Senin, 03 Februari 2020

Keyakinan Bukan Kebenaran.

Keyakinan Bukan Kebenaran. 
Sejatinya, hanya dengan modal keyakinan, anda belum tentu sudah benar, begitu maksudnya. Atau, keyakinan bukan sebuah kepastian. Artinya, bisa benar bisa tidak.  Walau pun secara psikologis, saat dalam kondisi yakin, sering kali kita terjebak dalam rasa sudah benar adanya. Ini adalah bagian dari tulisan sebelumnya, tenggelam dalam keyakinan buta.

Ada perbedaan antara keyakinan dan kebenaran. Walau dalam kehidupan sosial masyarakat hal itu batasannya menjadi kabur. Apalagi ditambah dengan cara berpikir bahwa; YAKIN LAWAN KATANYA RAGU! Semakin klop salah kaprah yang telah mendarah daging tersebut.

Secara harafiah; Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar — atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Jadi, saat manusia dalam kondisi YAKIN. Maka bisa saja benar atau bisa juga salah. Belum mutlak.

Sederhana nya YAKIN itu sebuah kondisi. Kondisi dari sebuah kesimpulan merasa sudah tahu/benar/… Tapi bukan sebuah kenyataan/realitas/.. Jika realitas/kenyataan maka biasanya di sebut fakta. Jika fakta, kondisinya bukan YAKIN lagi. Tapi statusnya TAHU.

Namun, karena kesalah kaprahan yang sudah mendarah daging dan dianggap biasa, secara psikologi manusia kemudian menganggap bahwa ini tidak masalah. Biasa saja, memang begitu adanya. Kita kemudian, mengabaikan dan tidak berupaya mencari tahu makna dan tujuan dari kata yakin yang sesungguhnya.

Dalam banyak kasus, manusia bisa marah saat orang melakukan penghakiman padanya, hanya dengan modal keyakinan mereka. Tapi karena kesalah-kaprahan dalam dimensi pikiran yang berpengaruh kebawah sadar manusia, kita tidak tahu bahwa tindakan tersebut sebenarnya tidak dianggap kejahatan/kesalahan. Khususnya bagi pelaku. Kenapa, pelaku tidak merasa bersalah. Keyakinan dalam pikirannya adalah kebenaran dalam psikologisnya. Ini murni tentang dimensi pikiran manusia.

Makanya, sering terjadi penghakiman atas dasar modal YAKIN doang. Secara psikologis akhirnya manusia merasa tidak bersalah atas tindakan/perlakuan ini. Berbagai penghakiman terhadap manusia seperti ini pun terjadi pada banyak aliran sistem keyakinan termasuk agama.

Bisa jadi, pada dasarnya manusia dalam aliran keyakinan dan agama tersebut tersebut baik, polos dan tulus. Namun karena kondisi secara keyakinan  yang secara psikologis dianggap sebuah kepastian, maka tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi dianggap benar. Para radikalis, merasa benar membunuh orang yang berbeda aliran. Dalam dimensi pikirannya ini adalah benar.

Inilah adalah kegilaan akibat kesalah-kaprahan dalam dimensi pikiran manusia. Oh…. anda mungkin menganggap bahwa para radikalis salah/kejam/dll. Tapi anda sendiri mengalami kondisi kegilaan dalam hal ini. Anda tidak bisa melihat bahwa apa yang anda yakini sebagai belum tentu benar. Manusia sering kali terjebak dalam keyakinan buta. Baru dalam status YAKIN sudah merasa dalam status kepastian benar.

#tubaba@pada beberapa orang berpikir bahwa; KEYAKINAN itu lawan kata dari KERAGUAN. Dengan begitu maka secara otomatis bawah sadar manusia menangkap, keyakinan itu adalah kepastian. Kebenaran mutlak! Sudah pasti#
Orang baik mungkin akan dipandang sebagai Orang benar dan Orang benar adalah juga Orang baik.

Sebuah anggapan yang terkadang bersifat menyamaratakan segala suatu tanpa melihat kepada essensi-hakikat nya

Tetapi itulah persepsi persepsi di dunia manusia itu ternyata tak selalu linear atau paralel dengan pandangan Tuhan. Perbuatan manusia yang dianggap ‘baik’ dalam pandangan sesame belum tentu benar dihadapan Tuhan,sebaliknya seorang benar dalam pandangan umum belum tentu seorang baik dihadapan Tuhan

Contohnya adalah pengalaman nyata yang sering terjadi di sekitar kita,kita ingin melakukan suatu yang dipandang ‘baik’ oleh umum tetapi keinginan kita itu seringkali tertahan karena menurut etika-menurut hukum yang ada dalam agama kita hal itu tak boleh dilakukan,lalu dalam alam fikiran kita pun mulai tergambar bahwa apa yang baik dalam pandangan manusia belum tentu suatu yang benar dalam pandangan Tuhan

Misal kita ingin dipandang sebagai manusia yang toleran,moderat-gambaran manusia yang ‘baik’ dimata manusia dan ketika datang undangan dari pemeluk agama lain untuk ikut hadir dalam perayaan keagamaannya lalu mengajak berdo’a bersama sama ketika mereka meminta kita untuk ikut berdo’a bersama sama, lalu mungkin setelah itu kita membayangkan mengalirnya pujian dari berbagai kalangan atas sikap toleran kita terhadap realitas adanya kepercayaan yang majemuk dalam masyarakat kita, tetapi setelah kita mebuka buka kitab agama kita sendiri dimana disitu kita menemukan serangkaian kaidah hukum-etika yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri-yang harus dijalani-termasuk bagaimana etika terhadap pemeluk kepercayaan lain serta kaidah hukum yang terkait dengan mereka maka terjadilah pergumulan dalam hati kita, mana yang harus di ikuti : baik menurut persepsi manusia atau benar menurut pandangan Tuhan ?

Mungkin tidak sedikit orang yang memilih ‘pahala’ dari sesamanya,pujian sebagai umat beragama yang ‘moderat’-‘toleran’ walau harus mengangkangi kaidah hukum yang telah dibuat oleh  Tuhannya sendiri dan tertulis dalam kitab sucinya sebaliknya ada yang memilih berusaha untuk tetap bersikap baik dengan pemeluk agama lain tetapi dengan tetap tidak mengangkangi kaidah hukum Tuhan yang tertera dalam kitab suci nya.dengan kata lain,menolak dengan cara yang baik

Atau seperti yang saya alami sendiri saya sering terjebak pada problematika antara memilih baik menurut pandangan manusia atau benar menurut pandangan Tuhan ?

Ketika mertua meninggal maka sebagaimana yang sudah menjadi ‘tradisi’ dikampung tempat Abah itu selalu diadakan tahlilan,dan saya adalah orang yang (dalam hati) menolak tradisi demikian karena hal itu pertama, sebagai ibadat sangat jelas itu tidak dicontohkan oleh rasul dan kedua, logikanya orang kena musibah itu harus disumbang bukan harus dibebani secara material.tidak sedikit orang miskin di kampung itu yang mengalami musibah kematian malah lalu kalang kabut mencari utangan kesana kemari hanya untuk membiayai upacara tahlilan.bayangkan belasan juta digunakan untuk biaya tahlilan-suatu yang besar untuk ukuran kampung-diambil dari harta warisan Abah yang tak seberapa sedang anak anak Abah masih lemah secara ekonomi,tentu sangat memerlukan warisan Abah..seperti sebuah ‘pesta’ ditengah duka dan kemiskinan.sudah sangat keterlaluan fikirku…dan ketika saya mencoba melakukan perlawanan walau hanya dengan perkataan maka sayapun seperti telah diposisikan sebagai orang yang ‘tidak baik’ ditengah masyarakat karena saya dianggap tidak toleran,tetapi saya fikir pertama, saya hanya ingin menjadi orang benar dimata Tuhan dan kedua, hal itu bertentangan dengan nurani

…………………………………………………………

Terkadang manusia yang mendikte Tuhan seolah apa yang dipandang baik dan benar oleh manusia harus dipandang demikian pula oleh Tuhan.Sebagai contoh,segolongan manusia memandang agama bersifat memecah belah dan menimbulkan permusuhan sedang menurut mereka hal itu‘pasti tidak disukai Tuhan karena Tuhan memandang sama seluruh umat manusia tanpa kecuali-Tuhan menyukai kedamaian-Tuhan tidak menyukai perpecahan-tidak menyukai perang’ kata mereka.lha fikirku .. lalu untuk apa Tuhan menurunkan agama ? sebab lalu melalui agama itu manusia menjadi terpecah kepada dua golongan antara yang mau tunduk dan yang tidak mau.nah yang tidak mau tunduk itulah yang sering terlebih dahulu mengintimidasi dan memerangi sebagaimana yang telah terjadi di zaman para nabi.apakah Tuhan yang salah ?

Fikirku .. coba kalau semua manusia mau tunduk maka umat manusia tentu tidak akan terpecah dan tidak akan saling bermusuhan,atau saling berperang.sekarang ketika kita telah terpecah dalam kepercayaan yang berbeda beda maka yang terbaik tentu adalah bersikap toleran terhadap adanya perbedaan itu tentunya,menghindari konflik apalagi peperangan, dengan kata lain tanpa harus saling bermusuhan termasuk ketika adanya perbedaan konsep kebenaran-menghormati aspek hukum yang ada di kitab suci masing masing termasuk bila ada yang menolak undangan perayaan agama yang berbeda misal.jadi makna ‘toleran’ bukan berarti harus kebablasan misal sampai harus mengangkangi kaidah hukum yang ada dalam kitab suci sendiri.dan makna ‘moderat’ itu sendiri bukan berarti lantas menyamaratakan serta mensejajarkan seluruh bentuk kepercayaan begitu saja tanpa membedakan essensi yang ada didalam masing masing kepercayaan itu.

#tubaba@Kebaikan adalah kebenaran dan kebenaran adalah kebaikan#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar