Rabu, 19 Februari 2020

KEUTAMANING AKSARA BALI DALAM UPACARA SEDARAGA DIKSA DWIJATI MENJADI SULINGGIH

KEUTAMANING AKSARA BALI DALAM UPACARA SEDARAGA DIKSA DWIJATI MENJADI SULINGGIH
Oleh : I Gede Sugata YM, S.S, M.Pd
Sulinggih adalah orang yang telah mendapatkan penyucian melalui upacara madiksa melalui proses sedaraga dengan aksara Bali. Seorang walaka yang telah didiksa mendapatkan kedudukan sebagai sulinggih atau sadhaka. Sulinggih berasal dari kata Su artinya utama/mulia, linggih berarti kedudukan. Sulinggih artinya mendapat kedudukan yang utama/mulia di masyarakat. Mendapatkan kedudukan tinggi karena beliau telah mencapai kesucian lahir batin dalam tingkatan dwijati. Dwijati artinya lahir dua kali. Lahir pertama adalah dari rahim ibu. Lahir kedua adalah lahir dari weda (lahir dari Aksara Bali). Lahir kedua (yang telah dimurnikan dengan aksara Bali), sebagai manusia suci tanpa cacat/cela.

Sebagai seorang dwijati, maka wujud, status, sesana yang lalu (walaka), karma wasana walakanya dianggap tidak ada atau sudah mati (melalui upacara sedaraga/anyekung sarira dengan rurub bertuliskan rerajahan Aksara Bali). Beliau lahir kembali dalam lembaran hidup baru. Sehingga wujud (penampilan), nama, status, sesana, dan karma wasana yang baru. Sehingga untuk itu dalam diksa pariksa (pemeriksaan calon sulinggih/diksawan) terlebih dahulu dinyatakan tidak cedaangga (tidak cacat), bebas masalah hukum pidana maupun perdata.
Upacara dwijati atau diksa melalui upacara sedaraga dengan aksara Bali adalah puncak pendakian spiritual seorang walaka (manusia biasa). Seseorang yang telah didiksa atau dwijati disebut Pandita atau Brahmana, Sulinggih, tanpa membedakan keturunan. Pada tingkat ini seorang sulinggih dapat melakukan ngolakapalasraya. Diikat oleh brata pokok yang disebut catur bandana brata (sasana kawikon) yakni ;
1. Amari Aran yakni berganti nama (diberi 
    nama abhiseka). 
2. Amari Wesa berganti tingkah laku, 
    penampilan dan atribut. 
3. Amari busana berganti tata busana, dan 
4. Amari Wisaya yakni mengubah tingkah 
    kehidupan dan kesenangan.

Proses amari aran maka sulinggih yang suci tan cedaangga, tan keneng ujar ala, tan wenang adol-atuku, tan keneng pattita. Tan cedaangga artinya tanpa cacat, cela fisik dan mental. Bebas dari masalah hukum. Sulinggih tidak boleh lagi mengendarai sepeda motor. Hal ini untuk mengindari terhjadinya permasalahan hukum ketika terjadi permasalahan. 

Tan Wenang adol-atuku, bahwa sang sulinggih tidak lagi terikat dengan urusan pamrih material seperti jual-beli. 

Atas dasar tersebut sulinggih bebas dari tugas sosial seperti ayahan banjar, ayahan desa, dan pekerjaan yang sifatnya fisik. 

Sulinggih tidak terkena cuntaka, kecuali sulinggih wanita pada saat haid. Beliau juga tidak nyuntakain (tidak menyebabkan cuntaka) karena beliau telah suci. Sehingga sulinggih ketika lebar (meninggal) boleh diupacarai jenasahnya tidak dikuburan.

Berdasarkan uger-uger kawikon, maka seorang sulinggih harus selalu dinyatakan jujur oleh seorang walaka. Harus dinyatakan benar oleh seorang walaka. 

Tidak boleh seorang walaka menyatakan seorang sulinggih salah, tidak baik, atau berbohong. 

Hanya sang nabe sajalah yang berhak menilai. Atau kalau sang nabe lepas tangan, maka paruman sulinggih yang berhak mempattita seorang sulinggih.

Umat wajib menjaga kesucian Sulinggih agar tidak leteh (kotor), ujar ala (disalahkan, dicaci maki, diumpat, dituduh). 

Sulinggih tidak boleh didebat oleh walaka. Umat hanya boleh mendengar, bertanya dan mohon petunjuk sulinggih. 

Hidangan makanan hendaknya sukla (bersih secara sekala/niskala). 

Sulinggih dituntut keteguhan menjalankan dharmaning kawikon dan sasana kawikon, serta menerapkan dasadharma kapanditaan. 
Sulinggih yang melanggar sesananya, akan berakibat fatal (asing angelung sasana angewetaken sanghara bhumi). 

Dalam Tutur Kasuksman, sulinggih adalah paragan (perwujudan) Sang Hyang Dharma. Beliau lambang kebenaran dan beliaulah penegak dharma di dunia. Beliau membawa tongkat (teteken) sebagai lambang dhandastra (senjata dewa Brahma). Juga sebagai simbol ketuaan dalam arti telah meninggalkan kehidupan grhasta yang penuh dengan dinamika duniawi.

Fungsi seorang sulinggih yang diketahui secara umum adalah muput karya. Masih ada fungsi lainnya yakni Ngelokapalasraya, membimbing umat mencapai kebahagiaan rohani (sebagai guru loka). Sulinggih menjadikan diri beliau sebagai sandaran umat untuk bertanya tentang kerohanian, tuntunan rohani, petunjuk, dan muput karya yadnya atas permintaan masyarakat (menurut sesana kawikon, wiku tidak boleh meminta untuk muput karya, kalau tidak diminta). Sesuai fungsi tersebut, sulinggih (wiku) dituntut sebagai wiku pradnyan. Paham tentang weda, puja, japa, mantra, stuti dan stawa, tutur, indik, wariga, sastrawan dan mungkin mistis. Memahami weda sruti, smerti, upanisad, dharmasastra, itihasa, purana, darsana, dll. Ada tiga macam sulinggih di masyarakat:

1. Sulinggih Acarya yakni sulinggih yang benar-benar melaksanakan semua fungsi di atas. Beliau seorang sulinggih pradnyan atau disebut wiku wibhuh yakni wiku utama di masyarakat. Selain ngelokaplasraya, juga membimbing umat ke arah kemuliaan.

2. Sulinggih Lokapalasraya saja yakni sulinggih yang mempunyai kemampuan muput karya saja, tidak menjalankan fungsi lainnya.

3. Sulinggih ngeraga yakni sulinggih yang hanya menyucikan diri. Jadi sifatnya individual. Tida ngelokapalasraya dan kurang menjalankan fungsi yang lainya. Beliau hanya berorientasi ngetut yasa.

Tugas dari seorang sulinggih adalah melaksanakan dharma agama dan dharma negara. Sulinggih senantiasa ngerastityang jagat, sehingga tercipta kehidupan jagadhita. Dalam ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma II dikatakan bahwa yang disebut sulinggih/wiku/pandita adalah Pedanda, bhujangga, Resi, Bagawan, Empu, Dukuh.

#tubaba@bahan tesis s2//dikutip//dari berbagai sumber#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar