Senin, 24 Februari 2020

APA, SIAPA DAN BAGAIMANA PENGEMPON ITU

APA, SIAPA DAN BAGAIMANA PENGEMPON ITU
Pura dibangun oleh para leluhur kita di berbagai tempat, yang tentu saja secara geografis ada dalam wilayah desa pakraman. Yang menjadi masalah adalah apakah desa pakraman harus mengayomi pura itu? Mengayomi dalam arti “berkuasa penuh” baik secara niskala (ritual) maupun secara niskala (memelihara bangunan phisik)?

Mari dirinci jenis-jenis pura menurut siapa yang dipuja dan untuk apa pura itu didirikan. 

Dalam telaah para tetua di Bali, pura itu digolongkan ke dalam empat besar. Pertama disebut Pura Kawitan, yang kedua Pura Tri Kahyangan, yang ketiga Pura Swagina dan yang keempat Pura Kahyangan Jagat.

Yang pertama, Pura Kawitan adalah pura yang dibangun untuk memuja leluhur oleh garis keturunan tertentu. Sesuai namanya, pura ini dijadikan tempat pemujaan oleh umat yang berada dalam satu garis keturunan (Pura Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Madyaning utama pura Pundukdawa).

Semakin besar garis keturunan itu dilibatkan, semakin besar fungsi pura itu dan namanya pun berubah. Dari yang paling kecil, disebut sanggah/merajan kemulan, lalu pura panti, pura dadia, pura pedharman, pura kawitan.  Sanggah atau merajan, tempat pemujaan oleh keluarga yang satu kakek-nenek. Bahkan pura jenis ini banyak lagi dipecah-pecah, tergantung kemampuan membuat  pura dan ketika keluarga itu sudah berjauhan. Orang-orang yang tak ada hubungan dengan garis kakek-nenek itu, tak akan bersembahyang ke sana. Tak mungkin ada orang lain atau tamu yang ujug-ujug minta sembahyang ke pura keluarga. Bisa disalah-pahami maksudnya.

Kemudian Pura Panti dan Pura Dadia adalah gabungan dari garis keturunan yang berbeda kakek-neneknya tetapi dalam satu klan atau soroh.  Misalnya ada Pura Dadia Pasek Gelgel, Pura Dadia Tohjiwa, Pura Dadia Kubayan, Pura Dadia Tutwan dan seterusnya. Di atas Pura Dadia kadang juga ada Pura Dadia Agung, namun tak semua soroh/klan umat Hindu di Bali memiliki Dadia Agung.

Lalu Pura Pedharman dipuja oleh satu garis kawitan. Misalnya, warga pasek memiliki Pura Pedharman di Besakih yang disebut Pura Catur Lawa Ratu Pasek. Warga lain juga memiliki Pura Pedharman di Besakih, ada 13 Pura Pedharman di komplek Pura Besakih. Orang-orang yang bukan warga bersangkutan tak bersembahyang ke pedharman yang berbeda. 

Yang kedua, Pura Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga. Sesuai namanya terdiri dari tiga pura, Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Syarat sebuah desa berstatus Desa Pakraman, salah satunya memiliki Tri Kahyangan. Ini konsep Mpu Kuturan dalam menyatukan banyak sekte di Bali untuk menyembah tiga dewa besar atau Trimurti. Dewa Brahma dipuja di Pura Desa atau Baleagung, Dewa Wisnu dipuja di Pura Puseh dan Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem. Pengemponnya otomatis warga desa adat itu saja. Orang-orang yang bukan berada atau tidak menjadi warga di desa pekraman bersangkutan, tak akan bersembahyang di pura ini. Dan  yang dipuja di sini adalah Istadewata, bukan memuja leluhur.

Yang ketiga Pura Swagina. Jika memakai bahasa sekarang, pura ini dipuja oleh para professional dan yang dipuja adalah Istadewata sebagai Dewa Penuntun. Jadi sangat khusus. Kelompok pemujanya dan sekaligus pengemponnya adalah mereka yang memiliki profesi sejenis. Pura Subak (disebut juga Bedugul) dipuja oleh mereka yang profesinya petani, Pura Melanting oleh para pedagang, demikian seterusnya. Kalau bukan pedagang, mungkin tak perlu bersembahyang di Pura Melanting. Jelas yang dipuja adalah Tuhan sebagai Dewa Penuntun sesuai bidang pekerjaan, dan bukan tempat memuja leluhur. Pura ini bisa saja ada di wilayah desa pakraman, tetapi tidak diempon oleh desa pakraman itu sendiri, karena pengemponnya bisa lintas desa.

Yang keempat Kahyangan Jagat. Ini adalah pura yang dipuja oleh seluruh umat. Jenis pura ini masih bisa dibagi berdasarkan kelompok lebih kecil. Misalnya kelompok Pura Panataran Agung Catur Parhyangan di Utamaning Utama pura Pundukdawa. Keberadaan pura ini
srbagai pemujaan Ida Bhatara Sang Hyang Padupati, Agni Jaya, Putra Jaya dan Dewi Danuh, yang membangun kembali Nusa Bali.

Pura Kahyangan  Dharma Smrti adalah tempat mengenang Ida Bhatara Hyang Sinuhun yang berjasa mempersatukan pasemetonan dan melahirkan sulinggih sampai ke Jepang. 

Pura Kahyangan Dharma Smerti setingkat dengan Pura itu misalnya Silayukti,  Sakenan, Airjeruk, Tanah Lot, Rambut Siwi dan banyak lagi.

Pura Panataran Agung Catur Parhyangan dan Pura Kahyangan Dharma Smrti termasuk Kahyangan Jagat karena siapa pun boleh melakukan pemujaan di sini, jadi Pura Panataran Agung Catur Parhyangan dan Pura Kahyangan Dharma Smerti ini merupakan pura bersifat umum, tanpa memandang dari desa mana, soroh/klan, bahkan suku bangsa, asalkan beragama Hindu.  Uniknya lagi, sifat umum itu juga termasuk siapa yang dipuja. 
Siapakah pengempon masing-masing kelompok pura itu? 
Pura Kawitan jelas pengemponnya adalah keturunan kawitan bersangkutan. 

Tri Kahyangan pengemponnya warga desa pakraman. 

Pura Swagina pengemponnya kelompok yang profesinya sama. 

Kahyangan Jagat, ini yang masih rancu. Seharusnya ada badan pengelola tersendiri untuk pengempon Kahyangan Jagat, bukan desa pakraman di mana pura itu berada. Karena Kahyangan Jagat tidak bisa diikat oleh awig-awig desa pakraman. Misalnya, kalau ada warga desa cuntaka, piodalan di Trikahyangan bisa saja batal, tetapi kelompok pura lain tak ikut kecuntakaan. Dresta setempat tak berlaku untuk Kahyangan Jagat.

Pura Kahyangan Dharma Smerti sudah dikelola badan pengelola yang ditunjuk Yayasan Widya Daksha Dharma. Pura besar seperti Besakih juga sudah terbentuk badan pengelolanya. Semua Kahyangan Jagat harus dibentuk badan pengelola dari berbagai daerah dan lapisan masyarakat. Namun peran desa pakraman di mana pura itu berada jangan dipinggirkan, Cuma urusannya di bidang sosial ekonomi, bukan menentukan siapa sulinggih yang muput dan jenis-jenis ritual. Sosial ekonomi yang diurus desa pakraman misalnya, retribusi parkir, izin pedagang yang disertai tanggung-jawab kebersihan. Ke depan kalau masalah ini tidak jelas bisa menimbulkan ketegangan. Tentu tak enak kita ribut-tibut urusan pura hanya masalah pengempon yang rancu.

Foto ilustrasi awal penentuan dan  membangun Pura Panataran Agung Catur Parhyangan, Pura Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana ring Pundukdawa Pelopor Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa, Jl. Tangsub no 4, banjar Pengembungan, desa Bongkasa, Abiansemal, Badung, Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar