra, danda dan gentora disaat melakukan pengundur caru; sedangkan beliau di pandang sebagai siwa ketika menyicikan alam swah dengan puja puji/ngajum.

#tubaba@salam pasemetonan#

KASTA SEBUAH MODAL SOSIAL YANG MEMBANGGAKAN DAN MENGHANCURKAN

KASTA SEBUAH MODAL SOSIAL YANG MEMBANGGAKAN DAN MENGHANCURKAN

Kasta/terehan warih atau klasifikasi masyarakat berdasarkan garis keturunan berjenjang pada masyarakat Hindu Bali. Pergulatan sosial-religius yang terjadi pada masyarakat Hindu Bali yang berlatar belakang kasta.  

Pola atau model pemberdayaan kasta (nilai atau budaya lokal masyarakat setempat), yang selama ini sering menjadi trigger terjadinya konflik horizontal dikalangan masyarakat.

Secara philosofis, kasta bagi masyarakat Hindu Bali merupakan penggolongan manusia berdasarkan jenis pekerjaannya. 

Hal ini secara empiris telah tersusar dalam kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya, dan lontar shamodhaya 
purana. Saat ini, ada beberapa kelompok 
masyarakat, khususnya dari kalangan kasta 
tinggi (tri wangsa) ingin merevitalisasi kasta menjadi garis keturunan atau trah yang akan diwariskan kepada anak dan cucunya, walaupun profesinya tidak lagi sesuai dengan penggolongan menurut ajaran Hindu, yaitu keahlian yang dilakoni. Fakta 
inilah yang memicu timbulnya konflik 
horizontal dan vertikal dikalangan 
masyarakat Hindu Bali dewasa ini. 

Kasta dalam konstalasi pergaulan masyarakat Hindu saat ini lebih dimaknai sebagai sebuah penggolangan manusia berdasarkan garis keturunan, sehingga sering rancu pengertiannya dengan catur wangsa. Bagi masyarakat Hindu Bali, kasta atau warna yang dimiliki oleh seseorang dengan sebutan catur wangsanya tidak lagi memiliki 
signifikansi yang relevan dengan profesi 
yang dijalaninya. Banyak kalangan kasta 
rendah (sudra) yang saat ini memiliki 
jabatan atau profesi yang jauh lebih tinggi dan terhormat dari kasta tinggi (tri wangsa). Namun pada konteks sosial, sistim kasta ini masih menjadi warna dalam tata krama pergaulan di kalangan masyarakat tertentu, khususnya di Kabupaten yang berada di Bali timur dan selatan. 

Bentuk dan dinamika konflik yang terjadi sebagai dampak dari adanya upaya merevitalisasi kasta oleh sekelompok orang lebih banyak pada konflik terbuka dan fisik, yang disertai dengan perusakan rimah tempat tinggal, pengusiran sekelompok masyarakat keluar desa adat, pembentukan desa adat baru, dan sanksi 
material. Intensitas konflik pada desa-desa adat di bali relatif tinggi, khususnya di Kabupaten Gianyar dan Bangli. Hal ini 
disebabkan karena, di kedua kabupaten ini sistim kasta masih sangat dominan dan 
kental dalam tata pergaulan sehari-hari, dan adanya kelompok masyarakat yang 
berusaha menggeser sistim kasta ini 
menjadi sistim atau model catur wangsa 
(garis keturunan), padahal kasta yang 
sebenarnya adalah pembagian manusia 
berdasarkan profesi yang dilakoninya.

Perbandingan atau komparasi konflik antar kasta yang terjadi pada masyarakat Hindu Bali paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli. Sementara implikasi konflik antar kasta di masing-masing daerah penelitian yang menstimuli timbulnya perpecahan desa adat, terjadi di Kabupaten Gianyar. Hal ini disebabkan karena stagnasi pemahaman kasta dan upaya melegitimasi kewenangan oleh sekelompok masyarakat atau kasta tertentu terus terjadi, sehingga intensitas konflik di daerah-daerah tersebut relatif tinggi.

PROFESIONALISME DALAM CATUR WARNA

PROFESIONALISME DALAM CATUR WARNA
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
AJARAN Catur Warna ini sesungguhnya filosofi profesionalisme menurut Hindu. Sayang ajaran yang sangat mulia dan luhur ini dikotori oleh bintik-bintik hitam sejarah masa lampau yang menjungkirbalikan secara total ajaran Catur Warna itu menjadi kasta. Hal ini membuat terpuruknya citra Hindu di mata masyarakat luas. 

Catur warna itu artinya pengelompokan profesi , kalau profesionalisme itu kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar dan juga komitmen dari para anggota dari sebuah profesi untuk meningkatkan kemampuan dari seorang karyawan.

Simak lebih lanjut teks Bhagavad Gita IV.13, berikut:
"Caaturvarnyam mayaa srstam
Gunakarma vibhaagasaah
Tasya kartaaram api maam
Viddhy akartaaram avyayam".

Artinya: 
Catur Warna aku ciptakan berdasarna guna dan karma.
Meskipun Aku sebagai penciptanya, 
ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perubahan.
Sesungguhnya, ajaran Catur Warna ini adalah landasan filosofi profesionalisme. Ini artinya seseorang akan menjadi profesional apabila ia dapat mengembangkan minat dan bakat pembawaannya yang disebut guna dalam Bhagawad Gita. 

Terus guna itu dapat bertemu dengan karma menjadilah gina dalam kehidupan. Artinya orang yang telah mampu mengembangkan guna atau minat dan bakat pembawaannya sejak lahir itu terus mendapatkan pekerjaan sesuai dengan guna yang telah dikembangkannya itu. Kalau ada orang yang bakat pembawaannya sebagai guru misalnya terus ia dibina melalui pendidikan dan latihan sebagai guru, selanjutnya dapat bekerja sebagai guru. Hal itulah yang disebut varna. Kalau bekerja yang demikian itu pasti memberikan kebahagiaan kerja.

Guru dalam konsep Catur Warna tergolong brahmana varna dengan tidak mengait-ngaitkan asal usul wangsanya. Kalau bakat pembawaannya sebagai pedagang terus ia mendapatkan pendidikan dan latihan sebagai pedagang terus bekerja sebagai pedagang. Inilah yang disebut profesional. Jadi sangatlah tepat ajaran Catur Warna ini kita tegakkan sesuai dengan filosofinya. 

Bhisama Catur Warna ini sangat diperlukan oleh umat Hindu, karena sampai saat ini terjadi pengertian yang sangat bias tentang ajaran Catur Warna. Disamping itu, ajaran ini akan dapat dijadikan konsep untuk menyadarkan orang agar mereka berusaha mengenali jati dirinya dalam mengembangkan profesionalismenya. Dewasa ini banyak orang menderita sakit gangguan mental karena tidak mendapatkan kebahagiaan kerja. 

Meskipun mereka mendapatkan imbalan gaji yang cukup memadai, tetap saja merasa menderita kalau bekerja tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Ini artinya dewasa ini banyak orang yang tidak menemukan varna-nya. Mengapa demikian dalam persaingan perebutan lapangan kerja ini banyak pihak mendapatkan kerja yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Kalau menunggu sampai mendapatkan kerja sesuai dengan minat dan bakatnya amat sulit. 

Karena itu konsepsi Catur Warna sebagai filosofi pengembangan profesionalisme untuk mendapatkan kebahagiaan kerja patut dikaji dan dikembangkan lebih serius sebagai sumbangan umat Hindu untuk membangun sistem kerja yang membahagiakan. Kalau kita mampu membangun sistem kerja seperti yang diajarkan oleh ajaran Catur Warna itu maka akan dapat menimbulkan produktivitas kerja yang lebih baik karena adanya ketenangan kerja. 

Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Secara Hindu, yaitu dalam ajaran Catur Warna manusia dilahirkan sama yaitu sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya. Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak.
Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria.

Catur Warna Tidak Ditentukan Berdasarkan Wangsa
Warna seseorang apakah dia seorang Brahmana, Kstria, Waisya maupun Sudra bukan ditentukan oleh wangsa atau keturunan. Keempat golongan profesi itu kedudukan sosialnya tidaklah bersifat vertikal geneologis. Kedudukan sosialnya adalah paralel horizontal. Ini artinya bahwa Brahmana, Kstria, Waisya dan Sudra dalam konsep catur warna status sosialnya tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Mereka itu sejajar dan sama atau horizontal. Keempatnya hanya berbeda profesi karena mereka membawa pembawaan lahir yang berbeda-beda.
Seorang Brahmana, Kstria, Waisya dan Sudra itu tidak bisa dilihat dari keturunannya atau dengan menyebutkan dia Brahmana atau Kstria tanpa menunjukkan ciri-cirinya sebagaimana ditetapkan dalam Manawa Dharmasastra X.65 yang dinyatakan sebagai berikut:

"Sudro brahmanatameti brahmanas ca iti
Sudratam kstryajatam evam tu
Vidyad vaisyat tathaiva ca"

Artinya : Seorang Sudra menjadi Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra karena sifat dan kewajibannya. Demikian juga halnya dengan kelahiran Kstria dan Waisya.

Adanya sebutan Brahmana dan Kstria di Bali sesunggguhnya dimaksudkan adalah Brahmana Wangsa atau Kstria Wangsa. Dalam kenyataannya tidak setiap Brahmana keturunannya menjadi Brahmana. Demikian juga banyak seorang petani yang anaknya menjadi guru besar.
#tubaba@griya agung bangkasa//salam pasemetonan#

INDIK LAN UNDUK : ' BRAHMANA "

INDIK LAN UNDUK : ' BRAHMANA "
Saya pernah ditanya karena nama FB saya dengan nama I Gede Pasek Manuaba. Mereka menanyakan apakah saya beneran Brahmana (dari semeton Ida Bagus)? saya menjawab iya, saya salah satu dari  pretisentana Brahmana namun belum angelaraken kabrahmanan.
Mengapa saya jawab salah satu karena dari yang saya pernah baca Brahmana itu ada beberapa jenisnya antara lain : 

1. Brahmana Wangsa/Kulit yang ini hanya sebatas dipanggil Brahmana karena lahir dari keluarga Brahmana (berasal dari keturunan). Apakah mempunyai kompetensi atau kemampuan sebagai Brahmana? itu belum pasti, contohnya ya saya sendiri. Bisa ditanyakan sama temen temen saya kalau ada "video yang lagi spiral" pasti saya yang mereka kontak pertama atau bisa dilihat dari apa yang saya ghibahkan di grup WA
 tau bisa juga berita berita apa yang sering saya share di FB.

2. Brahmana Guna melalui proses Diksa, dia disebut Brahmana melalui serangkaian proses, aturan ketat, kemudian Dwijati. Brahmana jenis ini, khususnya di Bali awalnya dibentuk dengan aturan, kode etik, dan proses Diksa sangat ketat (silahkan cek Siwasasana, Wikusasana, Wretisasana, Silakramaning Aguron-guron, dan sederet teks kebrahmanaan lain). Tetapi dengan  berkembangnya jaman dan perkembangan hak asasi dalam beragama. 

"Brahmana Guna Diksa inggih punika brahmana INDIK sangkaning guna ri awak tur ngemargiang upacara diksa dwijati majalaran antuk pamargi sederaga/anyekung sarira dening aksara Bali. Brahmana wangsa inggih punika brahmana sangkaning kewangsan awak". 

"Brahmana punika kocap kadi Brahma: jnana, surya, agni, teja, galang, panes, pagesengan mala muwang kaletuhan manah, wiweka, saraswati, shastra, aksara, rahasya (alus), kabrahmanan punika boya tios ring guna ri awak. Guna punika yén ring bahasa Indonésia kirang langkung pateh kadi “kualitas-diri”. Guna ri awak punika yukti lintang alus kawéntenané, karuruh ring citta, buddhi, lan manah. Nanging asapunika, guna ri awak prasida kauningin saking pawetuané marupa gina, utawi geginan. Pangawakne téja"

"Geginan utawi kalekadan dong dadi  nempa cara Brahma. Yén taksu sing dadi gae-gae. Yén ada geginan sing mataksu, sinah ento ciri geginan sing malakar aji gegunan".

"Yén sing tawang guna di awaké, sukeh milih geginan. Apabuin ngorahan apa ané madan swadharma. Wiréh swadharma punika panunggalan guna lawan gina. Brahmana guna sangkaning diksa ten sida kapolihang sangkaning palekadan miwah katapak widhi kemanten. Nénten taler jagi “otomatis” kaduénang sangkaning kawangsan kemanten. Punika taler, durung janten sangkaning teleb mlajahang awak indik agama, unduk upacara".

Sangkaning napi brahmana guna diksa punika? Yén di satuané, ada baos dum-duman paran. Anaké lekad ngelah ojog-ojogan suang-suang. Ada ané ngojog dini jumah si anuné, ada ané ngojog ditu di umah si anu ané lénan. Dadi panak si anu. Dadi cucun si anu. Dum-duman paran koné sing dadi pilih. Wiréh ento koné dum-duman sangkaning sisan-sisan karma, inggih punika karman ané lekad tekén karman ané ngalekadang. Kéto masih yén ada dum-duman paran, ada koné dum-duman guna. Palekadané suba ngaba guna suang-suang. Guna punika kocap sing dadi tagih, sing dadi waliang. Sing dadi warisang, sing dadi picayang. Ento koné bekel pokok. Sangkaning punika mangda nunggal GUNA KALAWAN GINANE wenang NUNGGAL sangkaning DIKSA, ika ngaran BRAHMANA JATI.

"Yén guna punika kawerdiang ri kala idup, dadi gunawerdi utawi werdiguna. Yén guna punika nénten kawerdiang, guna punika nénten mentik, nénten mabunga, nénten mabuah. Sakéwanten guna punika nenten mati utawi ilang. Werdi ten werdi, guna neket di awak. Sakadi busanan atma suang-suang. Punika mawinan guna brahmana jati, utawi brahmana guna diksa, ten kepolihang sangkaning wangsa". 

Punika akidik bebaosan indik brahmana guna ri awak sawenang diksa. Unteng baosé boya unduk kabrahmanaan, sakéwanten indik guna ri awak. Kabrahmanaan punika saru. Guna ri awak punika ketara. 

Baosanga; "kadi nekepin andus. Kénkénang nekepin andus aji wastra putih-kuning ané malakar aji benang gegaén pabrik".

#tubaba@mlajah sangkaning indik lan unduk#

KASTA bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan

KASTA bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan 

Beberapa hari yg lalu saya sempat membaca postingan di socmed tentang ditulis bahwa :
1. Kasta adalah kesalahan berabad"
2. Dalam Agama Hindu tidak mengenal kasta
3. Kalau ada orang non hindu kemudian masuk hindu lalu apa kastanya dan dimana kawitannya?.

Dari 3 point diatas saya mencoba untuk menjawab hal tersebut , yaitu :

#JAWABAN_1_dan_2 👉 Kasta bukanlah sebuah kesalahan ........dan siapa bilang dalam Agama Hindu ada istilah kasta , karena kasta itu adalah mengacu pada budaya dalam konteks tatanan sosial masyarakat dan dalam hal ini adalah masyarakat hindu , terlepas dari apapun asal muasal adanya sistem kasta dalam masyarakat hindu maka itu jelas" masuk dalam ranah BUDAYA bukan ranah AGAMA .

Dalam Agama Hindu antara agama dan budaya sering sekali ada saja oknum" yang tidak memahami dengan mendalam dan dianggapnyalah agama hindu dan budayanya itu sama padahal itu berbeda walau seringkali dibeberapa konteks tertentu perbedaannya sangat tipis namun tetaplah berbeda .

Masyarakat Hindu sangat yakin menghaturkan bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yg paling utama ,
dan Masyarakat Hindu juga sangat yakin dalam konteks menghaturkan bakti kepada para leluhur dan hal itu diimplementasikan mulai dari lingkup keluarga dimana kita bisa menemukan adanya Sanggah Kemulan di bagian rumah" masyarakat hindu , lalu setelah itu melangkah ke jenjang lebih tinggi yaitu Pura Dadya,Pura Ibu lalu Pura Kawitan hingga Pedharman .
Maka dari itu sangatlah penting bagi masyarakat hindu untuk mengetahui siapa leluhur mereka dan itu sekali lagi sebagai wujud bakti mereka karena tanpa melalui proses dan siklus tersebut maka dirinya yg sekarang tidak akan mungkin ada .

KASTA TIDAK AKAN MEMBUAT KELOMPOK MANUSIA TERKOTAK-KOTAK , contoh paling mudah dilihat adalah :
Ketika masyarakat hindu melangsungkan yadnya ke Pura Besakih , mereka akan menuju Pura Pedharman masing" utk menghaturkan bakti kepada para leluhur mereka,dan setelah itu akan dipersatukan kembali di Pura Penataran Agung .

JADI tak perlu lagi mempertentangkan kasta , biarkan budaya itu tetap menjadi budaya masyarakat hindu , 

OKNUM YANG MERIBUTKAN SOAL KASTA bagi saya hanya orang" yang tidak percaya diri , minder , dan sejenisnya ....terlebih lagi di era peradaban modern seperti sekarang yg harus menjadi acuan utama adalah SIAPAPUN SAYA DAN SIAPAPUN ANDA ...KITA SEMUA HARUS SALING MENGHARGAI DAN MENGHORMATI dan setelah itu tingkatkan kualitas diri agar menjadi manusia" yg berguna , punya ahklak dan moral yang bagus , punya skill atau keahlian , mampu menunjukkan kualitas sebagai manusia yg berguna dan menginspirasi banyak orang ,dan sejenisnya .

Setiap orang tanpa terkecuali singkirkanlah EGO dalam diri kita karena sekali lagi kita harus selalu saling menghargai dan saling menghormati .

Banyak daerah atau negara" maju di belahan bumi ini yang memakai sistem kasta dan mereka semua adem dan tentram ,karena mrk  percaya diri untuk mengembangkan potensi diri mereka , bukan malah sibuk mempertentangkan sistem kasta yg jelas" itu ranah budaya dalam konteks tatanan sosial masyarakat .

#Jawaban_3 👉 apabila ada orang non hindu lalu masuk ke hindu (memang murni atas insiatif sendiri ) maka ia tak akan memakai kasta apapun dan ia tetap memiliki kawitan ....karena kawitan itu dari dasar katanya yaitu WIT yg berarti asal usulnya yaitu kita semua sejatinya kembali kepada asal usul kita yaitu ISHWW/Tuhan ...setelah melalui rangkaian upacara agar secara sah menjadi bagian sebagai umat hindu , maka setelahnya orang itu tetap diperkenankan membuat sanggah kemulan , karena sanggah kemulan tidaklah semata" dikhususkan dalam konteks memuja Leluhur tapi ada terkait pemujaan kepada ISHWW dalam manifestasi beliau sebagai Brahma Wisnu , Siwa .

" apabila para pembaca ingin jawaban lebih detail , berkonsultasilah ke Ida Sulinggih terkait point 1.2.3 tersebut "

#CATATAN misalnya ketika ada oknum yang katanya ia memperjuangkan kesetaraan , lalu mengatasnamakan agama ,mengatasnamakan ini dan itu ,dll TAPI disaat bersamaan ia sendiri malah meninggikan derajatnya apalagi dengan berbagai embel" tertentu maka secara psikologis itu disebut sebuah prilaku NAIF .

#tubaba//griyang bang//john dting blanco#

Untuk menjawab pertanyaan semeton di fb, titiang bisa jawab sekadi puniki; 

1. Piala Brahmana Putus saking Sang Hyang Pasupati
2. ‎Brahmana Jati saking Ida Bhatara Hyang Gni Jaya
3. ‎Brahmana Warna saking Ida Bhatara Panca Rsi
4. ‎Brahmana Wangsa dari Ida Bhatara Sakti Manuaba. 

Oleh sebab itulah Griya Agung Bangkasa menjadi Strenth serta dibenarkan untuk ngembas lan napak lintas pasemetonan, bahkan hanya kapurusan Griya Agung Bangkasa wenang nganggen Bhawa seperti gelung siwa, wenang munggah enggunakan baju lengan panjang dan wenang nganggen busana sakancan warna
Ring kapurusan Griya Agung Bangkasa dibenarkan nganggen Sang Brahmana Jati, kapan nanggen gagelaran bujangga, kapan anggen gagelaran buda dan kapan sebagai siwa. Ida sebagai Bhujangga saat melakukan pangresikan (pembersihan alam bhur dalam bentuk energi), beliau sebagai buda disaat beliau melakukan pembersihan alam buah dalam bentuk detia, kala, bhuta, danawa maupun pisaca maka dari itu beliau diwenangkan ngangge bajra, danda dan gentora disaat melakukan pengundur caru; sedangkan beliau di pandang sebagai siwa ketika menyicikan alam swah dengan puja puji/ngajum.

Pupus Raga Hilang Nyawa

Pupus Raga Hilang Nyawa
Napak tilas perjuangan Ida Sinuhun di Pundukdawa
Berkibar dalam syair Ida Mpu Gana
Berkobar dalam puisi Kepasekan
Untuk meraih Cita-cita merdeka di Pundukdawa

Napak tilas pasemetonan Panca Rsi
Bersatu dalam semangat jiwa di Pundukdawa
Bergema di jagat nusantara
Untuk meraih prestasi dan karya agung di Pundukdawa

Merdeka di Pundukdawa…
Kata yang penuh dengan makna
Taring Ida Bhatara Gana bertahta dalam raga Ida Sinuhun
Bermandikan darah dan air mata

Merdeka di Pundukdawa…
Perjuangan tanpa pamrih untuk semeton tercinta
Menggelora di garis kapurusan dan kepasekan
Memberi kejayaan pretisentana panca rsi sepanjang masa

Merdeka di Pundukdawa…
Harta yang tak ternilai harganya
Menjadi pemicu kebangkitan yang guyub
Untuk tampil di Era dunia modern

#tubaba@griyang bang//29/02/2020#

KIDUNG PANGAJUM

KIDUNG PANGAJUM 
(mangge ring Pura Kahyangan Dharma Smrti) 
Olih: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S

Atur titiang Dewa Ratu, 
Atur titiang Canang Melah, 
Canang Genten Sekar Arum, 
Mepulawa Kedapen Sari, 
Paku Pipid Ampuang Angin, 
Pikantene Sampian Emas, 
Aturing Ring I Ratu,
Maruntutan Gurit

Betarane sampun turun, 
Tunggal asta ring kahyanganne, 
Manut karya alit agung, 
Desa mawacara dresti, 
Bhakti ring Bhatara Sinuhun reko, 
Sidi sida sadu,
Bhakti ring Ida Bhatara sami. 

Gunung Lebah Gunung Agung, 
Lempuyang Andakasane, 
Gowa Lawah Uluwatu, 
Gunung Watukaru malih, 
Gunung Mangu Pura Bukit, 
Besakih Puserjagat, 
Segara Ulundanu, 
Mangkin Pura Pundukdawa

Kahyangan Dharma Smrti
Linggih Bhatara Sinuhun yukti. 

Bhatarane sampun mantuk, 
Segan agung pamendake, 
Canang sari burat arum, 
Juru kidunge mesanding, 
Bhatara katurin linggih, 
Linggih ida ring pangaksian, 
Luwih suci ngerawit. 

#wujud bhakti#

KIDUNG PAMENDAK
Teheran Bhatara Rauh
Ketut Linuh Magenjotan
Kilap, Tatit, Kuwog-kuwog
Dumilah Ngadeg ring Langit
Mangelinus Maring Jagat
Empak Taru Rubuh
Katibenin Andin. 

KIDUNG APIT LAWANG
Apit lawang margin ipun, 
Samping undag makembaran, 
Saga sari katon murub, 
Sanding in ben kembang koning, 
Lilitin gadung kastori, 
Malelepe magelongan, 
Panedenge kantun, 
Pudake mamusti.

Makna Filosofi Pura Kahyangan Dharma Smrti Ida Bhatara Sinuhun

Makna Filosofi Pura Kahyangan Dharma Smrti Ida Bhatara Sinuhun 
(oleh TUBABA) 

Di samping terdapat pelinggih Gedong diatasnya ada Arca/Patung Ida Bhatara Sinuhun sebagai pelinggih utama, terdapat juga Pelinggih Padma Anglayang dan sebuah Pelinggih Bebaturan Dalem Karang linggih Ida Bhatari Durga Manik, serta dua buah Bale Pawedan untuk melekukan pemujaan.

Yang patut kita renungkan lebih dalam adalah adanya Arca Pandita (Ida Bhatara Sinuhu) di lilit dua ekor Naga. Mengapa arca-arca di Pura Dharma Smrti Ida Bhatara Sinuhun itu begitu penting diketahui makna dan simboliknya?

Arca Pandita (Ida Bhatara Sinuhun) di sini menggambarkan bahwa dalam kehidupan di dunia ini upaya untuk mengikuti tradisi kehidupan kepanditaan. Dalam Sarasamuscaya 40 yang dinyatakan sumber dari Dharma adalah Sruti atau Mantra Veda Sabda Tuhan. Smrti adalah hasil renungan dari para resi setelah mempelajari Mantra Veda. Dari Mantra Veda Sruti itulah para resi mengingat-ingat kembali apa yang dipelajari dari Weda.

Dari renungan itulah para Resi menyusun kitab-kitab Smrti agar umat pada umumnya lebih mudah mengamalkan Dharma intisari dari Weda tersebut. Isi dari Smrti itulah juga sumber dari Dharma pula. Seorang dapat disebut resi/pandita apabila sudah dapat mendalami isi Weda tersebut sampai ia disebut sang Sista. Kebiasaan hidup para Pandita Resi yang Sista itu juga disebut sebagai sumber Dharma. Seseorang akan dapat mengatasi gelombang hidup duka dan duka di dunia ini apabila ia senantiasa berpegang pada Dharma yang didapatkan dari Sruti, Smrti dan Sistacara.

Arti Sistacara ini adalah tradisi hidup pandita ahli. Pengertian ahli di sini bukan ahli seperti ilmuwan dewasa ini. Sista tersebut adalah pandita yang sudah berhasil menghayati dengan sempurna Dharma yang terdapat dalam Weda Sruti dan Weda Smrti. Bukti keberhasilannya itu akan tampak dalam kebiasaan hidupnya sehari-hari, lebih-lebih Ida Bhatara Sinuhun pelopor pemersatu Pura Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Mpu Gana ring Pundukdawa.

Oleh itulah yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk mengatasi hiruk-pikuknya gelombang suka dan duka. Orang yang dapat mengatasi suka duka itulah yang dapat disebut sudah mencapai Atmanastuti atau hidup dengan kepuasan Atman. Mereka selalu hidup bahagia meskipun ada dalam keadaan suka dan duka. Artinya hiruk-pikuk kehidupan di luar dirinya sudah tidak mampu mengintervensi jiwanya. Inilah yang disebut dengan Atmanstusti sebagai tujuan dari pengamalan Weda.

Hal ini juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.6. Sruti diamalkan menjadi Smrti atau Dharmasastra. Dari Smrti inilah terus dirumuskan ke dalam kitab-kitab Sila seperti Itihasa dan Purana. Dalam kitab tersebut Sila itu dijabarkan dalam wujud cerita yang mengandung nilai sejarah. Karena itu disebut Itihasa. Kata Itihasa dalam bahasa Sansekerta artinya sejarah. Sejarah pengamalan Dharma inilah yang dikaryasastrakan oleh para resi menjadi Itihasa dan Purana atau histori yang distorikan bagaikan karangan dalam bentuk roman sejarah.

Dengan adanya Arca Resi (Ida Bhatara Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba) di Pura Dharma Smrti ini hendaknya umat dalam mengatasi gelombang suka dan duka dalam hidup di dunia ini melakukan Resi Yadnya. Dalam kitab Agastia Parwa Resi Yadnya dinyatakan: Resi Yadnya ngarania kapujang ring Sang Pandita muang sang wruh ring kalingganing dadi wwang. Artinya, Resi Yadnya namanya berbakti pada pandita dan paham akan hakikat diri sebagai manusia.

Agar kita dapat memahami hakikat diri hidup sebagai manusia rajinlah secara teratur membacakan kitab sastra suci karya para resi. Dengan rajin membaca kitab-kitab sastra suci itu kita akan mendapatkan pencerahan diri secara bertahap sampai kitab benar-benar paham akan hakikat hidup di dunia ini. Dengan pemahaman itu seseorang akan dapat menyelenggarakan hidup ini lebih elegan tak mudah diombang-ambingkan oleh hiruk-pikuknya zaman Kali ini.

Patung Ida Bhatara Sinuhun memegang tempat air dan dililit oleh dua ekor naga memiliki makna Dewa Siwa kasihan melihat manusia dan alam di bumi mengalami musibah, maka diutuslah Dewa Tri Murti untuk menyelamatkan Bumi. Turun Dewa Brahma menjelma menjadi Naga Ananta Boga lalu masuk ke dalam tanah. Dewa Wisnu turun menjelma menjadi Naga Basuki. Kepala Naga Basuki itu menjadi laut, ekornya menjadi gunung. Dewa Iswara turun menjelma menjadi Naga Tatsaka, yaitu naga yang bersayap terus terbang memasuki udara atau lapisan angkasa. Dengan turunnya Dewa Brahma menjadi Naga Ananta Boga, maka tanah pun menjadi gembur dan subur. Kepala Naga Basuki masuk ke laut menggerakkan air laut sampai menguap menjadi mendung kemudian menurunkan hujan. Hujan pun ditampung oleh gunung sebagai perwujudan ekor Naga Basuki sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Gunung sebagai tempat menyimpan air hujan kemudian baru akan dialirkan ke danau, mata air, dan sungai. Setelah aliran itu sampai di masing-masing tempat tadi, barulah manusia dan makhluk hidup lainnya dapat memanfaatkan air itu untuk kehidupan. Naga Tatsaka mengibas-ibaskan sayapnya menimbulkan desauan angin yang dapat menyejukkan makhluk hidup di bumi ini. Peran ketiga naga ini yang tak lain adalah penjelmaan Dewa Tri Murti sungguh besar

Ada pula sumber lain yang memberikan kita suatu tuntunan tentang bagaimana menghormati air sebelum kita akan memberdayakannnya, yaitu dalam kitab Mahabarata kisah tentang Bima Ruci. Bima diperintahkan Sang Guru Drona untuk mencari Tirta Amrta di tengah samudra. Dalam perjalanan mencari tirta amrta itu, Bima banyak menemukan rintangan seperti perlawanan yang dilakukan oleh Raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Dalam pengembaraannya yang tiada gentar di samudra luas, Bima dililit oleh Naga raksasa, sehingga samudra pun menjadi lautan darah. Oleh karena ketekunan, keberanian, dan bhakti pada gurunya, akhirnya Bima menemukan tirta amrta itu.
#sebuah bentuk Siwa Yadnya#

FUNGSI PURA KAHYANGAN DHARMA SMRTI IDA BHATARA SINUHUN.

FUNGSI PURA KAHYANGAN DHARMA SMRTI IDA BHATARA SINUHUN. 
(oleh:tubaba griyangbang) 

Keberadaan Kahyangan (tempat suci) bagi masyarakat Bali menjadi sangat penting. Hal ini erat kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana yang diyakini oleh masyarakat Bali merupakan bentuk harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam dan sesamanya yang bisa membawa mereka pada kesejahteraan lahir bathin. Tri Hita Karana sendiri diartikan 3 penyebab kesejahteraan. Untuk membangun harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, maka keberadaan Kahyangan (pura) menjadi sangat penting sebagai media pemujaan terhadap Tuhan dan alam semesta.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam mengharmonisasikan hubungan dengan Tuhan dan semesta masyarakat Bali pada masih menekankan pada ritual pemujaan. Memang alangkah lebih baik bila kedekatan terhadap Tuhan dalam segala fungsi manifestasiNya terutama yang erat kaitannya dengan alam, hendaknya juga diimbangi dengan perilaku yang bersahabat juga dengan alam sekitar. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga kelestarian alam sekitar kita dalam keseharian interaksi kita dan bukan hanya mengaturkan banten persembahan pada hari-hari tertentu saja untuk kemudian kita eksploitasi secara berlebihan.

Pemujaan terhadap Tuhan dalam berbagai manifestasiNya biasanya dilakukan pada Rahina (hari berdasarkan penaggalan Bali) dan di pura tertentu yang disesuaikan dengan manifestasi dan kewisesaan Tuhan. 

Rahina/rainan atau piodalan maupun perayaan untuk upacara persembahyangan biasanya ditentukan berdasarkan sistim kalendar Bali yang menggabungkan sistim Pawukon (lunar system) dan sistim kalendar Saka (solar system). 

Bali yang dikenal juga dengan sebutan Pulau Seribu Pura memang pada nyatanya mempunyai ribuan jumlah pura. Dari sekian banyak pura tentu saja tidak semuanya sama oleh karena itu ada pengelompokan pura didasarkan atas 2 unsur utama yaitu berdasarkan fungsi dan berdasarkan karakteristiknya. Berdasarkan fungsinya, pura dikelompokan pada 2 kelompok yaitu:

1). Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Hyang Widhi, para dewata/manifestasi Tuhan

2). Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja dewa pitara yaitu roh suci leluhur.

Pura Kahyangan Dharma Smrti Ida Bhatara Sinuhun berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja dewa pitara. Hal ini tidak terlepas dari keunikan agama Hindu Bali yang mengkombinasikan filosofi keyakinan agama Hindu yang bersumber dari India dengan keyakinan/pemujaan terhadap leluhur dimana diyakini bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai alam dewata dan menjadi dewa/bhatara pitara. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari Dharma Ida Bhatara Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba selama hidup beliau mampu mempersatukan umat Hindu senusantara khususnya semeton pasek ring madyaning utama pura panataran agung catur parhyangan ratu pasek linggih ida mpu gana dan menguak tabir I Pasek dan Ida Bagus bahkan menyatukan semua warih Pretisentana sapta pandita dan panca pandita di Utamaning Utama Pura pura pundukdawa. Ida Sinuhun juga telah mampu mengembangkan agama Hindu dan Pandita/sulinggih Hindu sampai ke matahari terbit (jepang) serta beliau menyatukan semua golongan, trah, dan atau kelompok melalui sebuah wadah organisasi yang bernama PDDS (paiketan Daksa Dharma Sadhu).  Namun umumnya sejelek apapun tingkah laku seseorang selama hidupnya bagi beberapa orang yang tidak sepaham dengan beliau, maka setelah meninggal beliau layak/wajib mendapat penghormatan yang sama terutama oleh para keturunan keluarganya bahkan masyarakat/umat yang tetap bhakti pada beliau. 

Berdasarkan atas karakteristik atau sifat khasnya maka Pura Kahyangan Dharna Smerti Ida Bhatara Sinuhun dikelompokan sebagai Pura Umum.

Pura Kahyangan Dharma Smrti mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga bisa disebut Kahyangan Jagat Bali. 

Selain itu Pura Kahyangan Dharma Smrti Ida Bhatara Sinuhun berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang pandita guru suci atau Dang Guru (IDA SINUHUN), yang dikenal sebagai pura Dang Kahyangan. Jadi Pura ini patut dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada Ida Sinuhun dalam Dharmayatra beliau menguatkan keimanan masyarakat Bali. 
#tubaba.swasti warsa 2020#

Pembangunan Pura Dharma Smerti Ida Bhatara Sinuhun

Pembangunan Pura Dharma Smerti Ida Bhatara Sinuhun dalam wujud Patung adalah sebuah NIYASA RUPA untuk mengenang Sang Pelopor Pura Catur Parhyangan Linggih Ida Bhatara Kawitan Ring Pundukdawa serta Pendiri Paiketan Daksa Dharma Sadhu (PDDS) yang bersifat solidaritas lintas pasemetonan.

Titiang sebagai oka biologis menyadari keterbatasan dalam menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam hal ini tidak semua orang dalam suatu tingkat tertentu dapat mengungkapkan Beliau dalam bentuk abstraknya tanpa wujud nyata. Sehingga untuk mengarahkan pikiran menuju kebesaran Beliau dan memudahkan konsentrasi, maka diperlukan suatu bentuk tertentu (Nyasa Rupa). Dalam konsepsi Hindu, untuk menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa terdapat empat jalan sebagai usaha manusia untuk dapat memahami sifat-sifat dan keadaannya. Keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga yaitu : Raja Yoga Marga (jalan melalui renungan batin), Jnana Marga (jalan melalui pengalaman ilmu pengetahuan), Karma Marga (jalan melalui pengorbanan, tingkah laku dan perbuatan), dan Bhakti Marga(jalan melalui sujud bhakti atau penyerahan diri).

Keempat jalan di atas memiliki cara-cara tersendiri dan tidak semua orang dapat menempuh semua jalan tersebut. Namun demikian, setiap orang boleh memilih jalan yang dianggap tepat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk mencapai tujuan hidup beragama, dalam agama Hindu banyak menggunakan simbol yang disebut dengan Nyasa Rupa. Dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia disebutkan pengertian Nyasa adalah simpanan, titipan, jaminan, tanggungan, petaruh; sanyasambek nira gelenga : sebagai jaminan atau petaruh akan kemurahan hatinya. Senada dengan pengertian tersebut, Nyasa juga dikatakan berlaku sebagai, bersikap akan, sanyasa sebagai atau sebagai penggantinya, demikianlah jika, seperti, seakan-akan.

Sedangkan di dalam kitab Weda Parikrama dijelaskan bahwa Nyasayang banyak dipakai dalam agama Hindu adalah simbol dengan garis-garis tertentu yang disebut Yatra atau Rekha, perpaduan warna dan kembang, gambar-gambar tertentu dan Arca yang wujud dan bentuknya kadang-kadang seperti nyata yang semuanya merupakan sekala sarira (badan kasar). Huruf adalah badan kasar yang dapat dipakai sebagai Nyasa (Pudja, 1989 : 28).

Sesuai dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Nyasa adalah sifat-sifat Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk patung, mantra, doa, stotra, lagu,  dan lain-lainnya yang merupakan ucapan, pikiran atau pernyataan apa yang terpikir dan ditujukan kepada Tuhan dengan penuh arti dan rahasia, sedangkan wujud benda-benda sebagai simbol dengan garis-garis tertentu yang disebut dengan Yatra atau Rekha, perpaduan warna-warna, kembang, gambar-gambar, huruf, dan arca/patung (gross body) yang bentuknya kadang-kadang seperti nyata. Semua yang disebutkan di atas pada akhirnya adalah merupakan aspek sunyata, dalam berbagai istilah dikenal dengan nama trancenden, niskala, nirguna, nirwikara. Yang artinya sama sebagai hakekat yang tidak dapat dikatakan, tidak bisa diucapkan, tidak bisa dinamakan dan tidak bisa digambarkan.

Sedangkan Rupa dalam kamus Bahasa Bali disebutkan pengertian dari Rupa itu mempunyai arti warni, goba yang dalam bahasa Indonesia berarti bentuk. Sedangkan dalam kamus kecil Sanskerta – Indonesia disebutkan Rupa adalah penampilan, bentuk, Rupaka: bersifat pelambang; Rupana : penandaan berupa pelambang (Tim, 1983 : 199). Dalam kitab Weda Parikrama dijelaskan hubungan antara mudra dan mantradalam teori Nyasa erat sekali, sebagaimana halnya antara nama dan rupa, suara (wak) dengan artha dan lain-lainnya. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Rupa adalah bentuk, warna, penandaan yang berupa pelambang dan mempunyai hubungan erat dengan nama, sifat dan warni.

Pemberian nama atau gelar sifatnya lebih kongkrit apabila dibandingkan dengan penglihatan manusia dalam fantasi pikiran. Pengetahuan mengenai nama-nama berdasarkan kitab suci sebagai sabda Pramana (Agama Pramana) sedangkan pengetahuan nama-nama yang diperoleh secara bebas dapat disebut sebagai Pratyaksa Pramana dan Anumana Pramana. Dalam kaitan dengan hal tersebut, salah satu aspek untuk mempelajari ketuhanan adalah berusaha untuk mengenal atau mengetahui Tuhan berdasarkan sebuah nama, serta penggambaran tentang sifat dan hakekat-Nya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Patung Ida Bhatara Sinuhun merupakan sebuah Nyasa Rupa yang mampu mewujudkan sifat-sifat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dihayalkan manusia menurut fantasi manusia atau pikiran manusia, seolah-olah apa yang dipikirkan tersebut sesuai dengan aslinya. Kemudian sifat-sifat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (murtinya) diwujudkan dalam bentuk Nyasa yang sifatnya abstrak, karena perwujudannya dalam bentuk mantra dan mudra sukar untuk diikuti dan dipahami oleh orang awam. Niyasa dibuat menjadi nyata atau direalisasikan ke dalam bentuk-bentuk Patung/Arca, huruf, aksara, Padmasana, Meru, dan alat-alat upacara. Di dalam pelaksanaannya, yadnya dan sarana-sarana seperti tersebut di atas disebut simbol.

Perwujudan Patung Ida Bhatara Sinuhun sebagai Nyasa Rupa adalah satu refleksi atau pantulan pemikiran yang dipergunakan sebagai pengganti, seakan-akan yang dimaksud adalah seperti yang sebenarnya. Perwujudan Patung Ida Bhatara Sinuhun sebagai Nyasa Rupa(simbol) sebagai syarat yang sangat penting karena merupakan sarana komunikasi antara penyampai dengan penerima atau antarkomunikator dengan yang diajak berkomunikasi. Dalam berkomunikasi dengan Ida Bhatara Kawitan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kadangkala manusia mengukur dirinya sendiri. Dengan menggunakan bahasa sehari-hari (saa) yang diketahui dan apabila sulit maka simbol/patung adalah sarana (sadhana) pengganti dalam berkomunikasi.

Apapun bentuk dan lambang yang digunakan dan yang tersirat didalamnya haruslah dipahami, sebab bentuk-bentuk dalam sthana dewata atau lambang/perwujudan Patung Ida Bhatara Sinuhun sebagai Nyasa Rupa itu sendiri bukanlah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Semua bentuk-bentuk itu tidaklah lebih dari sarana pembantu untuk mengarahkan pikiran kepada Ida Bhatata Kawitan/Ida Sanghyang Widhi Wasa, bahkan segala perbuatan manusia sebenarnya merupakan simbol-simbol belaka. 

Di dalam bentuk perwujudan Patung Ida Bhatara Sinuhun sebagai  Nyasa Rupa inilah sifat-sifat Ida Bhatara Kawitan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak terpikirkan itu dapat tercermin (Santhi, 1983 : 18). Penggambaran  perwujudan Patung Ida Bhatara Sinuhun sebagai dalam bentuk simbol (Nyasa Rupa) merupakan sumber inspirasi dari para bhakta yang ingin menggambarkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk seni melalui imajinasi manusia. Melalui imajinasi inilah, maka tercipta bangunan-bangunan suci, lukisan-lukisan, rerajahan-rerajahan, patung-patung dalam bentuk-bentuk pratima, dan dari sastra terciptalah kakawin dan kidung yang dipakai dalam pelaksanan upacara agama.

Sesungguhnya Beliau ada di mana-mana dan untuk memuja-Nya, maka Beliau dibayangkan seakan-akan ada dalam suatu obyek tertentu. Beliau pada konsepsinya yang terakhir adalah tanpa bentuk. Tidaklah ada ketidakmungkinan yang mutlak dalam mengibaratkan bentuk-Nya yang beranekaragam demi kepentingan para penyembahnya.
#tubaba.griyangbang.mewujudkanpermintaan terakhir#

Ujianmu Berat, Bersyukurlah Karena Kamu Sedang Diperkuat

Merasa Ujianmu Berat, Bersyukurlah Karena Kamu Sedang Diperkuat
Percayalah Tuhan punya rencana tersendiri untukmu. Rencana yang Beliau siapkan khusus untuk menyambut kesuksesanmu. Itulah kenapa kamu cukup saja menjalani hidupmu sebagaimana Tuhanmu memerintahkanmu. 

Jalani saja peranmu sebagai makhluknya. Karena pada akhirnya, Tuhan pasti punya rencana yang indah untuk setiap makhluk yang Beliau cipta.

#tubaba@berusaha menyesuaikan peran dari Tuhan#

IDA SANG HYANG PASUPATI (BHATARA GURU)

IDA SANG HYANG PASUPATI (BHATARA GURU)

Katedun Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd

Om Swastyastu
Om Awignam Astu
Pangaksamaning ulun Ripada Batara Hyang Sinuhun, Sang gunelaring Sarining Ong Kara Mantra, Reda ya Nirmalayem, Muah ri Sang Sida Yogiswaranem, siraya Anugraha ring hana Wakya, ripurwa ira Sang wus lepas, luputing Mami ring tulah pamadi, Mwang sawigrahana mala petaka, tan kataman upadrawa,Denira Betara Hyang Mami, Wastu kita pari purna, lan anemu aken ayu, Dirgahayu-dirgayusa,ri purwa kala caritan

Ida Hyang Pasupati adalah seorang maha suci yang dahulu menurunkan sapta dewata-dewati yang berkaitan dengan silsilah bhagawanta/Sulinggih sebagai penuntun umat untuk dapat kembali meyakini dharma kebenaran atas agamanya.

IDA HYANG PASUPATI
Maputra Pepitu;
1. Ida Hyang Geni Jaya (Lempuyang Luhur)
2. Ida Hyang Putranjaya (Gunung Agung)
3. Ida Dewi Danuh (Ulun Danu Batur)
Make tetiga niki Tri Purusa sane nyentanayang semeton Bali sami. 
Hyang Pasupati Berputra 3 berdasarkan Prasati Arya Wang Bang Pinatih dan Prasati Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi

4. Ida Hyang manik Gumawang (G Beratan/Mangu)
5. Ida Hyang Tumuwuh (G Watukaru)
6. Ida Hyang Tugu (G Andakasa)
7. Ida Hyang Manik Galang (Pejeng)

IDA HYANG PUTRANJAYA
maputra
1. Bhatara Ghana
2. Bhatari Manik Gni

IDA HYANG GNI JAYA
maputra
1. Mpu Withadarma/Sri Mahadewa

Sri Mahadewa meputra
1. Mpu Bhajrasatwa/Wiradharma
2. Mpu Dwijendra/Rajakertha

Mpu Dwijendra maputra
1. Gagaking
2. Bubuksah
3. Brahmawisesa

Brahmawisesa maputra
1. Mpu Gandring
2. Mpu Saguna

Mpu Saguna menurunkan
1. Warga Pande

Mpu Bajrasatwa menurunkan
1. Mpu Tunuhun (Mpu Lampita)

Mpu Tunuhan meputra Panca Tirta/Panca Resi/Panca Pandita:
1. Mpu Gnijaya,
2. Mpu Semeru,
3. Mpu Gana,
4. Mpu Kuturunan (yang membawa lontar-lontar ke Bali) dan
5. Mpu Baradah

MPU GNI JAYA
meparahyangan ring Lempuyang Madya, menurunkan Sapta Rsi yang sudah samasama kawin dan berumah tangga dijawa, kemudian masing-masing memiliki keturunan.

1. Mpu Ketek mempersunting putri Ki Arya Padang Subadra, berputra dua orang lakilaki yaitu Sanghyang Pemacekan dan Arya Kepasekan. Sanghyang Pemacekan juga berputra 2 orang, yang pertama Mpu Pemacekan kemudian pergi ke Pasuruhan, lalu pindah ke Majapahit. Putra yang kedua adalah seorang putri bernama Ni Dewi Girinatha. Sedangkan Arya Kepasekan juga mempunyai 2 orang putra yaitu : Kyayi Agung Pemacekan dan Ni Luh Pasek. Mpu Pemacekan di Majapahit mempunyai 3 orang putra yakni Ni Ayu Ler, Mpu Jiwanatha dan Arya Pemacekan. Kemudian Kyayi Agung Pemacekan berputra 2 orang yaitu Kyayi Pasek Gelgel dan Kyayi Pasek Denpasar. Mpu Jiwanatha mempunyai putra Kyayi Agung Padang Subadra, lebih lanjut Arya Pemacekan mempunyai putra Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pemacekan. Kyayi Agung Pemacekan berputra Kyayi Agung Pasek Subadra dan Kyayi Pasek Tohjiwa. Kedua putra beliau ini berperan pada awal jaman Kerajaan Gelgel. Seterusnya Kyayi Agung Pasek Subadra berputra Pasek Subadra menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Suladri, ia berasrama di Taman BaliBangli. Dan yang terkecil adalah Pasek Kuru Badra. Kemudian Kyayi Pasek Tohjiwa berputra; Pasek Tohjiwa menjadi tabeng wijang Kerajaan Gelgel, adik-adiknya adalah Pasek Tanggun Titi, Pasek Penataan, Pasek Antasari, Pasek Alas Ukir, Pasek Langlang Linggah, Pasek Besang, Pasek Duda, Pasek Wanagiri, Pasek Medaan, Pasek Bantiran, Pasek Pupuan dan Pasek Sanda. Sedangkan Pasek Subrata menurunkan Pasek Subrata Bale Agung, De Pasek Sadra, De Pasek Tawing dan De Pasek Mubutin. Dukuh Suladri di pesraman Tamanbali menurunkan I Gde Pasek Sadri, Pasek Sadra yang menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sakti Pahang, Ni Luh Sadri diperistri oleh Sri Angga Tirtha Ksatrya Tirtha Arum. Luh Sadra diambil oleh Dalem De Madya.
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerahKarangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.

2. Mpu Kananda menikah dengan putri Mpu Swethawijaya, berputra seorang laki-laki bernama Sang Kuldewa. Sesudah menempuh acara dwijati, sang Kuldewa bergelar Mpu Swethawijaya, sama namanya dengan kakek dari Pradhana (pihak perempuan). Mpu Sweta Wijaya berputra 3 orang yaitu : Sang Kulputih yang tertua bergelar Mpu Dwijaksara. Beliaulah yang menyusun pegangan “Seha” atau “Anteban” buat para pemangku di Bali. Pustaka suci ini bernama “Sang Kulputih”, putra yang kedua bernama Mpu Wira Sang Kulputih pergi ke Pasuruhan. Putranya yang ketiga bernama Ni Arya Swani. Mpu Wira Sang Kulputih berputra Ni Luh Sorga dan Ki Dukuh Sorga, ia pergi ke Bali. Inilah yang menurunkan para Pemangku Kulputih di Besakih. Demikianlah keturunan Mpu Kananda yang mempergunakan pungkusan Pasek Sorga.

3. Mpu Wiradnyana menikah dengan putri Mpu Panataran berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha. Beliau berasrama di hutan Tumapel, beliau berputra Mpu Purwa dan Ken Dedes. Ken Dedes dipersunting oleh Tunggul Ametung sebelum akhirnya dikawini oleh Ken Arok setelah dapat mengalahkan Tunggul Ametung, inilah yang menurunkan Raja-raja Jawa selama 4 Abad. Mpu Purwa berputra Arya Tatar dan Ni Swaranika. Arya Tatar pindah ke Bali dan mempunyai putra yang diberi nama Ki Gusti Pasek Lurah Tatar dan Ni Rudani. Ki Gusti Pasek Lurah Tatar menurunkan De Pasek Tatar yang kemudian menurunkan Pasek Tatar di Bali. Pungkusan Pasek Tatar di Bali dengan keturunannya yaitu Pasek Penataran, Pasek Tenganan, De Pasek Mangku Bale Agung, Pasek Bale Agung Buleleng dan Pasek Pidpid. Sekian banyak keturunan Mpu Wiradnyana masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Penataran, Pasek Tatar, Pasek Telengan dan Pasek Pidpid.

4. Mpu Withadarma mengawini putri Mpu Dharmaja berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiradaharma, beliau menjabat sebagai Raja di Bali antara tahun 1343-1350 Masehi sebelum Adipati Kresna Kepakisan datang ke Bali, didampingi oleh patihnya yaitu Kyayi Padang Subadra.
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itu beliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.

5. Mpu Ragarunting kawin dengan putri Mpu Wiranathakung berputra seorang lakilaki bernama Mpu Wirarunting alias Mpu Paramadhaksa. Mpu Paramadaksa pergi ke Pasuruhan, lalu kemudian ke Majapahit. Di sana beliau berputra Mpu Wira Ragarunting dan Ni Ayu Wira Ragarunting, Ni Ayu Wira Runting.
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.

6. Mpu Prateka mengambil putri Mpu Pasuruan, berputra seorang laki-laki bernama Mpu Pratekayajna.
Mpu Prateka berputra seorang yaitu Mpu Pratekajnana atau disebut pula Mpu Pratekayadnya, beliau juga pergi ke Pasuruhan. Disini Beliau berputra Sang Prateka, Ni Ayu Swaranika dan Ni Ayu Kamareka. Sang Prateka berputra De Pasek Kubakal, ia kembali ke Balidan menurunkan De Pasek Pasaban, De Pasek Rendang, De Pasek Nongan, De Pasek Prateka Akah, Ki Dukuh Gamongan dan Ki Dukuh Blatungan. Ki Dukuh Gamongan menurunkan Ki Dukuh Gamongan Sakti dan Ki Dukuh Prateka Batusesa. Sekianlah keturunan Mpu Preteka masing-masing dengan pungkusan Pasek Prateka,Pasek Kubakal dengan pusat di Kubakal – Rendang, Pasek Dukuh Gamongan, Pasek Dukuh Belatung dan Pasek Nongan.

7. Mpu Dangka menikah dengan putri Mpu Sumedang, berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiradangkya.
Sama halnya dengan Mpu Prateka, Mpu Dangka juga sedikit pratisentananya, beliau berputra seorang yaitu Mpu Wira Dangkya, beliaupun pergi ke Pasuruhan kawin dengan Dewi Sukerthi menurunkan tiga orang putra-putri yaitu : Sang Wira Dangka, Ni Ayu Dangki dan Ni Ayu Dangka. Sang Wira Dangka juga kembali ke Bali, lalu menurunkan Ni Rudani, De Pasek Lurah Kadangkan, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De Pasek Lurah Gaduh. De Pasek Lurah Kadangkan berputra I Pasek Taro, I Pasek Penida, I Pasek Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. Demikian juga De Pasek Lurah Ngukuhin berputra I Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pucangan, I Pasek Gaduh Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Banjar Watugiling.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.

MPU SEMERU,
mengangkat Putra (Darma Putra) dari Bali Aga yg mediksa menjadi Mpu Driakah/Mpu Karmareka selanjutnya menurunkan Pasek Catur Sanak Pesramannya menjadi Pura Catur Lawa Ratu Pasek ring Besakih, yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem (Kayu Selem).

Dijelaskan dalam Mahagotra Pasek Kayuselem, Mpu Driakah/Mpu Karmareka, beliau di Tampurhyang (Batur) dan bertapa di Gwa Song (Songan) yang didatangi Bidadari Kuning. Dengan Bidadari Kuning Mpu Kamareka berputra :

1. Ki Kayu Ireng setelah dipodgala bergelar Mpu Gni Jaya Mahireng dengan Ni Kayu Ayu Cemeng menurunkan :
Sang Taruhulu menikah dengan Ni Ayu Ireng
Sang Kayu Selem / Wreksa Ireng
Ni Kayu Nelem

2. Sang Made Celagi bergelar Mpu Made Kayuan di Balingkang, Mpu Made Kayuan menurunkan :
Sang Panarajon
Ni Ayu Nguli
Ni Kayu Ireng
Ni Ayu Kinti
Ni Ayu Kaywan

3. Sang Nyoman Tarunan bergelar Mpu Tarunan di Belong Tulukbiyu, Mpu Tarunan menurunkan :
Sang Tarunan
Ni Ayu Dani
Ni Ayu Tarunan
Ni Ayu Taruni

4. Sang Ketut Selem bergelar Mpu Badengan,
4. Mpu Badengan berputra :
Ki Kayu Celagi
Ki Kayu Taruna

Dalam Babad Pasek Kayu Selem, diceritakan ketika telah selesai memberikan petüah kepada para sisya, Mpu Kamareka beryoga dan dengan tenang moksa menuju alam sunyata.

MPU GANA
Nyukla Brahmacari, Parhyangan Ida Mpu Gana sekarang ring Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana ring Madyaning Utama Mandala Pura Pundukdawa, Dawan Klungkung.

MPU KUTURAN
Sewala Brahmacari, sekali menikah berpisah dgn Walu Nateng Dirah, berputri Diah Ratna Manggali, Pesramannya di Padangbai menjadi Pura Silayukti

MPU BARADAH
menetap di Lemah Tulis Kediri menurunkan
1. Mpu Siwagandu,
2. Dyah Widawati dan
3. Mpu Bahula.

Mpu Siwa Gandu tercatat sebagai Brahmana Jaya Pangus yg menolak perkawinan Raja Jaya Pangus dgn Kang Cing Wie,berputra Maha Resi Segening/Mpu Keling tinggal di Keling Jawa Timur, moksah di G. Agung. Mpu Keling berputra Dalem Mangori, dari istri Ni Berit Kuning putri Raja Airlangga yg melarikan diri ke Hutan karena sesuatu sebab, menurunkan Sentana Satriya Wangsa saat di Jawa, dan di Bali oleh Dalem Blesung diabiseka Ki Mantri Tutuan, dengan memberikan seluruh hak seorang raja kepadanya dan ditempatkan di Bukit Buayang/Bukitbuluh dan hak berupa pembebasan dari danda pati dll, yg selayaknya seorang Raja.

Mpu Bahula menikah dgn Diah Ratna Manggali meputra 5;
1. Mpu Tantular/Mpu Wiranatha
2. Ni Dwi Dwarawati
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amarthajiwa
5. Ni Dewi Amertha Manggali

Prasasti Manik Angkeran menyebutkan Mpu Tantular Berputra 4 ;
1. Mpu Panawasikan menurunkan seorang Putri
2. Mpu Sidimantra menurunkan Manik Angkeran
3. Mpu Semaranatha menurunkan Dang Hyang Angsoka yg menurunkan Brahmana Buda dan Dang Hyang Nirarta yg menurunkan Brahmana Siwa Kemenuh, Manuaba, Keniten dan Petapan
4. Dang Hyang Soma Kepakisan menurunkan Raja di Jawa Bali dan Sumbawa bergelar Dalem.

Ida Sang Hyang Pasupati adalah penguasa di alam dewa, dan beliau yang memberi kehidupan

Beliau adalah dewata yang menghidupi
dan ialah Siwa dalam peran (Bhatara Guru)

Tentunya adanya kehidupan karena Sang Pasupati yang berkenan

Jadi penguasa kehidupan sebagai dasar dari hidup manusia dan ini sebagai yang utama di dunia

Pada dasarnya Ida Sang Hyang Pasupati adalah Siwa merupakan satu namun keadaan dan sifatnya berbeda, 

Secara Vertikal sebagai jiwa - jiwa agung alam semesta ini yang disebut Sang Hyang Tri Purusa untuk seluruh tingkatan lapisan Tri Loka dimana mahluk hidup itu berada.Secara Horisontal Siwa bersifat :Personal God, Beliau yang dalam berbagai wujud-Nya dan hanya dapat dijangkau oleh rasa atau daya pikir manusia. Impersonal God bersifat immanent yang meresapi (Uta Prota) dan hadir pada segalanya termasuk meresapi pikiran dan indriya (sira wyapaka).Siwa Loka, alam Siwa yang hampa (sunia) dan tenang, sangat mulia tiada tara, maha sempurna.Ketika melakukan sembahyang, Siwa Dwara merupakan stana Beliau.

Sejatinya, Tuhan adalah "Bhatara Siwa", dan Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi itu sendiri sebagaimana yang dijelaskan dalam Lontar Siwa Sasana yang merupakan salah satu ajaran ketuhanan.

Peran beliau adalah sebagai yang menghidupi apa yang umat mohonkan dan tentunya agar umat bisa merasakan kehidupan seperti umat mohonkan

( Keutamaan beliau adalah menghidupi kehidupan umat agar bisa merasakan hidup )

Kirang langkung nunas ampura
Om Santi Santi Santi Om