Apa itu Huruf Bali?
Aksara Bali (atau dikenal dengan nama hanacaraka (aksara Bali) adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi (yang merupakan turunan dari aksara Assyiria) yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuna/Kawi dan bahasa Bali. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan abugida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Jawa. Aksara Bali ini menurut Simpen A.B di bagi menjadi 3 yaitu Aksara Wreastra, Aksara Swalalita dan Aksara Modre.
hana caraka (ada utusan/parekan)
data (tekun/taat) sawala (= suwala –surat)
pada jayanya (patuh kekuwatané)
maga (ma‐ang‐ga/berbadan) batanga (watangan/bangké) = mangawak bangké = palastra !
Mengungkap makna kehidupan dibalik Aksara Bali
Adapun makna yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) HA NA CA RA KA:
Ha: Hurip = hidup
Na: Lagena = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, kalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
(2) DA TA SA WA LA
DA TA SA WA LA (versi pertama):
Da: Dada = dada/tangkah
Ta: Tata = atur/tingkah laku
Sa: Saka = tiang penyangga/adegan
Wa: Weruh = tahu/nawang
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA TA SA WA LA (versi kedua):
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
(3) PA DHA JA YA NYA:
PA DHA JA YA NYA =Sama kuatnya (tidak diartikan per huruf).
(4) MA GA BA THA NGA :
Ma: Sukma = sukma, atma, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Ta: batang = mayat
Nga: Lunga = pergi
Tetapi selanjutnya dengan sedikit ngawursaya pribadi akan berusaha menyelami dan menjabarkan tafsir huruf Balitersebut sesuai dengan kemampuan saya. Kalau banyak kesalahan ya mohon dimaklumi karena saya bukanlah seorang filusuf, saya hanya ingin mengenal lebih jauh huruf Bali (walaupun secara ngawur dengan cara sendiri).
(1) HA NA CA RA KA:
Ha: Hurip = hidup
Na: Lagana = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, kalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
Dari arti secara harfiah tsb, saya berusaha menjabarkannya menjadi dua versi:
**) Ketelanjangan=kejujuran
Bukankah secara fisik manusia lahir dalam keadaan telanjang? Tapi sebenarnya ketelanjangan itu tidak hanya sekedar fisik saja. Bayi yang baru lahir juga memiliki jiwa yang "telanjang", masih suci…polos lepas dari segala dosa. Seorang bayi juga "telanjang" karena dia masih jujur…lepas dari perbuatan bohong (kecuali bayi aneh). Sedangkan CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-karya . Sehingga HA NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan dan mengembangkan cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi kejujuran. Marilah kita "telanjang" dalam bercipta, berrasa dan berkarya.
**)) Pengembangan potensi
Jadi HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia "dihidupkan" atau dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan "telanjang". Telanjang di sini dalam artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah manusia harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan cipta-rasa-karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan bentuk paling kuat dan seimbang) antara otak yang mengkreasi cipta, hati/kalbu yang melakukan fungsi kontrol atau pengawasan dan filter (dalam bentuk rasa) atas segala ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak, serta terakhir adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana semua kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai badan sensor manusia).
Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga "kelayakannya" sudah diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa aturan hukum dll).
(2) DA TA SA WA LA: (versi pertama)
Da: Dada = tangkah
Ta: Tata = atur/tabiat/tingkah laku
Sa: Saka = tiang penyangga/adegan
Wa: Weruh = tahu/nawang
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA TA SA WA LA berarti dada/tangkahene ditata suapaya bisa bertabiat dan mampu berbicara sopan santun serta berdiri tegap bagaikan tiang/adegan yang kokoj sehingga mampu mengerti akan perjalanan hidup (lakuning urip). Atau dengan kata lain; Dengarkanlah suara hati (nurani) yang ada di dalam dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
Kata "atur" bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage (menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dalam konsep agama Hindu Bali dikenal dengan utsaha ta larapanta astungkara sida sidaning don, utsaha ta larapanta adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan astungkara sidaning don adalah memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
DA TA SA WA LA: (versi kedua)
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
DA TA SA WA LA bisa ditafsirkan bahwa hanya Dzat Yang Esa-lah (yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang benar-benar mengerti akan baik dan buruk. Secara kasar dan ngawur saya mencoba menganggap bahwa kata "baik" di sini ekuivalen dengan kata "benar" sedangkan kata "buruk" ekuivalen dengan "salah". Jadi alangkah baiknya kalau kita tidak dengan semena-mena menyalahkan orang (kelompok) lain dan menganggap bahwa kita (kelompok kita) sebagai pihak yang paling benar.
(3) PA DHA JA YA NYA:
PA DHA JA YA NYA = sama kuat
Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa nafsu, sehingga tidak salah ketika dalam kekawin ramayana menyatakan bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita masing-masing.
(4) MA GA BA THA NGA:
Ma: Sukma = sukma, atma, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Ta: batang/watang = mayat
Nga: Lunga = pergi
Secara singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya manusia akan menjadi mayat ketika sukma atau atma kita meninggalkan raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada akhirnya akan kembali (AWOR) juga kepada Sang Hyang Paraning Dumadi. Oleh karena itu kita harus senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Id Sang Hyang Widhi Wasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar