Rabu, 19 Februari 2020

Hilangkan Nasib Buruk dengan Sungkem (Padasewanam) atau Cium Tangan (Hastasewanam)

Hilangkan Nasib Buruk dengan Sungkem (Padasewanam) atau Cium Tangan (Hastasewanam) 
siapa yang tidak mengenal arti sungkem?

Melakukan Padasewanam sudah tentu, ritual ini banyak bisa kita lihat belakangan ini, baik pejabat maupun para artist, bila akan melaksanakan sebuah acara penting, maka "Ritual Sungkem pada orang tua" tidak akan dilewatkan.

Bagi saudara kita suku Jawa, tradisi sungkeman kepada orang tua ketika mantenan atau hari raya (seperti Lebaran) merupakan pemandangan yang sudah biasa. Tradisi ini dipahami sebagai pernyataan terima kasih, permohonan maaf, sekaligus pemberkatan kepada sanak keluarga (anak-anak) dari orang tuanya. Para menganut tradisi sungkeman meyakinkan bahwa sujud di kaki orang tua merupakan anugerah luar biasa bagi sebuah kesuksesan. Namun hal ini menjadi luar biasa (bahkan dipandang maboya = aneh) ketika tradisi ini dilakukan oleh orang Hindu (Bali). 

Mungkin dalam benak semeton Bali ada yang bertanya-tanya dalam hati,
Bukankah, sungkeman itu ritual adat jawa?
atau, sungkeman dan cium tangan (hastasewanam) orang yang lebih tua merupakan ritual agama non-hindu..?

Sepintas bila di lihat di media masa, TV dan media lainnya, memang kebanyakan orang yang melakukan sungkem adalah orang non-Hindu. tapi perlu diketahui bahwa, ritual sungkem merupakan ritual asli agama Hindu.

kok bisa...??
Mari kita telusuri dasar pelaksanaan sungkem.
Dalam Agama Hindu, istilah "SUNGKEM lebih dekat dengan kata PADASEWANAM atau istilah balinya NYUMBAH bukan nyulubin".

Sungkem adalah Ajaran Agama Hindu

Hindu mengenal cara mendekatkan diri kepada tuhan ada 4 cara, yang disebut dengan Catur marga Yoga. Dari 4 cara tersebut, SUNGKEM pada orang tua merupakan bagian dari Bhakti Marga. ini dibuktikan pada sloka Bhagavata Purana yang menyebutkan kata Nava Vida Bhakti diantaranya:

Sravanam, kirtanam, visnohsmaranam, Padasevanam, vandanam, arcanam, dasyam,Sakhyam, atmanivedanam. Bhagavata Purana (VII, 5.23)

Yang artinya :
Mendengarkan prihal kemuliaan Tuhan, menyanyikan namaNya, mengingat dan merenungkan kemuliaan Tuhan, memuja kaki Tuhan, membaca kitab suci, menghormati Tuhan melalui media Arca, mengabdi kepada Tuhan, mencapai kedekatan dengan Tuhan, pasrah diri kepada Tuhan.

Nah.. dari 9 ritual diatas, salah satunya disebutkan kata "Padasevanam" yang artinya sejatinya memuja kaki Tuhan.
maksud Padasevanam atau sungkem ini adalah perwujudan bhakti kepada Tuhan dengan menyembah kaki padma Tuhan. Kaki padma diartikan sebagai kaki yang maha suci milik Tuhan.

Pertanyaan berikutnya adalah:
Padesawanam adalah yang dipuja adalah kaki padma Tuhan, tapi sungkem itu membungkuk atau menentuh kaki orang tua, apa hubungannya?

Kenapa orang tua dikatakan Kaki Tuhan?
Mari kita mengingat kembali, sinar suci Tuhan didunia kita sebut sebagai DEWA. dan siapakah para dewa di dunia itu...? apakah hanya para malaikat saja...? mari kita simak sloka berikut ini:

matrdevo bhava pitrdevobhava, acaryadevo bhava atithidevo bhava.  (Taittiriya Upanisad 1.11)
Artinya:
seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa dan para tamu pun adalah dewa.

Coba perhatikan, Ibu, Bapak dan Guru... itu semua adalah Dewa, yang merupakan sinar suci Tuhan. Jadi bila kita membungkukan badan kepada mereka,menghormati mereka, itu sama artinya kita melakukan Padasewanam kepada Tuhan.
Sehingga jelas sudah, bahwa: sungkem wajib dilakukan pada orang tua atau yang lebih tua, sungkem juga wajib dilaksanakan kepada seorang Guru/Sulinggih

Kitab Purana dalam hal ini Ganesha Puranapernah mengisahkan tentang manfaat dari mengelilingi orang tua yang merupakan wakil Tuhan di bumi. Alam semesta hanyalah sebagian kecil dari kemahakuasaan Tuhan, oleh karena itulah dengan menyadari prinsip ketuhanan dalam diri orang tua maka secara tidak langsung kita juga akan disinergikan dengan alam dan lingkungan sehingga menunjang tercapainya keharmonisan hidup antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan juga hubungan manusia dengan alam lingkungan sebagaimana yang diinginkan dalam ajaran Tri Hita Karana. 

Di India sendiri sebagai cikal bakal budaya Hinduisme, tradisi membasuh kaki kedua orang tua semasih hidupnya adalah sesuatu yang boleh dikatakan wajib bagi anak-anak sebab bagaimanapun, dalam kegiatannya sehari-hari sudah barang tentu seorang anak pasti pernah saja melakukan kesalahan baik dalam perbuatan maupun kata-kata kepada orang tua mereka baik itu secara tidak sengaja maupun karena lepas control demikian halnya orang tua walaupun dipenuhi dengan kasih dalam membesarkan anaknya tapi kemungkinan mereka pernah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai orang tua adalah juga merupakan hal yang pasti. 

Oleh karena itulah maka tradisi bersujud kepada orang tua sebagai tanda penghormatan dan penghargaan atas semua hal baik yang pernah mereka lakukan demi untuk membesarkan sang anak harus terus dipelihara dan dipertahankan. Terlebih dalam menghadapi arus jaman yang semakin keras oleh pengaruh Kali Yuga dimana banyak kita temukan ketidak harmonisan antara anak dan orang tua dan khususnya lagi antara mertua dan menantu padahal dalam kitab suci semua agama telah tercantum dengan jelas tentang bagaimana pentingnya membina keharmonisan hidup dalam rumah tangga bagi kedamaian jagat raya. Sebab jika di masing-masing rumah tangga sebagai lingkup terkecil dari sebuah komunitas, orang-orangnya bisa hidup tentram dan saling menghormati, maka tentu ketentraman dan kedamaian akan tercipta dalam lingkup yang lebih besar lagi yakni kedamaian dalam satu desa. Selanjutnya jika masing-masing orang yang bertempat tinggal dalam sebuah desa bisa menciptakan kerukunan dan keharmonisan antar desa lainnya, maka tentulah hal ini akan berdampak pada terciptanya rasa damai dalam sebuah daerah, dan demikian seterusnya. Oleh karena itulah maka langkah awal yang bisa kita ambil untuk merealisasikan kata Shanti atau Damai sebagaimana tercantum dalam setiap mantram akhir dalam doa-doa Hindu adalah dengan memulainya dari diri sendiri dengan membangkitkan kedamaian itu melalui pengembangan kasih sayang yang sudah laten ada dalam setiap Individu. Misalnya dengan melakukan perenungan sekaligus penyadaran atas kasih sayang orang tua yang telah diterima sejak masih dalam kandungan sampai anak yang bersangkutan besar dan mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. 

Bagaimana seorang Mertua bisa memperlakukan dan menganggap menantu sebagai anaknya sendiri dan juga sebaliknya bagaimana seorang Menantu mau dan mampu menyayangi mertuanya sebagaimana ia mengasihi kedua orang tua kandungnya.

Epos besar Mahabharata adalah salah satu karya besar Rsi Agung Vyasa yang tetap bisa dijadikan contoh untuk menjalani kehidupan dalam era kekinian.
Sebagaimana kita tahu dalam sejarah agung itu bagaimana sosok Dewi Kunti yang walaupun telah ditinggal mati oleh suaminya, namun ia tetap memegang prinsip keibuannya dalam mengasuh dan membesarkan kelima orang putranya (3 anak kandung yakni Yudistira, Bhima, dan Arjuna ditambah dengan 2 saudara kembar yang merupakan anak dari Dewi Madri yakni Nakula dan Sahadewa). Kasih sayang yang diberikan oleh Kunti sama rata antara yang diberikan kepada anak kandungnya sendiri maupun anak dari madunya (Dewi Madri). Begitu pula tentang kesabaran dan kesungguhan Kunti Dewi dalam merawat, menjaga dan melindungi putra-putranya. Ia penuhi hari-harinya dengan kasih sayang seorang ibu yang bahkan merelakan dirinya ikut menanggung susah dan penderitaan demi agar bisa menemani buah hatinya saat menjalani pembuangan di hutan selama 12 tahun. Pun hal indah yang telah diteladankan bagi kita semua ketika ia dibawakan menantu oleh kelima putranya, Kunti menyelesaikan permasalahan itu dengan sangat baik dan bijaksana dengan kasih sayang keibuannya.

Begitulah pesan moral yang sangat luhur yang telah diperlihatkan kepada kita semua agar bisa dijadikan suluh atau cerminan dalam berprilaku di jaman Kali. Bahkan sebagaimana kita tahu bahwa

"dalam Tradisi Veda, menyentuh kaki orang tua atau orang yang lebih tua dan disucikan ketika mereka bertemu adalah sesuatu yang lumrah untuk dilakukan".

Sehingga tidak mengherankan bahwasannya sastra menegaskan bahwa beberapa prasyarat untuk bisa mendapatkan kesucian bagi seseorang atau suatu tempat, salah satunya adalah ketika ia mendapatkan kesempatan untuk menghormati kaki orang tua, ataupun membasuh kaki brahmana (Guru) dan memercikkan bekas air basuhan kaki (wangsuh pada) orang suci itu. Tentu hal ini akan menjadi hal yang sangat baik jika kemudian dilanjutkan dengan rutinitas membaca kitab-kitab suci agama, menyanyikan kidung-kidung suci ketuhanan melalui bhajan atau kirtan, serta melakukan upacara yang sarat mantram-mantram suci..

Padasewanam kepada Guru Nabe contoh yang lebih dekat dalam pelaksanaan ritual Sungkem/Padasewanam kepada guru adalah pada saat Rsi Yadnya madwijati, saat Ritual Napak sisya oleh Guru nabe. disana sangat kental terlihat prosesi sungkem atau padasewanam-nya.

Harusnya tradisi sungkeman adalah hal biasa dilakukan, terutama ketika menjelang dan setelah selesai sembahyang, pada saat perayaan hari kelahiran (otonan/ulang tahun), pada saat upacara perkawinan, metatah (potong gigi), dan upacara lainnya. Bahkan pada saat upacara nasional memperingati Hari Ibu (22 Desember), tradisi sujud di kaki ibu (orang tua). 

Mari kita luruskan pandangan yang keliru. Terutama bagi mereka yang memandang ''aneh'' tradisi sungkeman di kalangan umat Hindu. seperti halnya yang diperintahkan dalam Rgveda:

jyotismatah patho raksa dhiya krtan(Rgveda 10.53.6)

''Semoga engkau melindungi tradisi-tradisi mulia yang didirikan (dilembagakan) oleh para leluhur''

#tubaba. jyotismatah patho raksa dhiya krtan#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar