KASTA SEBUAH MODAL SOSIAL YANG MEMBANGGAKAN DAN MENGHANCURKAN
Kasta/terehan warih atau klasifikasi masyarakat berdasarkan garis keturunan berjenjang pada masyarakat Hindu Bali. Pergulatan sosial-religius yang terjadi pada masyarakat Hindu Bali yang berlatar belakang kasta.
Pola atau model pemberdayaan kasta (nilai atau budaya lokal masyarakat setempat), yang selama ini sering menjadi trigger terjadinya konflik horizontal dikalangan masyarakat.
Secara philosofis, kasta bagi masyarakat Hindu Bali merupakan penggolongan manusia berdasarkan jenis pekerjaannya.
Hal ini secara empiris telah tersusar dalam kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya, dan lontar shamodhaya
purana. Saat ini, ada beberapa kelompok
masyarakat, khususnya dari kalangan kasta
tinggi (tri wangsa) ingin merevitalisasi kasta menjadi garis keturunan atau trah yang akan diwariskan kepada anak dan cucunya, walaupun profesinya tidak lagi sesuai dengan penggolongan menurut ajaran Hindu, yaitu keahlian yang dilakoni. Fakta
inilah yang memicu timbulnya konflik
horizontal dan vertikal dikalangan
masyarakat Hindu Bali dewasa ini.
Kasta dalam konstalasi pergaulan masyarakat Hindu saat ini lebih dimaknai sebagai sebuah penggolangan manusia berdasarkan garis keturunan, sehingga sering rancu pengertiannya dengan catur wangsa. Bagi masyarakat Hindu Bali, kasta atau warna yang dimiliki oleh seseorang dengan sebutan catur wangsanya tidak lagi memiliki
signifikansi yang relevan dengan profesi
yang dijalaninya. Banyak kalangan kasta
rendah (sudra) yang saat ini memiliki
jabatan atau profesi yang jauh lebih tinggi dan terhormat dari kasta tinggi (tri wangsa). Namun pada konteks sosial, sistim kasta ini masih menjadi warna dalam tata krama pergaulan di kalangan masyarakat tertentu, khususnya di Kabupaten yang berada di Bali timur dan selatan.
Bentuk dan dinamika konflik yang terjadi sebagai dampak dari adanya upaya merevitalisasi kasta oleh sekelompok orang lebih banyak pada konflik terbuka dan fisik, yang disertai dengan perusakan rimah tempat tinggal, pengusiran sekelompok masyarakat keluar desa adat, pembentukan desa adat baru, dan sanksi
material. Intensitas konflik pada desa-desa adat di bali relatif tinggi, khususnya di Kabupaten Gianyar dan Bangli. Hal ini
disebabkan karena, di kedua kabupaten ini sistim kasta masih sangat dominan dan
kental dalam tata pergaulan sehari-hari, dan adanya kelompok masyarakat yang
berusaha menggeser sistim kasta ini
menjadi sistim atau model catur wangsa
(garis keturunan), padahal kasta yang
sebenarnya adalah pembagian manusia
berdasarkan profesi yang dilakoninya.
Perbandingan atau komparasi konflik antar kasta yang terjadi pada masyarakat Hindu Bali paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli. Sementara implikasi konflik antar kasta di masing-masing daerah penelitian yang menstimuli timbulnya perpecahan desa adat, terjadi di Kabupaten Gianyar. Hal ini disebabkan karena stagnasi pemahaman kasta dan upaya melegitimasi kewenangan oleh sekelompok masyarakat atau kasta tertentu terus terjadi, sehingga intensitas konflik di daerah-daerah tersebut relatif tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar