Upacara Mekingsan Ring Gni
(sebuah hasil dialog singkat ring jroan Jro Mangku Gde Singarsha Manuaba)
12/02/2020; 18.00
Selain upacara ngaben, umat Hindu Bali juga mengenal upacara kematian yang disebut mekingsan ring geni. Upacara mekingsan ini diawali dengan memandikan jenazah yang dipimpin seorang pinandita ataupun pandita Hindu diikuti seluruh anggota keluarga orang yang meninggal. Lantunan gamelan khas Bali mengiringi prosesi mekingsan ini.
Usai dimandikan dan dirias, jenazah dibungkus dengan kain kafan dan tikar. Usai dibungkus, anggota keluarga meletakkan sejumlah uang di atas jenazah sebagai simbol bekal roh di alam yang baru (dengan memanjatkan pitra puja) bukan dengan nyulubin sang pejah (yang dianggap sebuah bentuk nyumbah). Usai dimasukkan ke dalam peti mati, jenazah warga yang meninggal pun diarak warga. Setibanya di perempatan desa, peti mati berisi jenazah dinaikkan ke atas bade atau wadah jenazah untuk dibawa ke setra atau kuburan desa.
Setelah diarak, bade atau wadah jenazah tiba di kuburan desa. Peti jenazah kemudian digotong keliling kuburan sebanyak tiga kali sebelum mulai dibakar. Setelah didoakan pinandita Hindu dan diupacarai dengan sesajen sederhana, jenazah pun dibakar. Selain peti mati atau wadah jenazah juga ikut dibakar.
Mekingsan ring Gni dan Mekingsan ring Pertiwi
1. “Mekingsan ring Gni” adalah jenis upacara Pitra Yadnya, di mana layon dibakar dengan ‘cita-agni’, yakni api yang dimohonkan oleh Sulinggih kepada Bhatara Brahma.
Prakteknya, sebuah korek api yang dimantrai dahulu oleh Sulinggih, kemudian digunakan untuk menyalakan api/ kompor mayat.
Bantennya sederhana: pejati, nasi angkeb, bubuh pitara, dius kamaligi, segehan manca warna. Biayanya sangat murah.
Setelah mayat menjadi arang, diambil, dicuci, dibungkus kain putih, katuran tarpana, lalu nganyut ke segara, selesai.
Di rumah mecaru, mabeakala, maprayascita, maka keluarga tidak kena cuntaka/ sebel.
Bedanya dengan ‘Ngaben’ adalah upacara Makingsan ring Gni belum melepaskan roh dari ikatan Panca Mahabhuta, maka belum menggunakan upacara meseh lawang, belum menggunakan kajang, dan belum menggunakan kekitir ulantaga, namun sudah menggunakan tirta pengentas.
Jadi kelak bila sudah ada kesempatan, perlu ngaben yang lengkap.
2. ‘Mekingsan ring Pertiwi’ atau ‘Mependem’, yaitu penguburan biasa, bantennya juga bisa lebih sederhana lagi, namun keluarga terkena cuntaka, minimal 3 hari, dan ada yang kena 11 hari, bahkan ada yang 42 hari, menurut bunyi prasasti kawitan masing-masing.
3. Mekingsan ring Gni dilaksanakan bila:
#Yang wafat adalah Jero Mangku atau orang yang sudah mawinten, karena beliau tidak boleh ditanam/ mekingsan ring pertiwi.
#Bila keluarga ybs sedang mempersiapkan upacara lain dalam waktu dekat: Dewa, Rsi, Pitra, Manusa, dan Bhuta yadnya, agar upacara tsb tidak terhambat karena cuntaka/ sebel.
# Keluarga ybs belum bisa ngaben karena:
Tidak punya uang/ dana
Keluarga lain yakni tunggalan dadia banyak yang belum ngaben
Kejadiannya jauh di rantau, sulit melakukan upacara ngaben.
Pada upacara mekingsan di gni ini, umat Hindu percaya roh dititipkan sementara pada Dewa Brahma atau dewa api sebelum menjalani upacara selanjutnya yakni ngaben agar bisa menyatu dengan Tuhan. Usai dibakar, abu dan tulang jenasah warga yang meninggal selanjutnya akan dilarung ke laut/sungai. Sehingga tidak lagi menyebabkan kacuntakan. Sementara upacara ngaben akan digelar nanti bersama-sama dengan warga desa lain yang belum diaben.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoresi bersama jika ada makna yang kurang tepat. Suksma…
#tubaba.griya agung bangkasa#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar