Selasa, 18 Februari 2020

MENYIKAPI TRADISI TURUN TEMURUN DALAM DUNIA MODERENISASI

MENYIKAPI TRADISI TURUN TEMURUN DALAM DUNIA MODERENISASI
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd

Sebagai generasi yang hidup dalam alam modern, mungkinkah kita sanggup merawatnya?

Mengingat akhir akhir ini ada begitu banyak gempuran label syirik, kafir bagi pelaku aktifitas yang berhubungan dengan tradisi. Jadi saya melihat ada dua tantangan yang harus di sikapi, pertama soal modernitas (alam pikir modern) dan tradisi yang dianggap menyimpang dari ajaran ajaran kaum puritan.

Tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut oleh umat Hindu di Indonesia. Kita akan mudah menyaksikan, melihat, mengamati, mendengar, merasakan bahkan turut terlibat dalam ritual tradisi yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga di zaman digital hari ini.

Lalu jika demikian, apa yang harus kita lakukan sebagai Hindu Bali pada khususnya dan Indonesia yang terkenal akan kekokohan tradisi leluhur, dan bagaimanakah seharusnya sikap kita?

Berbicara tentang adat-istiadat (tradisi) bukan lagi sesuatu yang langka bagi masyarakat Indonesia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa istilah adat istiadat mengacu pada tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat (Kamus besar bahasa Indonesia,1988:5,6). 

Adapun makna lainnya adat-istiadat disebut sebagai suatu hal yang dilakukan berulang-ulang secara terus menerus hingga akhirnya melekat, dipikirkan dan dipahami oleh setiap orang tanpa perlu penjabaran. 

Di dalam adat-istiadat itulah kita akan menemukan tiga wujud kebudayaan sebagaimana dijelaskan oleh pakar kebudayaan Koentjaraningrat dalam bukunya; 
#Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, 
  gagasan, nilai atau norma. 
#Kedua, wujud kebudayaan sebagai 
  aktivitas atau pola tindakan manusia 
  dalam masyarakat. 
#Ketiga, wujud kebudayaan sebagai  
  benda-benda hasil karya manusia.

Sebagaimana definisi tersebut maka tradisi (adat-istiadat) merupakan suatu kesatuan yang terpolakan, tersistem dan terwariskan turun temurun. 

Nilai-nilai yang dianut dalam sebuah tradisi pada masyarakat tertentu misalnya nilai "sirri na pacce" (harga diri dan rasa malu). Masih begitu banyak tradisi yang diagungkan oleh setiap suku di Indonesia dan menjadi sebuah kebanggaan dan pemersatu antar suku bangsa.

Tradisi dalam kacamata Aliansi Cucun Liak Bali

Jika ditinjau dari sudut pandang ACLB,  dalam lontar Sukating Kahuripan menyatakan bahwa tradisi itu sebagai pedoman hidup dan menjelaskan bagaimana kedudukan tradisi (adat-istiadat) dalam agama itu sendiri. Karena nilai-nilai yang termaktub dalam sebuah tradisi dipercaya dapat mengantarkan keberuntungan, kesuksesan, kelimpahan, keberhasilan bagi masyarakat tersebut. 
Namun belakangan ini eksistensi adat-istiadat tersebut juga tidak sedikit menimbulkan polemik.

Lalu bagaimana sikap kita?

Adanya peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat, tidak berupaya menghapuskan tradisi/adat –istiadat. 
Kita harus mampu memilih dan memilah, seperti 'nuduk buah gatepe, ane misi duduk, ane borok entungan. Jadikan konsep Tri Hita Karana sebagai filterisasi tradisi tersebut agar setiap nilai-nilai yang dianut dan diaktualisasikan oleh masyarakat setempat tidak bertolakbelakang dengan konsep Bali Sutrepti. Sebab tradisi yang dilakukan oleh setiap masyarakat yang nota bene beragama Hindu tidak boleh menyelisihi konsep Nangun Bali Sutrepti. Karena kedudukan akal tidak akan pernah lebih utama dibandingkan wahyu Tuhan. Inilah pemahaman yang esensi lagi krusial yang harus dimiliki oleh setiap masyarakat Hindu di Bali. Keyakinan umat Hindu Bali sebagai agama universal dan mengatur segala sendi-sendi kehidupan bukan hanya pada hubungan transendental antara hamba dan Pencipta tetapi juga aspek hidup lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya. Kadangkala pemahaman parsial inilah yang masih diyakini oleh masyarakat awam. Oleh karena itu, sikap Hindu terhadap adat-istiadat senantiasa mendahulukan ajaran dalam Veda dan Tattwa-Acara-Susila dibanding adat atau tradisi.

Tradisi pada prinsipnya harus dirawat, dijaga, bahkan dikembangkan seiiring dengan perubahan zaman. Secara tampilan tradisi bisa berubah, mungkin maknanya sedikit bergeser sesuai konteks zaman.

Karena tetap saja, tradisi yang diwariskan secara turun temurun tidak akan hilang maknanya, karena berkembangnya alam berpikir baru atau yang sering disebut dengan alam pikir modern. 

Menjadi menarik justru di zaman modern ini, tradisi seperti ini berkembang karena komunikasi dan informasi yang akhirnya membuat masyarakat luas menjadi tahu.

Selebihnya justru menarik wisatawan untuk mengenal lebih jauh tradisi kenduren. Ini artinya modernitas tidak mengubur tradisi, justru unsur modernitas menjadi sarana mengenalkan kepada public sebuah tradisi. Akhirnya saat ini alam pikir manusia modern pun mampu menyelami tradisi sebagai bagian dari identitas bangsa. Itulah mengapa warisan tradisi  tidak boleh punah. 

#tubaba@wiweka//adat atau tradisi#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar