Ki Dalang Tangsub Sebagai Pendiri Pura Griya Sakti Manuaba sekaligus Pelopor Desa Bongkasa
Maka tidaklah berlebihan bila dalam menelusuri kembali sejarah Pura Griya Sakti Manuaba berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat fragmentaris masih relevan untuk dikaji.
Sebagai tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Purana Ki Dalang Tangsub, khususnya lembar 10 yang berkaitan dengan penyebutan Pura Griya Sakti Manuba antara lain disebutkan :
“………. Samalih sapamadeg Ketut Tangsub maring Teguh Wana, Bangkasa, mangwangun pasraman lawan pura parhyangan saluwire : Pura Griya Sakti Manuaba, Pura Dadia Pasek Gelgel Aan, Mrajan Kapurusan, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, maduluran pujaning sira Hyang Agni, pinaka pgating sarwa leteh”.
Terjemahan bebasnya:
“………. Dan lagi semasa hidup I Ketut Tangsub di Teguh Wana, Bangkasa, membangun pasraman dan pura pemujaan antara lain : Pura Griya Sakti Manuaba, Pura Dadia Pasek Gelgel Aan, Mrajan Kapurusan, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, seraya melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Agni, sebagai pegat/ penghapus ketidaksucian (leteh)”.
Dari uraian lontar Tatwa Purana di atas disebutkan bahwa pura Griya Sakti Manuaba dibangun pada masa kejayaan I Ketut Tangsub, Penulisan Lontar Tatwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan raja-raja di Bali khususnya di Mengwi Rajya, tidak ada raja yang bernama Candrasangka namun yang ada adalah Candrabhayasingha Mengueng disebutkan dalam prasastinya yang sekarang tersimpan di pura Griya Sakti Manuaba, berisi tentang perabasan hutan Teguh Wana oleh Ki Gredegan (adik Ki Dalang Tangsub) dan I Made Tanggu (kakak Ki Dalang Tangsub) setelah berhasil mengobati istri raja Mengwi.
Bila mana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrasangka Mengueng seperti disebutkan dalam prasasti yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa pura Griya Sakti Manuaba dibangun sekitar abad X. Pembangunan pura Griya Sakti Manuaba pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Dadia dan Pura/Mrajan Kapurusan. Tetapi menurut Mitologi yang di yakini masyarakat di sana dan lontar Petilasan Ki Yai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub yang memuat tentang lelintihan param-paramBeliau sebagai Putra Kaputran seorang Brahmana Manuaba dari Ida Bhatara Sakti Manuaba. Mengenai kedudukan Pura Griya Sakti Manuaba Bangkasa sama dengan keberadaan Pura Griya Sakti Manuaba di Kendran Tegalalang Gianyar.
Kisah diawali dari Beliau Ida Betara Sakti Manuaba adalah seseorang Brahmana masih keturunan Danghyang Dwijendra. Beliau adalah Putra dari Maha Brahmana yang bernama Brahmana Diler. Beliau sendiri bernama Brahmana Nyoman Buruan yang merupakan cucu dari Dhanghyang Dwijendra. Beliau adalah seorang Brahmana yang sangat sakti dan bijaksana karenanya beliau pada waktu itu dijadikan Bagawanta oleh Raja Bali yang Berkuasa pada waktu itu yang Bergelar Dalem Waturenggong sekitar Abad ke 14 Masehi.
Mengapa Beliau di sungsung di Pura Griya Sakti Manuaba sampai sekarang?
Dalam Mitologi di ceritakan bahwa pada waktu itu Desa Manuaba sedang tertimpa bencana yang sangat dahsyat banyak orang yang sakit tidak bisa di obati, bayak juga yang meninggal dunia, sawah – sawah dan ladang banyak yang kekeringan dan tidak bisa menghasilkan.
Akhirnya Bendesa Manuaba yang memerintah pada waktu itu tangkil menghadap Raja Bali mohon petunjuk agar penduduk masyarakat Desa Manuaba bisa diselamatkan. Maka atas petunjuk Raja Bali pada waktu itu dimohonlah Beliau Betara Sakti Manuaba (Sira Brahmana Nyoman Buruan) agar beliau sudi datang ke desa Manuaba untuk menyelamatkan penduduk dari mara bahaya, dan beliaupun (Ida Betara Sakti) dengan diiringi oleh I Gede Bawa bersama dengan anaknya I Ketut Tangsub, berkenaan untuk datang menyelamatkan penduduk Desa Manuaba.
Setiba Beliau di Desa Manuaba lalu Beliau memberikan titah kepada I Ketut Tangsub dengan segenap kesaktian Ida Betara Sakti untuk bersama-sama melakukan Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi agar Masyarakat Manuaba terhindar dari segala bencana dan gangguan roh jahat, wong samar, buta demit yang mengganggu pada saat itu. Atas kesedihan Beliau pada saat itu maka segala bencana bisa diatasi para pengganggu bisa Beliau kalahkan. Banyak orang sakit bisa sembuh tanpa obat oleh karena itu Beliau sangat di hormati dan dipuji oleh masyarakat dan dijuluki Batara Sakti dan dimohonkan oleh masyarakat Manuaba agar beliau bersedia menetap tinggal di Desa Manuaba untuk menjaga dan menyelamatkan Desa Manuaba, Beliaupun bersedia tinggal dan menetap di Desa Manuaba bersama dengan I Ketut Tangsub. Di tempat pemujaan Beliau pada waktu memohon keselamatan kehadapan Sang Hyang Widhi di jadikan Stana atau Griya Beliau, sedangkan tempat duduk I Gede Bawa dan I Ketut Tangsub dijadikan Satana Kapurusan Pasek Gelgel Aan Manuaba. Beliau berkenan memberikan petunjuk tentang tata cara bertani yang baik yang kini disebut Dharma Pemaculan dan menata masyarakat agar bisa hidup damai. Beliau sangat senang tinggal di Manuaba dengan didampingi oleh para istri, putra-putra dan putra angkat kesayangan Beliau yang bernama I Ketut Bagus atau I Ketut Tangsub yang sampai kini disebut Treh Brahmana Manuaba.
Ketut Bagus atau lebih dikenal dengan nama Ketut Tangsub atau Ketut Bongkling. Beliau adalah seorang Pujangga, yang merupakan anak keempat dari I Gede Bawa, lahir di Br. Tengah Desa Manuaba Tegalalang Kabupaten Gianyar. Pada masa hidupnya I Gede Bawa bersama anaknya I Ketut Tangsub mengabdikan dirinya di Pesraman Ida Pedanda Sakti Manuaba dan diberikan kepercayaan untuk mendampingi Ida Bhatara Sakti ke mana saja. I Ketut Tangsub juga diperbolehkan untuk mempelajari Weda, Tattwa Kediatmikan, Usada dan Darma Pawayangan.
Lebih kurang pada tahun 1825 M, I Ketut Tangsub disiasati oleh anak-anak Ida Pedanda Sakti yang iri melihat kedekatan I Ketut Tangsub dengan berbagai anugerah yang diberikan oleh Ida Pedanda Sakti. Agar tidak lagi dekat bersama Ida Pedanda Sakti. Anak-anak dari Ida Pedanda Sakti menyuruh Ki Ngurah Batulepang untuk menyerang I Ketut Tangsub, desa Manuaba diduduki. Dengan izin Ida Peranda Sakti, I Ketut Tangsub dan salah satu istri Ida Peranda Sakti mengungsi ke Desa Kuum Sembung dibawah Kerajaan Mengwi. Mengetahui semua itu ulah para anak-anak Ida Pedanda Sakti, maka dari itu beliau (Ida Pedanda Sakti) dari saat itu beliau mengutuk semua anak-anakNya sampai ke anak cucunya kelak tidak diizinkan tinggal bersama Beliau apalagi melakukan pemujaan terhadap Beliau menggunakan segala ilmu yang telah Beliau wariskan.
Di Kisahkan I Ketut Tangsub selama ada di Desa Kuum Sembung mempunyai kebiasaan jalan-jalan di samping juga memiliki pemikiran-pemikiran yang kritis, cerdas dan tampan, beliau juga sangat lincah serta gesit dalam segala hal pekerjaan. Pada suatu ketika I Ketut Tangsub diberi kesempatan oleh Ida Peranda Sakti untuk menguji kemampuan untuk mengobati istri raja Mengwi, yang konon terkena sakit yang tidak dapat disembuhkan. Di perjalanan I Ketut Tangsub bertemu dengan I Dewa Wayan Senggu. I Ketut Tangsub di suruh pulang dan jangan harap mampu mengobati Prami Sang Raja. I Ketut Tangsub bersedia pulang asal I Dewa Wayan Senggu bisa menjawab pertanyaan I Ketut Tangsub. Inilah salah satu isi pertanyaan I Ketut Tangsub “bagaimana tulisan suara angin yang bertiup kencang dan suara burung sawah hujan”?, kepada I Dewa Wayan Senggu. Senggu itupun tidak bisa memenuhi permintaan I Ketut Tangsub. Kepada Dewa Wayan Senggu, I Ketut Tangsub menghaturkan bahwa di rumahnya ada sebuah pustaka yang banyak mengandung ajaran etika, filsafat dan tattwa. Dengan demikian I Ketut Tangsub menyarankan agar kita tidak mengaku diri pandai sebelum bisa membuktikan yang sebenarnya. Uraian tersebut dapat dilihat dalam salah satu bait yang terdapat pada Kidung Perembon karya Ki Dalang Tangsub, alih aksara oleh W.Simpen AB.
PUPUH GINADA
Eda ngaden awak bisa,
Depang anake ngadanin,
Geginanne buka nyampat,
Anak sai tumbuh luhu,
Ilang luhu buke katah,
Yadin ririh,
Enu liyu pelajahan.
Dalam kisah perjalanan I Ketut Tangsub berhasil menyembuhkan istri Raja Mengwi dan mulai saat itulah I Ketut Tangsub diberi gelar Kiyai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub serta di beri suatu permintaan untuk keberhasilan beliau itu. I Ketut Tangsub hanya meminta “genah galang apadang”. Mendengar hal tersebut, Raja pun menyuruh I Ketut Tangsub untuk memilih salah satu daerah kekuasaan Raja Mengwi. Dengan rendah hati I Ketut Tangsub mengeluarkan busur serambi menarik anak panahnya keatas dan muncul sinar merah diangkasa. I Ketut Tangsub menyebut daerah itu sebagai Bangkasa yang tepatnya berada di hutan Tegehwana daerah kekuasaan Mengwi raja.
Setelah menerima pemberian dari Raja Mengwi, I Ketut Tangsub menuju alas Tegeh Wana bersama anak – cucunya (I Gede Geredegan dan I Made Tunggu) yang dilakukan secara berulang kali, karena alas/hutan tersebut sangat angker yang dijaga oleh macan kuning, macan merah dan babi hutan yang sangat besar. Maka sekitar tahun 1843 M, hutan Tegeh Wana dapat dihuni oleh Ki Dalang Tagsub dengan melakukan berbagai ritual sehingga tempat tersebut diberi nama Banjar Teguan dan wilayah hutan itu disebut dengan Desa Bongkasa. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Pupuh Ginada di bawah ini:
Ada kidung anyar teka
Mijil saking Rang di langit
Kawi muda kapupungan
Sira layua mintar kidung
Iseng-iseng matembang
Anggen sarwi
Ati ibuk ban lacuran
Kawi kidung ring Bangkasa
Kocap I Ketut Bongkling
Pianak I Gede Bawa
Mawit saking desa Manu
Jantos kelih di pasraman
Ida Sakti
Ento krana ia pradnyan
Sebagai tempat kapurusan pretisentanan beliau ada di Griya Agung Bangkasa, Br. Pengembungan, Ds. Bongkasa, Kec. Abiansemal-Badung. Hal ini dapat dijelaskan dalam kutipan Pupuh Ginada di bawah ini :
Pitung katurunan kocap
Dalang Tangsub manyelehin
Ring Ida Prama Daksa
Ida wantah para wiku
Genah Ida ring Bongkasa
Sane mangkin
Ngelanturang puja sastra.
Setelah Ki Dalang Tagsub menetap, dalam kesehariannya Ki Dalang Tangsub menuangkan semua imajinasinya melalui karya-karyanya yang sampai sekarang kita ketahui seperti Geguritan Basur, Ketut Bungkling, Ketut Bagus, Cawak; adalah karya-karya yang membuktikan begitu orisinal jagat geguritan Bali. Karya-karya ini menunjukkan bahwa geguritan tidak terbebani oleh ideologi tertentu, ia bahkan mendobrak kebekuan ”ideologi” yang mengungkung.
Mendekontruksi hegemoni. Sebagai seorang pelarian, yang hendak dihukum oleh Raja Gianyar I Dewa Manggis sekitar tahun 1825, Dalang Tangsub melakukan ”pemberontakan” lewat geguritan. Geguritan di tangannya menjadi senjata ampuh gerilya ide-ide, melawan kekuatan palsu yang mengungkungi alam pikir, membongkar motis dan ”narasi besar” penguasa. Ia membombandir dengan peluru kata-kata. Membongkar narasi besar dengan jenaka. Mencampur aduk realita dan imaji.
Membaca karya Kidung Perembon, yang merupakan ”kompilasi” geguritan Ki Dalang Tangsub, saya menemukan semacam campuran semangat Frienderich Neitzsche (1844-1900) dan Jorge Luis Borges (1899-1986) bercampur menjadi api dan spirit karyanya tersebut. (Tentu saja Dalang Tangsub tak pernah mengenal kedua dua sastrawan tersebut. Sebelum dua sastrawan tersebut dilahirkan, sekitar tahun 1825, Tangsub sudah menjadi pelarian. Berlari dari desanya Sukawati – Gianyar ke Desa Nuaba, lalu ke Desa Kuum Sembung-Mengwi, lalu bermukim di Bongkasa – Abiansemal, seperti yang tersirat dalam pupuh di atas).
Semangat pemberontakan Dalang Tangsub dan kekuatan perceritaannya yang ”berlapis-lapis”, berpadu dengan kekuatannya menyusun argumen. Bahasanya tak pernah lelah untuk menggugat. Lewat karya itu, ia merumuskan ”bungkling-ology”: sebuah seni debat yang konsisten membongkar mitos dan wacana, yang tak mengutamakan sopan-santun atau ewuh pakewuh, tapi berdasar pada kekuatan gugatan yang bersandar pada ”logika dekonstruksi” dan ”rasa humor”. Dalam kakawin, tak pernah saya membaca pemikiran ”nyeleneh” seperti yang Dalang Tangsub tawarkan. Dalang Tangsub, lewat tokoh-tokoh, menjadikan dirinya seorang Dalang Tamak di masyarakat Bali yang ”penurut” dan patuh.
Pada Suatu ketika Ki Dalang Tangsub mendengar bahwa Ida Bhatara Sakti yang ada di desa Manuaba telah Amor ring Acintya. Bertepatan dengan peristiwa tersebut Ki Dalang Tangsub mendengar wahyu/pawisik/suara gaib bahwa Ki Dalang Tangsub agar mendirikan sebuah pelinggihturuslumbung dan melakukan pemujaan dengan segenap ilmu yang telah diajarkan oleh Ida Bhatara Sakti, Ki Dalang Tangsub mendapatkan cipta, ciri/pawisik, seperti kutipan berikut :
Ling Bhatara Sakti :
“… Aum kita nanakku prasamya hana gunaning yajna maring Sang Hyang Agni kawruhaken denta, ikang yajna angentasaken saisin rat bhawana, umilangaken sarwa geleh geleh ing loka makadi tang ila ila kabeh, mwang sarwa krura, sarwa mandi, sarwa magalak, sarwa mrana, marrnaning pada inangaskara sarwa tiryak sarwa prani, sarwa janma tekeng daitya danawa raksasa, bhuta kala dewa bhatara. Ika samodaya inarpanakena ginawe homa, maka stana Sang Hyang Agni dumilah gumeseng ikang lengkaning bhuwana kabeh.
Mangkana krama tiningkah de sang wijnana ya ryadeg ning Bhatara Sakti maring Manuaba prih kapagehan ing bhuwana. Mangkana tiningkah yan hana bhumi kaputungan ratunia twin kahilangan, yadyapin ilang sangkayan ing keneng sapa keneng soda, keneng temah mwang durmita, durmanggala, sira ta sang yajamana juga wihikan ri samangkana, apan sang ratu winasa dening satru, wenang sira Bhatari Uma-pati inastungkara dening homa yajna pareng lan Sang Hyang Saraswati. Sira wenang umulihaken kahayuning loka twin ring swarga kahyangan yanya kadurmitan.
Mangkana juga kramanya, apan sira sang yajamana maka ngaran catur-asrama. Sira ngawak ing sangkan paraning sa rat kabeh. Sira pangadeganing Sang Hyang Catur Weda. Ikang Catur Weda maka urip ing sarwa jagat kabeh, maka ngaran sira Sang Hyang Jagat Kantar, sira witaning sarwa kabeh, sira sangkaning ilang, sira sangkaning wetu, sira ganal ademit, sira hana nora, sira angkus bhuwana.
Matangnya sarwa karya tan dadi ya yan tan maka sadana Sang Hyang Catur Weda, apan sira maka siddha karya. Nguniweh ta anaku dak mangke ku warah i kita mwah ri para wrtin ta mangke, apan kita wus inangaskara ku waluya Ketut Tangsub pasajnan ta, Kiyai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Sangsub pasanggahane kita, wenang kita mujanggain, ngemit sasana kabrahmanan satrehanta nguni.
Haywa kita tan upeksa ri pawrtin ing sarwa yajna ning wang ring martya loka, agung alit yajna tan dadi yan tan pasaksi ring Sang Hyang Agni lawan Sang Hyang Weda Carana, apan Sang Hyang Agni lan Sang Hyang Weda Carana maka lingga yajna, dampatya wenang tunggal sira wenang tunggal lawan Sang Hyang Siwaditya. Jah tasmat, aja sira weha ring wong lyan dahat mauttama panlasing sastra ika”.
Terjemahannya :
…… Aum kamu anakku semua, ada sekarang guna dari Yadnya kehadapan Sang Hyang Agni ketahuilah olehmu anakku, adalah yadnya untuk membebaskan seisi dunia, segala yang gaib, segala yang buas, segala penyakit tanaman, karena semuanya tersucikan oleh yadnya itu, apakah itu binatang, mahluk hidup, manusia, sampai pada detya, danawa, raksasa, bhuta, kala, dewa dan bhatara. Itu semua akan tersucikan dengan dibuatkan “homa“, sebagai stana Sang Hyang Agni yang menyala, membakar seluruh keketoran di dunia. Demikian yang dilaksanakan oleh orang yang bijaksana pada masa kejayaan Bhatara Sakti di Manuaba mengharapkan kokohnya dunia.
Demikian juga tata cara yang harus dilaksanakan bila ada negara/kerajaan yang tidak ada pemimpinya atau meninggal, meskipun meninggalnya kena kutukan, sial, tanda-tanda buruk, beliau sang yajamana mengetahui hal itu, karena raja akan binasa oleh musuh, maka itu patutlah Bhatari Umapati dipuja dengan menyelenggarakan Homa Yajna serta pmujaan Sang Hyang Saraswati. Beliaulah yang dapat memulihkan kebaikan dunia termasuk juga sorga dan tempat suci kalau megalami bencana.
Demikianlah tata caranya, oleh karena itu sang yajamana disebut catur asrama, asal dan kembalinya seluruh dunia. Beliau adalah perwujudan Sang Hyang Catur Weda. Catur Weda itu sebagai jiwanya dunia yang disebut Sang Hyang Jagat Kantar, beliau adalah sumber segalanya, beliau adalah tujuan saat lenyap, beliau adalah asal kelahiran, beliau bersifat besar dan kecil, beliau ada dan tiada, beliau adalah penyatuan dunia.
Oleh karenanya semua pekerjaan tidak akan berhasil apabila tidak bersarankan Sang Hyang Catur Weda, oleh karena beliau adalah simbul kesuksesan kerja. Lebih-lebih engkau anakku, sekarang keberitahukan kamu dan tujuanmu sekarang, oleh karena kamu telah aku sucikan, maka tidak lagi engkau bernama Ketut Tangsub, Kiyai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub namamu, berhak kamu menjadi bujangga/pendeta, menjaga tingkah laku seorang brahmana seketurunanmu nanti.
Janganlah engkau tidak mengindahkan akan tujuan semua semua yadnya yang dilaksanakan oleh manusia di dunia. Besar-kecil yadnya yang dilaksanakan tidak akan berhasil bila tidak bersaksikan Sang Hyang Agni dan Sang Hyang Weda Carana, sebab Sang Hyang Agni dan Sang Hyang Weda Carana adalah wujud dari yadnya, bersama dengan Sang Hyang Siwa Aditya.
Setelah melakukan pemujaan tepat diatas turus lumbung itu muncul awan gelap menyelubungi sekitar tempat itu dengan diikuti hujan yang sangat lebat, melihat kejanggalan itu Ki Dalang Tangsub lagi-lagi melakukan pemujaan tepat di depan turus lumbung itu. Dengan segenap kekuatan yang dimiliki Ki Dalang Tangsub mendapatkan ciptta kehadiran Ida Bhatara Sakti Manuaba dengan dicirikan munculnya Manik Galih (potongan tulang kaki Ida Bhatara Sakti), sebuah Keris pejenengan, sebuah Selendang (milik istri Ida Bhatara Sakti) dan Badjra (yang sering digunakan oleh Ida Bhatara Sakti untuk melakukan pemujaan), yang muncul pada pelinggih turus lumbung itu. Oleh sebab itulah Ki Dalang Tangsub membuat sebuah pelinggihPejenengan di tempat turus lumbung tersebut dan sampai sekarang tempat itu di beri nama Pura Griya Sakti Manuaba.
Demikianlah dapat diuraikan kisah hidup I Ketut Tangsub sebagai pujangga besar dan sekaligus sebagai pendiri desa Bongkasa, sudah barang tentu ada beberapa kisah yang belum dapat diungkap. Pada masa hidupnya Ki Dalang Tangsub banyak mengisahkan peristiwa-peristiwa penting dan penuh makna yang diceritakan dalam bentuk geguritan Ginada Bongkling, Ginada Basur, dan Pupuh Sinom serta karena keagungan-Nya pretisentana beliau tersebar di pelosok Bali.
Tata Letak Bangunan/Pelinggih di Pura Griya Sakti Manuaba Bangkasa. Seperti umumnya Pura – Pura yang ada di Bali, Pura Geriya Sakti Manuaba Bangkasa di bagi menjadi beberapa bagian atau mandala yaitu :
Utamaning Mandala (Jeroan)
Madyaning Mandala (Jaba Tengah)
Nistaning Mandala (Jaba Sisi)
Di utamaning Mandala terdiri dari beberapa pelinggih diantaranya :
Padmasana Anglayang yaitu Stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Gedong Pajenengan yaitu sebagai Stana Ida Betara Sakti Manuaba
Pawedan / Pengaruman Tempat Siwa Krana atau alat – alat Pamujaan Ida Betara
Palinggih Ida Betara Ratu Gede lan Prelingga suami
Piyasan Ageng
Pelinggih Pesimpangan Ida Bhatara Dalem Peed lan Tengahing Segara
Bale Pesandekan
Panegtegan
Pelinggih Ida Bhatara Tirtha
Pawedan Tempat Jero Mangku melakukan pemujaan saat piodalan
Pelinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
Pelinggih Ratu Ngurah
Di Madya Mandala terdapat palinggih seperti :
Dua buah Apit Lawang yang terletak di depan candi bentar
Bale Pesandekan
Bale Serbaguna
Bale Angklung
Panggungan
Palinggih Tetekan / Tongkat Beliau Betara Sakti (Taru Kemoning)
Perantenan Suci.
Di Nistaning Mandala terdapat palinggih seperti :
Pohon Sukawati dengan Dua ekor patung macan (Sardula Kuning lan Sardula Abang)
Dua buah Bale Pesandekan
Bale Kulkul
Palinggih Ratu Gede Sapujagat
Dua buah pelinggih Apit lawang dengan patung Siwa dan Budha.
Pelinggih Padmasana ring Telaga Waja Indra Giri Murti sebagai tempat Udyana Ida Bhatara Sakti.
Pengamong Pura Geriya Sakti Manuaba adalah Kapurusan Ki Yai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tagsub seantero jagat Bali beserta SulinggihKapurusan Ida Hyang Sinuhun, namun sebagai pengemong marep adalah semeton Kapurusan di desa Bongkasa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan puja wali / piodalan di Pura Geriya Sakti Manuaba.
Piodalan di Pura Geriya Sakti Manuaba jatuh pada penanggalan Bali yaitu hari Selasa Kliwon Medangsia 10 hari setelah Hari Raya Kuningan. Pada saatpiodalan banyak umat yang tangkil dari berbagai lapisan masyarakat.
Di sebelah Barat Pura Griya Sakti Manuaba terdapat Pura Dadiya Pasek Gelgel Aan Bangkasa sebagai Pura Parahyangan Ki Yai I Gusti Agung Jro Ketut Dalang Tangsub. Piodalan di Pura Dadiya jatuh pada Buda Cemeng Kelau. Sedangkan di sebelah barat Pura Dadiya terdapat Pura Parhyangan Dalem Sakti Manuaba dan Pura Tegal Suci Ida Bhatara Sakti yang piodalannya bersamaan dengan piodalan di Pura Griya Sakti Manuaba.
Semoga berkenan.
Penulis : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S (Tubaba, Griya Agung Bangkasa; Generasi ke 9 Ki Dalang Tangsub)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar