SULINGGIH SAKING JEPANG
Tidak masalah dari ras mana, trah mana, kasta mana, apabila Hyang Widhi berkehendak dan yang penting ada kesungguhan untuk Ngayah ....
Dumogi samian rahayu
Ngiring simak kisahnya :
DUA SULINGGIH JEPANG MENJADIKAN HINDU BALI MENGGLOBAL
Sepasang suami istri asal negeri Sakura-Jepang, saat ini tengah menimba ilmu kependetaan di Geriya Agung Bangkasa, Kabupaten Badung, Bali. Hal ini termasuk peristiwa langka, mengingat selama ini jarang sekali ada orang asing berminat belajar dan menjadi seorang wiku berdasarkan tata cara perguruan (aguron-guron) ala tradisi Hindu Bali.
Dua suami istri asal Jepang itu adalah Tetsushi dan Hitomi. Sebelum kasudiwidani sebagai penganut Weda atau menjadi Hindu pada 14 Juni 2011 di Geriya Agung Bongkasa, mereka di negara asalnya sudah menekuni tradisi spiritual Reiki dengan tekun. Dalam perjalanan hidup kedua insan ini kemudian berhadapan dengan kesulitan hidup setelah sang istri, yaitu Hitomi menderita suatu jenis penyakit langka, yaitu tidak bisa terpapar sinar matahari. Dengan menekuni Reiki tidak saja penyakitnya berangsur sembuh, tetapi suatu hari ketika meditasi Hitomi secara mengejutkan masuk ke dimensi alam astral yang membuat dirinya berhubungan dengan arwah leluhurnya. Pada kontak antardimensi tersebutlah Hitomi mendapat pesan, agar dirinya pergi ke Bali untuk melanjutkan perjuangan spiritualnya.
Dalam usahanya menepati pesan dari leluhurnya itu, pasangan ini kemudian pergi ke Indonesia dan memasuki Bali sebagai turis. Mereka tinggal di Kuta sambil terus mencari informasi tentang tokoh-tokoh yang mungkin bisa mereka temui untuk menuntun perjalanan spiritualnya. Selama menempuh usdahanya ini berbagai rintangan pun ia hadapi, termasuk beberapa kali kehilangan barang karena dicuri orang. Tetapi hal itu tidak menyurutkan tekadnya untuk terus mencari tempat belajar spiritual di Bali. Setelah bertanya disana-sini akhirnya ada yang mengantarnya pergi ke seorang balian untuk menanyakan jalan yang harus mereka tempuh di Bali. Dari petunjuk yang diperolehnya pada seorang balian, ternyata keduanya disarankan untuk mencari tempat merah di angkasa. Nama tempat merah di angkasa itu kemudian dicari maknanya bersama orang-orang Bali yang paham bahasa isyarat niskala (gaib). Lalu diperoleh sebuah nama Bongkasa, yaitu berasal dari kata bang yang berarti merah dan angkasa. Bang dan angkasa digabungkan menjadi Bangkasa. Tetapi tidak ada tempat bernama Bangkasa di Bali, tetapi yang ada adalah Bongkasa, maka ditetapkanlah tujuan mereka mencari keberadaan Bongkasa yang ternyata berada di Kecamatan Abian Semal, Badung. Guidenya mengantarnya ke Geriya Agung Bongkasa yang berada di Banjar Pengembungan.
Di Geriya mereka diterima dengan baik oleh Ida Pandita Mpu Nabe Siwa Putra Parama Dhaksa Manuaba. Dengan bantuan terjemahan guidenya, kedua orang asal Jepang ini mengutarakan maksudnya untuk diperkenankan untuk tinggal di Geriya agar bisa menimba pelajaran tentang agama Hindu. Saat itu Ida Pandita Nabe belum berani mengizinkan mereka untuk tinggal di lingkungan Griya. Ida Nabe lantas menganjurkan keduanya untuk memeluk agama Hindu dulu melalui upacara Sudiwidani. Demikianlah warga Jepang ini menganut agama Hindu melalui sebuah upacara Sudiwidani dan persaksian PHDI pada tanggal 14 Juni 2011 di Griya Agung Bongkasa.
Setelah upacara tersebut mereka mulai belajar tentang seluk beluk agama Hindu. Mereka ini ternyata sangat tertarik belajar ilmu kependetaan ala Hindu di Bali yang berlandaskan paham Siwa Sidhanta dan tantra. Tetapi untuk meluluskan keinginannya belajar tentang ilmu kawikon tentu masih terasa sangat prematur. Oleh sebab itu Ida Pandita Mpu Nabe menyarankannya untuk belajar dulu setahap demi setahap dengan tekun dan apabila masanya tiba, pastilah ilmu kependetaan itu akan diajarkan padanya.
Kurang lebih setelah dua tahun berlalu sejak ia menyatakan diri memeluk Hindu, Ida Pandita Mpu Nabe kemudian mengizinkannya menjalani pewintenan Wiwa (Mangku Gde) pada 15 Agustus 2013 di Pura Griya Sakti Manuaba. Hal ini dapat mereka lewati tentunya atas pertimbangan yang matang dari Pandita Nabe. Setelah pawintenan Wiwa, Tetsushi kemudian diberi nama gelar baru, yaitu Jro Mangku Gde Sidarta Putra Manuaba, dan istrinya Jro Mangku Gde Sidarta Putri Manuaba. Keduanya memang sangat tekun dalam belajar, mungkin karena terbiasa oleh tradisi Jepang yang warganya terkenal sebagai pekerja keras dan ulet. Karena selama dua tahun setelah pawintenan Mangku Gede keduanya menunjukkan kemampuan menguasai materi kepemangkuan dengan baik, demikian juga dengan tata laksananya, maka sekali lagi mereka diizinkan oleh Nabe untuk Munggah Bhawati pada tanggal 18 Pebruari 2015 di Merajan Kapurusan Griya Agung Bangkasa. Sebagai abhisekanya adalah Ida Bhawati Acarya Sidarta Putra Manuaba, sedangkan yang istri abhiseka gelar Ida Bhawati Acarya Sidarta Putri Manuaba. Setelah resmi menyandang jenjang sebagai Bhawati, maka barulah sejak tanggal 1 Juni 2015 mereka diizinkan tinggal di Griya Agung Bongkasa. Ini berarti tinggal selangkah lagi keduanya akan resmi menyandang status kependetaan (wiku) apabila mereka dapat menyerap pelajaran dengan baik, demikian juga matang dalam menjalankan sesana kawikon.
“Saya sudah pernah bertemu dengan dua orang Jepang ini yang sekarang tengah belajar untuk persiapan menjadi sulinggih. Mereka sejak di negaranya sudah vegetarian dan wajahnya nampak spiritualis,” sebut Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., saat dimintai komentarnya di Denpasar pada Sabtu, 22 Agustus 2015.
Menurut Ketua PHDI Bali ini, saat keduanya munggah bhawati, dirinya diundang ke Geriya Bongkasa untuk memberikan ceramah. Ia menegaskan bahwa PHDI sudah mempunyai ketentuan hukum (bhisama) seputar ketentuan menobatkan seseorang menjadi sulinggih, yang diantaranya harus memenuhi syarat seperti, seseorang yang beragama Hindu, memiliki bakat sebagai sulinggih, ada nabe yang berkenan menurunkan ilmu kepadanya, sehat jasmani dan rohani, berkelakuan baik, dan lain-lain sesuai kitab Sila Krama dan kitab sesana kawikuan lainnya. Hanya saja Ngurah Sudiana berharap, karena keduanya ini orang asing, maka perlu persiapan lebih matang, tetapi baginya PHDI Bali mendukung sepenuhnya hal ini dan merasa antusias karena ada dua orang asal Jepang mau jadi sulinggih.
“Kita harapkan setelah nantinya resmi sebagai sulinggih, keduanya kembali ke Jepang membina umat Hindu disana, sebab Tetsushi dan Hitomi mengatakan kalau di negaranya sudah ada komunitas Hindu,” imbuh Ngurah. Hal senada juga dikatakan oleh Wakil Ketua IV Bidang Kesejahteraan Umat dan Kasulinggihan PHDI Bali, Pinandita Drs. I Ketut Pasek Swastika. Menurutnya, sebaiknya nantinya kedua sulinggih ini kembali ke negara asalnya untuk membesarkan agama Hindu disana. “Dengan kehadiran sulinggih di Jepang nantinya, maka agama Hindu Bali akan semakin mengglobal dan pada saat yang sama pula fleksibelitas pelaksanaan agama Hindu akan terbukti, karena dapat dianut oleh warga dunia asal manapun dan dari latar belakang bangsa apa pun,” sebut Pinandita Pasek Swastika.
Sumber : www.majalahraditya.com
Salam Rahayu Semeton Global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar