LONTAR PEDOMAN RITUAL DI BALI
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Lontar di Bali yang dipergunakan
sebagai salah satu sumber ajaran agama Hindu dengan tetap mengacu pada sumber aslinya yaitu Weda. Lontar-lontar ini dipergunakan sebagai petunjuk dan penuntun oleh masyarakat Hindu di
Bali, jenis-jenis lontar dapat dikelompokkan sesuai isinya, misalnya : ada lontar yang isinya tentang tutur, ada lontar yang isinya tentang kepahlawanan, ada lontar yang isinya tentang pengobatan, ada lontar yang isinya tentang babad, ada lontar yang isinya tentang wariga, ada lontar yang isinya tentang upacara, ada lontar yang isinya tentang filsafat (tattwa) dan banyak
lagi lontar-lontar yang lainnya. Kesemua ajaran-ajaran tersebut ditulis dalam daun lontar karena pada masa terdahulu di Nusantara (Indonesia) belum mengenal adanya kertas maka dipakailah
daun lontar untuk tempat menulis ajaran-ajaran yang memuat berbagai aturan keagamaan, disamping terdapat aturan-aturan yang lain. Di zaman modern sekarang ini lontar tetap dijadikan
pedoman bagi umat Hindu di Bali, ini berarti ajaran-ajaran yang terkandung dalam lontar tetap dianggap eksis serta fleksibel meski berada pada zaman globalisasi.
Lontar merupakan karya sastra klasik yang mengandung aspek-aspek etis, estetis dan religius. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam lontar-lontar ini dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan kehidupan serta bagaimana menata tatanan sosial keagamaan di Bali. Lontar juga digunakan sebagai acuan dalam membina masyarakat agama khususnya agama Hindu baik yang berhubungan dengan pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan non formal dalam hal ini megacu pada aspek-aspek pendidikan dalam lontar sebagai pedoman dalam masyarakat dan keluarga dalam membina masyarakat diluar sekolah, sedangkan lontar dalam pendidikan formal digunakan sebagai acuan dalam membina keterampilan anak-anak didik di sekolah tentang sarana upakara agar anak didik senantiasa mampu memahami ajaran agama-nya dengan baik.
Sekarang banyak orang Bali berpikir dan menebak-nebak bahwa banten-banten bisa dibuat besar atau jadi sederhana. Seolah-olah bisa sembarang dipreteli. Kekaburan pemahaman tentang pedoman pembuatan banten di Bali sangat senggang menganga. Perdebatan pun akhirnya debat kusir tanpa referensi dan main tebak-tebakan.
Satu sebabnya:
Orang Bali mulai buta aksara yang dipakai dalam lontar. Bisa dibayangkan jika orang Jepang dan China lupa atau buta penulisan Kanji. Mereka akan jadi masyarakat yang bingung dan linglung.
Lontar tentang banten atau upakara di Bali sangat banyak tersedia dan beragam penyajiannya. Ibarat banten adalah sebuan "product" maka lontar-lontar adalah "manual book" yang memberikan petunjuk bagaimana secara standar melaksanakan sebuah upakara. Buku aksara latin saja orang Bali ogah membacanya, bagaimana tahan membaca manual book semua upakara? Semua upakara ada manual booknya.
Berikut adalah ringkasan super ringkas lontar-lontar yang menjadi manual book upakara di Bali :
#1. Lontar Sundarigama tentang tata cara perayaan hari-hari raya suci Hindu Bali berdasar pedoman wariga atau perayaan dengan pola 30 wuku.
#2. Lontar jenis Dewa Tatwa berisi beberapa hal menyangkut pendirian bangunan suci, arca, dan juga bermacam pedagingan bangunan suci dll dengan segala upakaranya.
#3. Lontar Yama Tatwa dan Yama Purana Tatwa, pedoman upakara dan jenis petulangan dalam upacara ngaben. Lontar ini menyebutkan petulangan berbentuk: naga, lembu, singa, macan dan tabla yang disesuaikan dengan catur warna dalam golongan masyarakat.
#4. Lontar kompilasi ajaran "Parindikan Yadnya" berisi pedoman yadnya di Bali yang terdiri dari 16 bagian: Mpu Lutuk Ngaben, Kramaning mediksa, Yajna samskara, Kramaning atiwa-tiwa, Indik maligia, Putru saji, Dharma Kahuripan, Eka Ratama, Janmaprawerti, Puja Kalapati, Puja Kalih, Eka Dasa Rudra, Panca Wali Krama, indik caru, puja pali-pali, Siwa Tattwa Purana .
#5. Lontar Dharma Kauripan dan Janma Prawerti, tentang upacara yadnya untuk mebayuh otonan.
#6. Lontar Aji Janantaka dan Kunti Sraya berisi ajaran tentang beberapa tanaman yang dapat dan tidak dapat dipakai sebagai kelengkapan upakara.
#7. Lontar Dewa Tattwa dan Lontar Eka Pratamabahwa tentang Tawur Kesanga dilaksanakan di Catus Pata.
#8. Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa tentang menstanakan Dewa Pitara di Kamulan.
#9. Lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama, dan lontar Puja Kalapati, secara garis besar menjelaskan tata cara pelaksanaan upacara matatah.
#10. Lontar Dharma Pamaculan berisikan tetandingan banten, mantra dan cara dalam bercocok tanam.
#11. Lontar jenis Sang Kulputih berisi perihal dudonan upakara di Pura dan segala hal terkait bebantenan karya atau odalan. Berisi mantra dan sesontengan pedoman pemangku.
#12. Lontar Swamandala berisi perihal pemujaan Bhatari Durga di Besakih, banten dan penentuan hari berdasar penanggal-pengelong.
#13. Lontar Raja Purana Besakih tentang sejarah Besakih semua upakara serta pelaba-pelaba pura penunjang semua ritual.
#14. Lontar jenis Widhi tatwa, tentang filsafat atau tatwa (ajaran) ketuhanan dan perihal Widhi. Lontar ini merupakan lontar yang menjadi peneguhan keyakinan secara teologis dan filosofis pemeluk Agama Hindu Tantra di Bali.
Semua lontar tersebut umum diketahui oleh sulinggih dan para cendikiawan di masa kerajaan Bali. Kini disayangkan gap pemahaman terhadap pedoman di atas sangat merisaukan. Masyarakat umum, bahkan ada pemangku serta sulinggih, kurang perhatian dan tidak membaca lontar-lontar tersebut. Padahal lontar-lontar tersebut menjadi pedoman ritual-ritual, odalan, mlaspas, dstnya.
Melengkapi lontar-lontar di atas di Bali ada ratusan lontar-lontar mantra dan puja ditulis dan dikompilasi secara terpisah sebagai bagian dari banten dan upakara yang dibuat namun mantra atau sesontengan (saa) menjadi pengantar semua ritual-ritual yang disebutkan dalam lontar tersebut.
Belakangan, mungkin relatif baru lontar ini, ada muncul Lontar Tegesing Sarwa Banten tentang arti dan simbol sarana tetandingan banten. Lontar ini adalah sebuah usaha untuk membahas banten dari perspektif simbolisme. Secara pribadi saya tertarik dengan cara penjelasannya, namun demikian banten tetap bukan simbol semata sekalipun menarik dibahas dari perspektif Semiotik, Semiologi, dan kajian tanda.
Masyarakat Bali menganut paham Agama Tantra yang memakai Banten dan Mantra sebagai sarana mentransformasi diri dan masyarakat dengan kekuatan gaib. Banten tetap banten. Banten bukan dalil filsafat atau simbolik semata. Dalam praktek Tantra fungsi Banten dan Mantra adalah kelengkapan upacara untuk mengundang kegaiban dan kekuatan yang melampaui akal pikir kita. Tantra adalah teknologi rohani. Lewat sarana itu penganut Tantra "mempekerjakan" kekuatan laten alam semesta untuk menjaga dan mentransformasikan kehidupan manusia ke arah yang lebih mulia.
#tubaba@griyangbang#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar