Rabu, 12 Februari 2020

UPACARA NGABEN NIS PRATEKA NIR PRABAWA SEBUAH KONSEP PITRA YADNYA JAMAN NOW

UPACARA NGABEN NIS PRATEKA NIR PRABAWA SEBUAH KONSEP PITRA YADNYA JAMAN NOW
Olih: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S, M.Pd
Kematian adalah sebuah misteri, kita tidak tahu kapan datangnya. Tuhan punya skenario sendiri yang tidak bisa kita baca bagaimana drama kehidupan itu dipentaskan. Orang lahir membawa karmanya sendiri, sebuah perjalanan dari karma hidupnya di masa lalu yang harus dia pertanggungjawabkan kembali. Kelahiran adalah kesempatan untuk menebus karma-karma masa lalu, sehingga manusia terbebas dari keterikatan dan kelahiran berulang-ulang.

Kematian seharusnya bukan sesuatu yang menakutkan, karena ia akan datang, tak seorang pun sanggup mencegahnya. Tetua kita mengajarkan empat kenikmatan dalam hidup ini: suka, duka, lara, pati. Bersenang-senang, tertimpa kesedihan, menderita penyakit, menghadapi kematian. Kenikmatan itu harus kita terima. Lalu tugas kita adalah selalu siap menunggu dan menghadapi kematian.

Maka dari itu ngiring laksanayang upacara pitra yadnya dengan konsep Nis Prateka Nir Prabawa dengan pandangan K3S2 (Kemampua, Kemauan, Keikhlasan, Sikon dan Sastra Agama Hindu) 

Pitra Yadnya terdiri dari empat tahapan upacara, yaitu:

1. Ngaben: melepaskan ikatan roh pada tubuh manusia (panca mahabhuta),yang terpenting dalam upacara ngaben ini adalah Kajang sebagai unsur utamanya. 

2. Nyekah/ Ngroras: melepaskan ikatan roh pada pengaruh panca indria (panca tanmatra), yang terpenting dalam proses ini adalah sekahnya. 

3. Mepaingkup/Panilapatian/Upacara Siwa Yadnya: menstanakan roh di sanggah pamerajan, yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan lingga dan rantasan.

4. Meajar-ajar: ‘nangkilang’ roh ke pura-pura tertentu, yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan dan rantasan.

Upacara ngaben Nisprateka Nirprabhawa, merupakan upacara pengabenan paling sederhana namun memiliki nilai yang utama. 

Jenis upacara Pitra Yadnya Nisprateka Nirprabawa ini dengan prosesi membakar layon dengan ‘cita-agni’, yakni api yang dimohonkan oleh Sulinggih kepada Bhatara Brahma.

Prakteknya, sebuah korek api yang dimantrai dahulu oleh Sulinggih, kemudian digunakan untuk menyalakan api/ kompor mayat.

Upacara ini diawali dengan memandikan jenazah yang dipimpin seorang pinandita ataupun pandita Hindu diikuti seluruh anggota keluarga orang yang meninggal. Lantunan gamelan khas Bali mengiringi prosesi mekingsan ini.

Setelah melakukan prosesi Nusang/dimandikan dan dirias, jenazah dibungkus dengan kain kafan dan tikar. Usai dibungkus, anggota keluarga meletakkan sejumlah kwangen dengan uang bolong di atas jenazah sebagai simbol bekal roh di alam yang baru dengan memanjatkan pitra puja bukan dengan nyulubin sang pejah (yang dianggap sebuah bentuk nyumbah). 

Usai dimasukkan ke dalam peti mati, jenazah diletakan di bale kematian guna dihaturkan banten punjungan sahasidan dan menggunakan kajang, menggunakan kekitir ulantaga, serta menggunakan tirta pengentas.

Setelah dilakukan upacara penghormatan terakhir dan pemamitan, jenazah warga yang meninggal pun diarak warga untuk dibawa ke setra atau kuburan desa. Peti jenazah kemudian digotong keliling kuburan sebanyak tiga kali sebelum mulai dibakar. 

Setelah didoakan pinandita Hindu dan diupacarai dengan sesajen sederhana (Bantennya sederhana: pejati, nasi angkeb, bubuh pitara, dius kamaligi, segehan manca warna), setelah itu jenazah pun dibakar. 

Usai dibakar, abu dan tulang jenasah warga yang meninggal selanjutnya akan diupacarai dengan upakara pangrekan, untuk selanjutnya dilarung ke laut/sungai. 

Berbarengan dengan prosesi ngayut atau sepulang dari nganyut, di rumah warga yang meninggal dilakukan upacara mecaru, mabeakala, maprayascita, maka keluarga tidak kena cuntaka/ sebel.

Jadi kelak bila sudah ada kesempatan baru dibuatkan upacara atma wedana dan upacara Panilapatian. 

Upacara Panilepatian adalah proses penyatuan sang pejah bersama sang catur dasa pitara (empat belas leluhur yang telah meninggal duluan, menjadi tunggal dengan Siwa/Tuhan.

Pada upacara Nisprateka Nirprabhawa ini, umat Hindu percaya roh belum menyatu/manunggal dengan Siwa/Tuhan, baru sebatas pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta pada tempatnya.

# BANTEN NGABEN
Bubuh pirata:
Aepan ngaben: pengambean tanpa soroan, pejati cenik, tumpeng 2, pejerimpenan, daksina, tebasan atma rauh, tebasan pebersihan, saji, japit, nasi kastori, darpanan, nasi angkeb

# TETANDINGAN AEPAN NGABEN:
Pengambean tanpa soroan, pejati cenik, tumpeng 2, pejerimpenan: besogan (cakang daksina cenik), tumpeng, raka, kc saur di kojong umah, sampyan naga sari.

Daksina, tebasan atma rauh: tamas, ceper misi nasi bungan tunjung n uyah lengis mewadah takir, raka, kc kojong umah, 2 tulung sangkur isi nasi, peras tulung, payasan, 1 kuangen, sampyan tebasan 

Tebasan pebersihan: tamas, raka, ceper n nasin sodan agung tusuk dengan semat isi bunga jepun n takir isi telor goreng, 2 tulung sangkur isi nasi, peras tulung, kojong umah isi kacang saur, kuangen, payasan, sampyan tebasan, teterag  

Saji: tamas, raka (biu n begina taruh diatas), jaja cacalan, bungkusan don jagung, lampad, nasin peras putih kuning

Lampad: 7 celemik berisi ....,
japit: tamas, 2 raka, 2 selanggi isi nasi putih kuning, kacang saur di kojong umah, peras tulung, payasan. 

Nasi kastori: kelatkat, koran, aled besar, 8 ceper isi tumpeng .... helm sesuai warna tumpeng, 2 raka, 2 kc saur di kj umah peras tulung, payasan,   ..... aled sedang, 4 ceper isi jaja cacalan, tumpeng, raka biunya meiis, kc saur di kojong, plaus, helm.

Darpanan: tamas, 2 raka, 1 ceper isi don ....... nasi pulung kuning, 1 ceper isi don ....  ... nasi pulung putih, kc saur di kj umah, peras tulung, payasan, 2 sampyan lasang,

Nasi angkeb: tamas, nasi di kantong plastik n kojong kecil n jarum n kuangen, raka, 5 don tabya dijahit diatasnya 1 nasin sodan, takir kacang saur.
# AEDAN NGABEN NISPRATEKA NIRPRABHAWA

Ngastawa adalah melakukan stuti dan sthawa kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam aspek-aspek tertentu datam konteks upacara ngaben.

Ngaskara adalah melakukan penyucian roh orang yang di abenkan untuk bisa menjadi pitara. Sebelum askara dilakukan, rohnya disebut petara atau atma preta, karena masih kotor (bhuta cuil).

Narpana | memberi pabuktian atau bekal di alam baka berupa hidangan, pakaian dan lain-lain.

Mratina | melebur yaitu memisahkan purusa dan pradana / prakerti orang yang diabenkan itu untuk dikembalikan ke sumbernya masing-masing. 
Purusa dikembalikan ke Mahapurusa, dan 
Prakerti dikembalikan ke pancamahabhuta-agung. 
Atau dengan lain perkataan, bahwa mralina berarti ngalepas sang atma.

Mapegat. Upacara ini mengandung makna menghilangkan makna atau kekotoran pada sang atma supaya tidak lagi dilekati kekotoran. Di dalam mapegat ini, dilakukan pula paperasan yang bermakna menghubungkan sang atma dengan sentananya atau keturunannya.

Melaspas patulangan. Ini bermakna membersihkan atau nyapsap pekerjaan tukang - wadah dan tukang - patulangan.

Melebu atau makutang. ini bermakna membuang kekotoran yang melekati sang atma termasuk pula sthula sarira atau jasad manusia. Jasad manusia yang berasal dan unsur - unsur Panca Maha Bhuta dikembalikan ke asalnya yaitu Panca maha bhuta agung yaitu alam bumi ini yang disebut bhur - loka.

Jenazah diputar 3 kati ke kiri pada waktu berangkat dan rumah, pada persimpangan jalan dan setelah sampa di setera. Perputaran arah ke kiri adalah simbolisasi perjalanan turun. Kalau perputaran ke kanan adalah simbolik perjalanan naik. Itulah sebabnya ada dua arah perputaran dalam suatu upacara agama yaitu 
pradhaksina, perputaran ke kanan dan 
prasawya, perputaran ke kiri.

Meletakkan dipatulangan. ini bermakna bahwa sang atma akan berjalan menghadap Hyang Widhi, karena bentuk-bentuk patulangan itu mempunyai simbolik.

Membakar jenazah atau pangawak - sawa. ini mengandung arti simbolik, bahwa manusia diciptakan okh Dewa Brahma dan setelah mati kembali lagi kepada Dewa Brahma atau menuju Brahma – loka.

Ngareka. ini mengandung makna mewujudkan kembali orang yang diabenkan itu dalam wujud yang lebih halus.

Sekah - Tunggal | pangawak atau perwujudan sarira orang yang diabenkan itu dalam wujud yang lebih halus. (Apabila sekah - tungggal itu berisi abu tulang sang mati, disebut sekah asti).

Ngiring. ini adalah suatu simbolisasi melepas sang atma menuju alam baka bhuwah loka ( nyalanang sang atma).

Nganyut. Ini bermakna menghanyutkan pangawak atau tawulan, sehingga menjadi lenyap. Selain itu upacara ini juga mengandung arti simbolik, bahwa sang atma berjalan menuju Wisnu - loka.

Makelemiji. Jni bermakna nyapsap atau membersihkan sebel keluarganya dan membersihkan rumahnya dan sesebelan.

Pamuput karya. Ini bermakna menghaturkan rasa terima kasih serta mempermaklumkan upacara ngaben telah selesai dilakukan.

Ngarorasin. ini mengandung makna bahwa batas waktu sasebelan atau cuntaka perumahan telah selesai.

Demikian beberapa hal yang biasanya digunakan dalam upacara pengabenan yang juga sebagai tambahan, penggunaan kajang disebutkan disesuaikan dengan jenis dan ketentuan surat kajang dari masing - masing kawitan.

Ngelinggihang 
Pejati, pengambean, tebasan sidapurna, tebasan merta uttama, tumpeng 3, tumeng 2, tumpeng 1, tumpeng 1, 
Banten bubuh : tamas, raka, peras tulung payasan, ceper misi bubuh, pere padma.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoresi bersama jika ada makna yang kurang tepat. Suksma…

#tubaba.griya agung bangkasa#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar